Liam mendorong pintu studio dengan cepat, dan langkahnya langsung terhenti saat matanya menangkap sosok Naya yang tengah menghantam drum dengan penuh emosi. Earphone menggantung dari telinganya, dan setiap dentuman yang ia hasilkan terasa lebih nyaring dan berat dari biasanya. Seolah ada amarah yang ingin ia lepaskan lewat ritme yang ia mainkan.
Liam melirik ke arah Jimi, yang masih asyik menyetel gitar di tangannya, seakan tak terganggu oleh suara yang memenuhi ruangan. Ia menyenggol lengan Jimi, berharap mendapat penjelasan. Namun, Jimi hanya mengangkat bahunya santai, menunjukkan bahwa ia sama sekali tak tahu apa yang terjadi pada Naya.
Perasaan bersalah mulai menggerogoti hati Liam. Ia tahu ada pembicaraan di belakang yang berniat mengeluarkan Naya dari Starry setelah kompetisi selesai. Apa mungkin Naya sudah tahu tentang itu?
Jimi akhirnya mendekati drum dan menepuk bahu Naya perlahan. "Latihan sebentar lagi mulai."
Naya menghentikan permainannya, melepas earphone dengan gerakan lambat, lalu mengangguk tanpa berkata apa pun. Ia mengambil botol air mineral dari tasnya dan meneguknya pelan, tak sekali pun melirik ke arah Liam atau Jimi.
Pikirannya kacau. Ia merasa lelah. Masalah di keluarganya sudah cukup menguras tenaganya, dan kini ia harus menghadapi pergunjingan teman-temannya. Hatinya sakit, tetapi ia tidak ingin membicarakan apa pun. Terutama soal ibunya. Itu adalah luka yang terlalu dalam untuknya.
Beberapa saat kemudian, Aiden tiba, diiringi oleh Sintia yang menautkan lengannya pada Aiden dengan mesra. "Maaf, jalan macet," ujar Aiden santai.
Jimi melirik mereka dengan ekspresi datar. "Jalan macet atau berhenti beli cemilan lagi?" sindirnya.
Sintia mendengus. "Jangan mulai, Jimi. Kami benar-benar terjebak macet."
Jimi memilih tak memperpanjang, ia malah mengalihkan perhatian pada Naya. "Kamu nggak keberatan latihan jadi lebih lama?"
"Nggak masalah," jawab Naya tenang. "Aku sudah kasih tahu Bintang buat jemput lebih malam." ungkap naya mengangkat ponselnya di udara.
Sejenak suasana menjadi hening, hingga Sintia tertawa kecil, nada suaranya penuh ejekan. "Oh, jadi sekarang Bintang yang jemput? Kalian memang dekat, ya?"
Naya mengepalkan tangannya di pangkuan, tetapi tetap diam. Ia tahu jika ia berbicara, emosi dalam dirinya bisa meledak.
"Kamu juga sering nggak datang latihan. Tapi semua orang memaklumi itu. Kenapa kamu nggak bisa sedikit lebih pengertian soal keterlambatan Aiden?" lanjut Sintia.
Liam merasakan sesuatu menegang dalam diri Naya. Perempuan itu tetap diam, tak menunjukkan ekspresi apa pun. "Maaf kalau aku mengganggu kalian," ucapnya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar.
Liam tak tahan lagi, mendapati Jimi yang sungguh-sungguh tidak lagi berbicara saat naya diintimidasi. Seakan Jimi berusaha menahan diri untuk memenuhi janji yang dia buat kepada Aiden dan juga dirinya. "Naya nggak pernah mempermasalahkan keterlambatan Aiden. Dia cuma bilang kalau dia sudah kasih tahu Bintang, bukan menyindir siapa pun."
Sintia memutar bola matanya dengan kesal. "Tentu saja kamu bela dia," ujarnya sinis. "Karena semua orang di sini memang selalu membela dia." ucapan itu terasa melibatkan semua orang termasuk Aiden yang kini jadi kekasihnya. Saat beberapa kali Sintia membahas tentang Naya kepada Aiden, pemuda itu terus saja mengalihkan topik membuat Sintia merasa dirinya sedang membela Naya.
Aiden menatap Sintia dengan ragu, sementara Liam hanya menghela napas panjang. Sintia semakin tersulut. "Kenapa, Naya? Nggak mau bicara? Apa kamu takut kebenarannya terungkap? Semua orang di sini tahu kamu tinggal serumah dengan Bintang. Apa yang sebenarnya terjadi antara kalian?"
Seketika suasana studio berubah dingin. Jimi, yang sedari tadi hanya diam, tiba-tiba berdiri dan menarik pergelangan tangan Naya. "Ayo keluar."
Tanpa memberi kesempatan siapa pun untuk berkomentar, Jimi menarik Naya ke luar studio. Aiden dan Liam saling bertukar pandang, merasa semakin bingung.
Di luar, Jimi melepaskan genggamannya. "Kenapa kamu diam aja? Kenapa nggak ngomong sesuatu buat ngebela diri kamu?"
Naya menatap lantai. "Aku nggak mau ngomong, Jimi. Aku lelah. Aku udah capek harus selalu menjelaskan diri ke orang-orang. Apa pun yang aku bilang, mereka tetap akan menghakimi."
"Tapi, Nay..." Jimi mendesah frustrasi. "Mereka nggak akan berhenti kalau kamu terus diam."
Naya menggeleng. "Aku nggak peduli. Aku cuma ingin latihan dan fokus ke kompetisi. Aku nggak mau membahas masalah pribadiku, nggak mau bicara tentang Bintang, atau tentang apa pun itu."
Jimi menatapnya dalam diam. "Jadi, kamu bakal terus ngeladenin mereka dengan diam?"
"Diam bukan berarti kalah," jawab Naya lirih. atau aku hanya ingin diam agar aku punya sedikit kekuatan untuk menghadapi hal yang lebih penting dalam hidupku" batin Naya
Jimi menghela napas panjang, akhirnya menyerah. "Baiklah."
Mereka kembali masuk ke dalam studio. Jimi menatap semua orang dengan tatapan dingin. "Kita latihan sekarang. Nggak ada yang buang waktu lagi."
Sintia tampak masih ingin berbicara, tetapi Aiden menepuk lengannya, mengisyaratkan agar ia diam. Dengan enggan, Sintia duduk di sofa, sementara yang lain bersiap dengan instrumen mereka.
Latihan pun dimulai, tetapi pikiran mereka masing-masing melayang ke arah yang berbeda, dipenuhi pertanyaan yang belum terjawab.
Setelah latihan selesai, Naya segera mengemasi barang-barangnya, ingin meninggalkan ruangan itu secepat mungkin. Namun, sebelum ia sempat melangkah keluar, Jimi berdiri di sampingnya dengan lantang.
"Kami pergi duluan," ucapnya, seolah ingin menegaskan sesuatu.
Liam, Aiden, dan Sintia yang masih tersisa hanya bisa menatap kepergian mereka dengan ekspresi berbeda—Liam dengan tatapan bersalah, Aiden dengan kebingungan, dan Sintia dengan ketidaksenangan yang jelas tergambar di wajahnya.
Di perjalanan menuju parkiran, Jimi mencoba membuka obrolan. "Kompetisi semakin dekat. Aku harap kamu tetap bertahan dan semangat yah."
Naya menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku tahu, Jimi. Aku juga ingin semuanya berjalan baik."
Hening sejenak sebelum Jimi melanjutkan, kali ini dengan suara lebih pelan, hampir ragu untuk mengucapkannya. "Aku menyesal... Kita dulu begitu dekat, tapi sekarang rasanya semua sudah berubah. Meski sempat berharap bisa memperbaiki semuanya, tapi aku sadar, ada hal yang memang nggak bisa kita perbaiki."
Naya berhenti berjalan sejenak, menatap Jimi dengan ekspresi tak terbaca. "Aku mengerti maksudmu. Tapi ada banyak hal yang memang sudah terlanjur berantakan, Ji. Kadang, nggak semua bisa diperbaiki, dan kita harus bisa menerima itu."
Jimi menatapnya lekat. "Apa kamu membenci Liam dan Aiden setelah semua ini?"
Naya tersenyum kecil, tapi ada kepedihan di sana. "Aku nggak berhak membenci mereka. Dulu, mereka pernah menjadi orang-orang yang dekat denganku."
"Kalau begitu, kenapa kamu seolah-olah menjauh dari mereka?" Jimi bertanya, nadanya lebih putus asa daripada sebelumnya.
Naya menatap langit malam, lalu menghembuskan napas pelan. "Aku nggak menjauh karena membenci mereka. Aku menjauh... karena aku ingin menghukum diriku sendiri. Aku merasa gagal, aku merasa impian kita hancur karena aku."
Kata-kata itu seperti pukulan bagi Jimi. Seketika, ingatan tentang kompetisi terakhir mereka menyeruak dalam benaknya. Saat itu, mereka semua memilih meninggalkan Naya dalam kekecewaan, menyalahkannya atas kegagalan mereka. Dan kini, ia sadar betapa egoisnya mereka. Mereka telah menghancurkan sesuatu yang lebih penting dari sekadar kemenangan—persahabatan mereka.
Saat mereka sampai di parkiran, sebuah mobil sudah terparkir dengan mesin menyala. Di dalamnya, Bintang duduk menunggu. Begitu melihat Naya, ia memberi isyarat agar adiknya segera masuk.
Jimi mendekati mobil itu, mengetuk kaca jendela di sisi pengemudi. Begitu Bintang menurunkan kaca, Jimi tersenyum kecil. "Hey, kak Bintang."
Bintang hanya mengangguk singkat, ekspresinya tetap dingin. Ia masih ingat bagaimana adiknya diintimidasi di sekolah tanpa seorang pun yang berdiri di sisinya.
Dengan sedikit ragu, Jimi akhirnya bertanya, "Besok... bolehkah aku menjemput Naya dan berangkat ke sekolah bersama dengannya?"
Naya, yang sudah duduk di kursi penumpang, tidak bereaksi apa pun. Ia hanya menatap ke depan, tanpa ekspresi. Bintang melirik sekilas ke arah adiknya sebelum kembali menatap Jimi. "Nggak perlu. Aku bisa antar dia."
Jimi tak menyerah. "Aku cuma mau memastikan dia baik-baik aja sampai di sekolah. Aku tahu aku banyak salah, tapi aku cuma ingin jadi teman yang baik untuk Naya."
Bintang terdiam cukup lama menimbang beberapa hal dama benaknya sebelum akhirnya menghela napas. "Baiklah. Tapi kalau ada sesuatu yang terjadi, aku nggak akan tinggal diam."
Jimi mengangguk mantap. "Aku ngerti. Terima kasih kak."
Saat mobil melaju meninggalkan parkiran, Naya akhirnya membuka suara. "Kenapa kamu izinkan dia menjemputku besok?"
Bintang tetap fokus pada jalan, tapi suaranya terdengar lembut saat menjawab, "Karena aku lihat, dia benar-benar peduli sama kamu. Kadang, kita butuh seseorang untuk menjaga kita, selain keluarga."
Naya merenungkan kata-kata kakaknya. Setelah beberapa saat, ia mengangguk pelan. "Jimi memang teman yang baik."
Bintang tersenyum tipis, lalu kembali fokus menyetir. Di kursi penumpang, Naya menatap ke luar jendela, hatinya penuh dengan emosi yang tak bisa ia definisikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments