Akankah terlupakan?

Dengan telaten, Bintang mengelap meja makan, sesekali melirik ke arah Naya yang sibuk mencuci piring di wastafel. Suara air mengalir mengisi keheningan di antara mereka. Mereka baru saja selesai makan malam, tapi ada sesuatu yang ingin Bintang sampaikan.

"Oh iya, Nay, aku baru ingat. Kayaknya di hari konser nanti, kami bakal sedikit telat datangnya," ujar Bintang sambil menarik kursi dan duduk dengan santai.

Naya terdiam sejenak sebelum menjawab. "Kenapa, Kak?" tanyanya tanpa menoleh, fokusnya masih tertuju pada piring dan cangkir yang ia cuci. Ada perasaan sedih yang tak bisa ia sembunyikan. Kompetisi itu sangat penting baginya, dan mengetahui bahwa kakak-kakaknya mungkin tidak bisa hadir tepat waktu membuat hatinya sedikit berat.

"Hari itu, Josua dan Denny ada ujian seminar. Aku harus bantu mereka menyiapkan beberapa hal," jelas Bintang, berusaha membuat Naya mengerti.

Naya mengangguk pelan. "Oh..."

"Tapi, setelah seminar selesai, kami bakal langsung ke sana. Kami nggak mau kelewatan penampilan kalian," lanjut Bintang, mencoba menenangkan adiknya.

Perlahan, Naya menarik napas lega. "Yah, lagipula nanti acara itu disiarkan live streaming juga. Kalian bisa nonton secara daring kalau nggak sempat datang," ujarnya, berusaha terdengar lebih ringan.

Bintang menggeleng tegas. "Nggak, Nay. Sesibuk apa pun kami, kami bakal tetap datang buat dukung kamu."

Naya tersenyum kecil, lalu menyelesaikan cucian terakhirnya sebelum akhirnya berjalan ke meja makan dan duduk di seberang kakaknya. Bintang meraih tangannya, menggenggamnya dengan lembut.

"Kamu harus semangat, ya. Tapi, jangan maksa diri terlalu keras," katanya pelan, matanya menatap tangan adiknya yang terasa semakin kurus.

"Iya, Kak. Aku akan berusaha. Yang penting kalian jangan terlalu khawatir," jawab Naya, mencoba menutupi kegundahan yang sering ia simpan sendiri.

Bintang menarik napas panjang, lalu tersenyum. "Baiklah. Sekarang kamu harus istirahat. Besok masih harus sekolah, kan?"

Naya mengangguk. "Iya, Kak. Selamat malam."

Ia pun bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamarnya. Bintang menatap punggung adiknya yang semakin lama semakin menghilang di balik pintu, lalu ia sendiri berdiri, merenggangkan tubuhnya sejenak sebelum masuk ke dalam kamar. Besok, ia harus bangun lebih pagi. Ia ingin memastikan Naya sampai ke sekolah dengan selamat.

...***...

Naya duduk diam di kursi penumpang, kepalanya bersandar pada jendela mobil yang berembun tipis karena udara pagi. Matanya menerawang ke luar, mengikuti irama jalan yang berkelok. Hatinya terasa sesak saat pandangannya tanpa sengaja tertuju pada sebuah mobil di sebelah mereka. Di dalamnya, ia melihat sosok yang begitu familiar—Nuri, ibu kandungnya.

Wanita itu tampak tertawa hangat, mengusap krim kue di wajah Aleta, adik tirinya. Pemandangan itu menyakitkan. Keakraban yang dulu miliknya, kini telah menjadi milik orang lain. Naya merasa seolah dirinya hanyalah bayangan samar di masa lalu ibunya.

Tanpa berkata apa-apa, Bintang, kakaknya, mengulurkan tangan dan menutup kedua mata Naya dengan lembut. “Jangan dilihat lagi,” suaranya terdengar lirih, sarat dengan pemahaman.

Naya tidak melawan. Ia hanya membiarkan dirinya terseret ke dalam pelukan Bintang, merasakan dekapan hangat yang selama ini menjadi tempatnya berlindung. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, mencoba meredam perasaan yang bergemuruh di dalam dada.

“Jangan sedih, Nay,” lanjut Bintang, mengelus bahunya perlahan. Dengan tangan lainnya, ia menggenggam kemudi lebih erat, mempercepat laju mobil, menjauh dari pemandangan yang hanya akan melukai hati mereka lebih dalam.

Keluarga itu, yang dulu adalah rumah mereka, kini telah menjadi rumah tanpa mereka di dalamnya.

“Dulu, aku yang memutuskan untuk menjauh,” suara Naya bergetar, seiring dengan jatuhnya air mata di pipinya. “Aku yang memilih untuk menghilang dari kehidupan mereka. Tapi kenapa rasanya sesakit ini melihat mereka bahagia tanpa aku?”

Bintang menelan ludahnya, menahan emosi yang mulai memenuhi dadanya. Ia ingiN menghibur, tapi kata-kata seolah tersangkut di tenggorokannya. Melihat adiknya terluka seperti ini, membuatnya ikut merasa hancur.

“Apa kamu juga akan melupakan aku suatu saat nanti?” tanya Naya, suaranya terdengar begitu rapuh.

Bintang menggeleng tegas. “Tidak akan. Sedetik pun tidak akan pernah,” jawabnya dengan penuh keyakinan. “Kamu adikku, Nay. Kamu akan selalu ada dalam hidupku, apa pun yang terjadi.”

Naya menatap Bintang dengan mata yang sembab. Ada kehangatan yang sedikit mengikis rasa sakit di hatinya. Namun, luka itu masih ada, mengendap di dasar jiwanya.

Bintang menghela napas panjang, lalu berkata lirih, “Tidak seperti Mama, yang mungkin memang sudah melupakan kita.”

Suasana mobil menjadi sunyi. Hanya suara napas tertahan yang terdengar di antara mereka. Bintang dengan cepat menyeka air matanya sebelum Naya sempat melihatnya. Ia tahu, ia harus tetap kuat. Hanya boleh ada satu pilar yang berdiri kokoh untuk Naya, dan pilar itu adalah dirinya.

Tanpa sadar, Naya menggenggam tangan kakaknya erat. Ia tahu, selama masih ada Bintang di sisinya, ia tidak benar-benar sendirian.

Setelah mobil berhenti di depan gerbang sekolah, Naya menarik napas dalam. Bintang menoleh ke arahnya, memastikan adiknya baik-baik saja sebelum dia benar-benar turun.

"Kamu yakin tetap ingin masuk sekolah?" tanya Bintang dengan nada khawatir.

Naya tersenyum kecil, meski matanya masih menyiratkan kelelahan dan kesedihannya. "Aku baik-baik saja, Kak. Lagipula, aku nggak mungkin terus-terusan tidak masuk sekolah."

Bintang menghela napas, kemudian mengangguk. "Oke, kalau ada apa-apa langsung telfon aku atau josua, ya."

Begitu Naya turun, sosok yang sudah menunggunya sejak tadi langsung menyapanya dengan ceria. Jimi berdiri di dekat gerbang, mengenakan seragam yang sedikit kusut seperti biasanya.

"Selamat pagi, Naya!" serunya penuh semangat, seolah dunia baik-baik saja. Ia juga menyapa Bintang sebelum laki-laki itu kembali melajukan mobilnya pergi.

Naya tersenyum kecil. "Pagi, Jim. Kok tumben nunggu di sini?"

Jimi mengangkat bahu. "Nggak ada alasan khusus. Cuma pengin memastikan kamu beneran masuk sekolah hari ini."

Mereka berjalan beriringan memasuki koridor sekolah. Namun, tidak butuh waktu lama bagi Naya untuk menyadari tatapan dan bisikan yang mengiringi langkah mereka.

"Itu dia. Baru masuk aja udah bebas dari hukuman."

"Sering bolos tapi nggak kena sanksi. Hebat banget."

"Pasti ada koneksi, deh."

Naya menggigit bibirnya, berusaha mengabaikan suara-suara itu. Tapi Jimi yang mendengarnya langsung mendengus kesal.

"Serius, mereka nggak pernah ada capeknya gosipin orang?" gerutunya.

Namun, sebelum Naya sempat menenangkan Jimi, mereka berpapasan dengan Liam, Aiden, dan Sintia. Tatapan mereka lebih tajam dari bisikan para siswa tadi. Sintia, dengan senyum tipis yang sarat makna, membuka pembicaraan.

"Wah, akhirnya kita bisa lihat wajahmu lagi di sekolah ini, Naya. Gimana? Sudah puas bolosnya?" katanya dengan nada pura-pura ramah.

Naya menelan ludah, mencoba tetap tenang. "Aku nggak bolos, cuma ada urusan."

Liam mendecakkan lidah. "Oh, urusan ya? Urusan apa, Nay? Urusan jalan sama cowok-cowok yang nge-backup kamu?"

Jimi langsung maju selangkah, ekspresinya berubah serius. "Mulut lo nggak pernah bisa dijaga, ya?"

Sintia terkekeh, lalu menatap Jimi dengan sinis. "Kenapa? Nggak terima temen lo ini disebut begitu?"

"Gue nggak terima kalau kalian seenaknya ngomongin Naya tanpa tahu apa-apa," sahut Jimi tajam.

Aiden yang sejak tadi diam akhirnya buka suara. "Lo tuh terlalu gampang kebawa emosi, Jim. Omongan Kita nggak salah, kan? Siapa tahu dia emang punya keistimewaan di sekolah ini."

Jimi mendengus. "Atau mungkin lo yang terlalu gampang dengerin omongan Sintia? Dari awal dia yang paling senang manas-manasin keadaan. Lo pikir kenapa lo mulai benci Naya? Apa karena lo benar-benar punya alasan, atau karena dia yang bikin lo mikir begitu?"

Wajah Sintia menegang, sementara Liam dan Aiden saling berpandangan. Tapi sebelum perdebatan semakin panas, Naya menyentuh lengan Jimi, menggenggam bajunya dengan erat.

"Sudah, Ji. sebaiknya kita pergi saja" katanya pelan, gelengan kepalanya menandakan ia tidak ingin perdebatan ini berlanjut.

Jimi menatap Naya, ragu sejenak, tapi akhirnya menghela napas. "Ayo pergi dari sini."

Ia menarik pergelangan tangan Naya, meninggalkan Liam, Aiden, dan Sintia yang masih diam. Kerumunan siswa yang menonton pun perlahan bubar, seiring dengan langkah Naya dan Jimi yang semakin menjauh dari mereka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!