"Kalian udah pada tahu tentang kejadian kemarin"
"Iya tahu, kasihan banget yah sama Naya"
"kira-kira pertemanan mereka masih baik-baik aja nggak yah?"
"Bakalan heboh nggak sih"
Bisik-bisik beberapa siswa menyambut kedatangan Naya di sekolah pagi itu.
Naya berjalan melewati koridor sekolah, setiap langkah yang dia ambil dalam diam meninggalkan kehampaan di dalam dirinya. Dia terus berjalan sambil menebalkan telinganya, berusaha mengabaikan bisik-bisik yang mengiringi langkahnya menuju ruang kelas. Dinding-dinding sekolah seakan menjadi semakin dingin menguarkan hawa dingin yang membawa perasaan hampa dan perasaan asing yang menyerang naya yang masih saja membisu. Tanpa dia bisa pungkiri bahwa dirinya sungguh merindukan hari-hari yang lalu, Hari-hari dimana dirinya bisa bercengkrama, bercerita serta bercanda gurau dengan anak-anak yang lain. Kesunyian semakin mengusik batin saat pandangan anak-anak lainnya tampak mencibir dan bergegas menjauh dari naya yang hendak menyapa mereka.
Setibanya di ruang kelas, Naya memilih tempat duduk di pojok paling belakang. Ia sadar bahwa dirinya tidak lagi memiliki tempat yang baik dari pandangan teman-teman sekelasnya, mungkin dirinya tidak berhak lagi atau bahkan tidak lagi memiliki hak untuk berbicara membela dirinya sendiri dari tatapan menghakimi itu. Naya mengeluarkan buku catatannya dan mencoba fokus pada pelajaran, namun pikirannya terus melayang-layang menampilkan angan yang mungkin hanya ada dalam pikirannya. Ia terus menerka, membayangkan bagaimana reaksi teman-temannya jika ia mencoba untuk berbicara dengan mereka terlebih dahulu. Apakah mereka akan menerimanya kembali atau malah semakin menjauhinya? Menganggapnya rendah karena tidak mampu menerima semua konsekuensi dari kesalahan yang dia perbuat.
Tanpa terasa Bel istirahat berbunyi, Naya yang masih dihantui keraguan berusaha memberanikan diri. Mengambil langkah untuk berjalan keluar kelas mempersiapkan diri menghadapi tatapan yang akan menghakimi dirinya lagi. Dengan perasaan was-was dia terus Ia memohon di dalam hatinya agar tidak bertemu ataupun berpapasan dengan anggota Band Starry.
"Andai tadi nggak kesiangan bangunnya, mungkin aku nggak perlu ke kantin" batin Naya berusaha mempercepat langkah kakinya. Menyesali sarapannya yang terlewati karena dirinya terbangun kesiangan membuatnya harus berangkat sekolah dengan tergesa-gesa karena takut terlambat.
"naya!" Sapa Sintia berjalan cepat mendahului langkah naya. Dari tatapan serta senyum simpul Sintia, naya bisa memastikan bahwa dirinya akan berada dalam situasi yang kurang baik jika terus meladeni mereka.
"apa yang mereka ingin lakukan?" batin Naya memandang heran pada tiga gadis yang punya banyak pengagum di sekolah mereka. Meski mereka kerap berpapasan di lingkungan sekolah maupun di luar kegiatan sekolah namun hal itu tidak serta merta membuat mereka memiliki hubungan yang baik.
"loe dipanggil sama Bu Febry ke ruang guru, sekarang!" tutur Lisa dengan senyum tipisnya. Dahi Naya berkerut memikirkan alasan dari pemanggilan diri ke ruang guru, bukankah speaker sekolah masih berfungsi dengan baik mengapa harus merepotkan siswa lain jika hanya untuk menyuruh siswa menghadap ke ruang guru.
"Benar nay, kalau kamu nggak percaya kita bisa temanin kamu ke sana" ucap Sintia memperkuat kebenaran dari ucapan Lisa sebelumnya. Senyum yang tidak hilang dari sudut bibir mereka dan alis mereka yang naik turun saat bertatapan seakan salin memberi kode rahasia yang mungkin hanya mereka yang bisa mengerti maksudnya.
"baiklah, kita ke ruang guru sekarang" kata Naya menyetujui niatan mereka setelah diam memikirkan dan merenungkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi saat dirinya menolak ataupun mengikuti ucapan mereka.
"Tumben kamu jalan sendiri Nay?, anak Starry yang lain pada kemana?" tanya Lisa berjalan di samping Naya, seakan berusaha mengejek Naya yang kini tak sekalipun bertegur sapa dengan Aiden, Liam maupun Jimi hari itu. meski mereka mengetahui dengan jelas kejadian kemarin bahkan mereka menyaksikan semua perdebatan yang berakhir dengan Naya yang ditinggalkan di tempat kompetisi sendirian.
"Mungkin mereka di ruang latihan, seperti biasa" Naya menjawab dengan mempertahankan ketenangan yang mampu dia tampilkan. Dirinya sekuat tenaga berusaha meredam kesedihan yang kini kembali menyeruak ke dalam hatinya, berusaha bersikap biasa-biasa saja seakan tidak ada masalah berarti yang terjadi.
"yah ampun Nay, nggak usah sok lugu begitu bisa kan?" timpal Rini membuka suara, membuat semua tatapan teralihkan pada Rini yang berjalan paling belakang. Diantara mereka mungkin hanya Rini yang blak-blakan saat berbicara dan sarkas terdengar, hingga seringkali membuat banyak orang sakit hati dibuatnya.
"Kemarin kita lihat semua yang terjadi di kompetisi, loe dicampakkan sama mereka 'kan?" lanjut Rini membuat langkah Naya terhenti. Setiap ucapannya seakan tidak terbantahkan dengan sikap dan kebisuan Naya yang kini kembali tertunduk lemah.
"ahh kelamaan, sini!" seru Lisa bergegas memegang erat pergelangan tangan Naya kemudian menariknya ke arah toilet perempuan. Tidak sabar lagi ingin melakukan yang sudah lama mereka rencanakan tetapi selalu gagal.
"kalian mau ngapain?" tanya naya dengan perasaan taku yang menguasai dirinya. Dengan segala tenaga Naya terus meronta berusaha melepaskan cengkraman tangan Lisa yang semakin lama semakin kuat terasa. Bukan hal yang lumrah jika kekuatan lisa berada di atas perempuan pada umumnya, sejak kecil dirinya sudah menekuni dunia persilatan.
"Ketiga bodyguardmu tidak akan datang menolongmu lagi" ujar Sintia menutup pintu toilet dengan seringai liciknya, sudah lama mereka ingin memberi Naya sedikit pelajaran namun dengan adanya Liam, Aiden dan Jimi di sekitar naya membuat mereka urung bertindak.
Ketiga teman yang dulu selalu memasang badan saat Naya diganggu oleh anak - anak lain, kini sudah menjadi orang yang tampak asing hanya karena sebuah kegagalan.
"Apa salahku pada kalian? Kenapa kalian membenci diriku" tanya Naya dengan suara meninggi tidak ingin dirinya didominasi oleh ketiga siswa yang memiliki pengaruh besar di sekolah mereka. meski perlawanannya tidak memberi dampak yang begitu nyata di hadapan ketiga gadis tersebut.
Plak... Plak...
Dua tamparan Sintia begitu mulus mendarat di kedua pipi naya. Tamparan yang membuat naya meringis merasakan panas dan sakit pada pipinya di saat yang bersamaan.
"tamparan itu karena loe udah berani ngambil perhatian Aiden" ujar Sintia mengibas - ibaskan tangannya yang terasa kebas setelah menampar pipi naya dengan keras.
"seandainya loe tidak ada dalam Starry, sudah pasti Aiden udah jadian sama gue" ungkap Sintia mengingat kembali penolakan Aiden dengan beralasan kurang nyaman dengan Naya jika salah satu dari mereka berpacaran.
"ini, karena loe udah berani ngerebut posisi drumer band Starry dari gue" ucap Lisa mencengkram rambut Naya yang terkuncir, kemudian mendorong kepala Naya ke dalam lavatory wastafel yang dipenuhi air. Menekan kuat dan menahannya beberapa saat hingga Naya kesusahan bernafas dan menelan sedikit air tersebut.
"gue, nggak pernah merebut apapun" tutur Naya dengan nafas tersenggal - senggal, menyeret tubuhnya menjauh setelah Lisa menghempaskannya dengan kasar.
"Sebenarnya loe nggak salah apa - apa sama gue, tapi karena perlindungan dari anggota Starry dan cara kalian tertawa bersama membuat gue muak tiap hari" ucap Rini menyiramkan seember air ke atas tubuh Naya, diiringi gelak tawa puas Lisa dan Sintia. seketika keberanian naya runtuh, air matanya jatuh tanpa bisa dia bendung lagi.
Benar kata orang bahwa kebencian bisa menular, kita bisa sangat membenci orang lain tanpa hal yang mendasar. Hanya dengan mendengar beberapa potong cerita yang entah benar adanya orang itu telah lakukan, membuat kita muak bahkan menumbuhkan kebencian kepada orang tersebut.
"aku nggak pernah melakukan apapun yang buruk pada kalian, kenapa kalian membenciku" ucap Naya dengan lirih air matanya masih jatuh membasahi pipinya yang memerah. Merasakan ketakutan untuk pertamakalinya setelah cukup lama merasakan kedamaian menjalani keseharian di tempat itu.
"dasar nggak tahu diri, masih saja naif" ucap Rini menatap nyalang ke arah Naya sebelum mengikuti langkah Lisa dan Sintia yang sudah lebih dulu meninggalkan toilet tersebut.
Naya terus menangis duduk sambil memeluk kedua lututnya, gadis yang dulu tampak selalu tegar kini hanya mampu menangis meratapi nasibnya yang kurang beruntung.
"apa aku sungguh tidak bisa berdiri tanpa kalian?" tanya naya pada dirinya sendiri, mengingat kembali hari-hari damai yang dia lewati bersama Liam, Aiden serta Jimi.
Cukup lama Naya duduk termenung di dalam toilet perempuan, bahkan bel pertanda bel istirahat telah berakhir dia hiraukan. Menikmati kesunyian yang membuat dirinya merenungi banyak hal yang tidak bisa dia miliki kembali.
"Naya" ujar seseorang yang berpapasan dengan Naya sudut koridor. menatap ibah pada penampilan Naya yang acak - acakan dan tak karuan.
Banyak pertanyaan yang membludak di dalam kepalanya setelah bertemu kembali dengan gadis yang dulu sangat dia ingin dekati.
"apa yang terjadi?"
"apa kau baik-baik saja?"
"siapa yang melakukan hal buruk kepadamu?"
atau bahkan pria itu ingin menanyakan tentang kehidupan Naya belakangan ini, entah semuanya berjalan dengan lancar atau mungkin kehidupan Naya sudah tidak lagi sama seperti dahulu.
Segera Naya menghapus sisa-sisa air matanya, sebelum dirinya berani mengangkat kepala untuk memastikan orang yang memegangi kedua bahunya dengan erat.
"kak bintang" batin Naya mengingat sosok yang berusaha mendekat, namun naya lebih cepat menghindar tatapan mereka yang bersirobok.
Menyadari keadaan yang tidak menguntungkan untuk membuka percakapan panjang dengan naya, Bintang segera melepas hoodie abu yang dia kenakan. kemudian dengan telaten memakaikannya pada tubuh naya, menarik resletingnya hingga keujung dan menutupi kepala naya dengan tudungnya.
"kamu pake ini dulu" Ucap Bintang mengelus lembut pucuk kepala naya yang tertutup.
"apa perlu aku antar pulang?" tanya bintang dengan hati-hati, melihat sekitaran sekolah yang sudah tampak lenggang hanya tersisa beberapa siswa yang berkeliaran di area sekolah. Beberapa siswa yang mungkin menyempatkan waktu untuk mengikuti kegiatan ekstrakulikuler setelah seluruh jam pelajaran telah usai.
"tidak perlu, terima kasih!" ucap naya dengan suara lirih terdengar berbisik namun mampu ditangkap oleh indera pendengar Bintang.
Naya kemudian berlari meninggalkan Bintang yang menatapnya dengan penuh kebingungan. setelah sekian lama tidak bertemu dengan naya, akhirnya Bintang kembali bisa bertemu dengannya. Namun pertemuan itu terjadi saat kondisi sedang tidak baik-baik saja untuk naya.
Di tempat lain
"sepi banget yah" celetuk Jimi yang merasakan kehampaan ruangan latihan mereka tanpa kehadiran Naya.
"malahan ini lebih baik, daripada dia di sini malah bikin mumet tahu!" tutur Aiden memelintir dengan asal kabel mikrofon meluapkan perasaan amarahnya yang belum juga meredah.
"iya, terserah kau sajalah" ucap Jimi tidak ingin berdebat dengan Aiden yang paling keras kepala diantara mereka.
"sudah jangan dibahas lagi, jika Naya memang merasa bersalah harusnya dia datang dan meminta maaf atas kejadian kemarin" timpal Liam ikut meluapkan perasaan kesalnya, pandangannya tidak pernah teralih dari pintu yang sejak tadi tidak terbuka dalam lubuk hatinya dia mengharapkan Naya datang menghampiri mereka. Berusaha memperbaiki semua yang menjadi kekecewaan yang kini berujung dengan peresaan kesal mereka.
"pokoknya kegagalan kemarin semua karena Naya, intinya semua kesalahan ada pada Naya" Kata Aiden bangkit dari duduknya, membuat Jimi hanya bisa menggelengkan kepala menatap kedua temannya secara bergantian. Meski ingin membela Naya namun dirinya tidak akan menang melawan argumen kedua orang yang keras kepala di depannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments