Diagnosis Kanker

Udara di ruangan konsultasi pada salah satu rumah sakit ternama terasa berat. Dokter Rendra mengatur napasnya, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan isi dari kertas - kertas di depannya. Ia menatap Naya yang duduk di hadapannya, gadis yang menunggu dengan sabar hasil dari serangkain pemeriksaan yang telah dia lakukan. Gadis remaja itu terlihat begitu tegar, namun getaran di tangannya yang terkepal erat lipatan mengkhianati ketenangan yang berusaha dia tampilkan di permukaan.

"Naya, hasil pemeriksaanmu sudah keluar. Dan aku harus menyampaikan ini padamu dengan jujur. Kamu didiagnosis mengidap kanker pankreas." Suara Dokter Rendra terdengar berat, hati kecilnya terasa nyeri menyampaikan berita buruk itu. Ia tahu betapa berat beban yang harus dipikul oleh gadis muda ini.

Naya terdiam, matanya membulat sempurna. Sejenak, ruangan terasa sunyi, hanya terdengar detak jantung mereka yang berpacu kencang. Naya mencoba mencerna kata-kata Dokter Rendra, namun otaknya terasa buntu untuk mengerti sepenuhnya ucapan Dokter Rendra. Kanker pankreas? Penyakit itu terdengar begitu mengerikan, begitu jauh dari kehidupan seorang remaja seusianya.

"Dokter, apa maksudnya? Saya masih muda, pasti ada kesalahan dalam pemeriksaan itu" Suara Naya bergetar, air matanya mulai berjatuhan tanpa bisa dia hentikan.

Dokter Rendra mengulurkan tangannya, ingin menenangkan Naya, namun gadis itu segera menarik tangannya dari atas meja.

"Aku tahu ini sangat sulit untuk diterima, Naya. Tapi kamu harus kuat. Kita akan hadapi ini bersama-sama. Ada banyak pengobatan yang bisa kita coba." ujar Dokter Rendra berusaha menenangkan Naya yang semakin sesenggukan dalam tangisnya.

Naya menggelengkan kepala, air matanya semakin deras membasahi pipinya. Membuat Dokter Rendra merasakan sesak di dadanya. Ia tahu betul betapa rumitnya dinamika kehidupan seseorang dalam melawan penyakit kanker.

"jika kamu masih belum yakin. Kita bisa melakukan pemeriksaan ulang" kata Dokter Rendra meski dirinya percaya dengan hasil pemeriksaan itu, tetapi dirinya tetap ingin mengalah agar Naya bisa sedikit tenang dari tangisnya.

"tidak perlu Dokter, saya tidak ingin melakukannya" kata Naya dengan suara lirih, dirinya tahu batas kemampuannya. Dia tidak akan sanggup menerima kenyataan Jika tetap mendapat hasil yang sama. membiarkan egonya membohongi dirinya sendiri yang masih belum siap menerima kenyataan tersebut.

"Naya, kamu harus memberitahu orang tuamu tentang ini. Mereka berhak tahu. Dan kamu juga membutuhkan dukungan dari mereka" ungkap Dokter Rendra kembali meruntuhkan keyakinan Naya yang sedang berusaha dia kuatkan.

Naya menatap Dokter Rendra dengan mata sayu. "Aku belum siap, Dok. Aku takut"

...****************...

Nuri yang sedang mengoleskan krim wajah secara merata di wajahnya, segera mematung mendengar penuturan suaminya yang ingin mencarikan asrama putri untuk Naya. Sekilas terbesit kenyataan pahit bahwa Naya hanyalah anak tiri bagi Rudi.

"Apa maksudmu mencarikan asrama untuk Naya? Dia masih terlalu muda untuk tinggal jauh dari rumah!" seru Nuri menatap nyalang pantulan Rudi pada cermin riasnya. Hatinya begitu bergemuruh mendengar keinginan suaminya mengingat Naya yang masih remaja.

"Sayang, Naya sudah dewasa. Dia perlu belajar mandiri. Lagipula, asramanya dekat dengan sekolahnya, jadi dia bisa fokus pada pendidikannya." tutut Rudi berusaha menyampaikan alasan dari keinginannya dengan tenang. Dia paham betul dengan kepribadian Nuri yang keras kepala, namun selalu mengedepankan logikanya saat menghadapi masalah.

"Dekat? Sedekat apa? Jangan-jangan kamu sudah menyiapkan segalanya tanpa sepengetahuan saya?" tanya Nuri curiga, segera membalikkan tubuhnya dan menatap Rudi secara langsung. Meski berperan sebagai ibu ramah tangga, namun Nuri juga turut menyumbangkan jerih payah dalam finansial keluarga mereka.

"Tidak, Sayang. Aku baru saja memikirkannya. Aku hanya ingin yang terbaik untuk Naya" jawab Rudi memegang kedua bahu Nuri yang siap meledakkan amarahnya.

Meski berbelit-belit dalam menjelaskan, namun satu yang pasti dari alasan Rudi adalah Naya telah dewasa dan sudah seharusnya dia mulai belajar hidup mandiri. Nuri yang awalnya menolak keras keinginan suaminya, namun akhirnya luluh juga setelah mendengar jika mereka akan tetap membiayai kehidupan Naya seperti biasa meski hidup jauh dari rumah. Bahkan Rudi siap membiayai kehidupan Naya diluar sana nanti.

Di Taman Kota

Bintang, tersenyum hangat saat melihat sosok Naya duduk di gazebo yang sama seperti dulu, tempat biasa Naya terduduk termenung sendiri. Dulu, gazebo ini adalah saksi bisu saat Bintang sering mengawasi gadis itu dari jauh, tanpa punya keberanian untuk mendekat dan mengajak gadis itu mengobrol.

"Naya?" sapa Bintang dengan suara seraknya, suaranya memecah kesunyian sore itu. tidak sia - sia dirinya berlarian ke tempat itu, setelah mendengar cerita Josua yang melihat Naya menangis diam - diam di taman itu.

Naya tersentak, matanya yang sembab menatap Bintang.

"Kak Bintang?" kata Naya merasa heran dengan sosok yang kini mendekat ke arahnya, membuatnya segera menghapus sisa - sisa air matanya.

Tanpa permisi, Bintang segera duduk di samping Naya.

"Sedang apa di sini sendirian?" tanyanya sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran gazebo. Berusaha menatap lurus ke depan meski dirinya sangat ingin menatap mata Naya serta bertanya langsung perihal penyebab kesedihan gadis itu.

Naya menggeleng pelan, tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke arah danau kecil di depan mereka. Bintang memperhatikan raut wajah Naya yang terlihat sangat murung. Ia tahu ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiran Naya, namun tidak ingin memaksa Naya untuk bercerita padanya.

"Ada masalah, ya?" tanya Bintang hati-hati, berharap dirinya tidak menyinggung perasaan Naya, yang bisa membuat Naya menjauhi.

Terdengar helaan napas yang begitu berat Naya "Tidak ada apa-apa, kok kak"

Bintang meraih tangan Naya dan menggenggamnya dengan erat. "jika kamu masih belum ingin bercerita tidak apa, satu hal yang harus kamu tahu bahwa aku akan selalu berusaha ada untukmu"

Naya segera menarik tangannya, kesadarannya kembali pada kenyataan. Pria di hadapannya hanyalah Bintang, seniornya yang dulu kerap terlihat ramah dan mudah diajak bicara. Dulu, saat mereka masih bersekolah bersama, hubungan mereka tidak lebih dari sekedar senior dan junior. Bintang selalu terlihat populer, dengan segudang prestasi dan bakat yang membuatnya dikagumi banyak orang, termasuk Naya. Namun, Naya sendiri hanyalah salah satu dari sekian banyak murid yang mengaguminya dari kejauhan. Jarang sekali mereka berinteraksi secara personal, hanya sapaan singkat dan senyuman tipis yang terlontar di antara keduanya.

"terima kasih kak, karena sudah peduli. Tetapi saya tidak ingin merepotkan orang lain dengan masalah saya" kata Naya menekankan bahwa Bintang baginya hanyalah orang luar yang tidak berhak ikut campur dalam masalahnya. Naya tahu setiap orang punya masalahnya sendiri, membuat naya tidak ingin merepotkan siapapun dengan masalah yang seharusnya dia hadapi bersama keluarganya.

"maaf yah kak, sepertinya saya harus pulang sekarang" pamit Naya tidak ingin berada di tempat itu bersama Bintang yang menatapnya dengan tatapan yang sulit Naya gambarkan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!