Seperti hari-hari sebelumnya, Naya tiba di studio latihan dengan diantar. Namun, kali ini bukan Bintang yang menemaninya, melainkan Josua dan Denny, dua sahabat kakaknya yang selalu punya cara untuk menjaganya tanpa terlihat berlebihan.
"Nanti kalau latihannya sudah selesai, langsung kabari kami, ya?" ujar Denny, mencondongkan tubuhnya ke belakang. Tatapannya penuh perhatian saat melihat Naya yang sedang melepaskan sabuk pengamannya.
"Siap, Kak!" jawab Naya ceria, menyembunyikan kecemasan yang sejak tadi mengendap di dalam hatinya.
Denny menghela napas pelan. "Maaf, ya, Nay. Kami nggak bisa nungguin. Deadline tugas akhir benar-benar bikin kepala kami hampir meledak." Ada nada penyesalan dalam suaranya.
"Iya, kan, Jo?" tambahnya, melirik Josua yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya di kursi pengemudi.
Josua mendesah berat sebelum akhirnya menanggapi, "Iya. Tiap hari ada saja revisi baru dari dosen pembimbing. Nggak ngerti lagi, kapan ini selesai." Wajahnya terlihat lelah, mencerminkan betapa beratnya tanggung jawab akademik yang harus mereka jalani.
Naya tersenyum kecil, memahami kesibukan mereka. Namun, alih-alih langsung turun, dia hanya menatap pintu masuk studio dengan ekspresi ragu. Perasaannya berkecamuk—antara canggung, takut, dan segan setelah beberapa hari menghindari latihan bersama Starry Band.
Josua yang menyadari keengganannya segera berbicara, "Masuklah. Jangan sampai kamu dimarahi karena terlambat."
Naya masih diam, jarinya menggenggam erat tali tasnya.
Josua menambahkan, kali ini dengan nada yang lebih meyakinkan, "Tenang aja, mereka nggak bakal ganggu atau memarahi kamu lagi."
Denny spontan menoleh ke arah Josua dengan ekspresi heran. "Darimana datangnya keyakinanmu sampai bisa ngomong gitu?" tanyanya, nada suaranya setengah menggoda. Mereka jelas tahu tentang ketidakhadiran Naya di studio beberapa hari ini akan membuat temannya itu merutuki dan marah terhadap gadis itu
Josua mendengus, lalu mengangkat ponselnya dan menggoyangkannya di udara. "Jimi yang bilang sendiri ke aku."
Naya yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat suara. "Kalian dekat?" tanyanya penasaran.
Josua mengangkat bahu santai. "Akhir-akhir ini dia sering nge-chat, nanyain kabarmu."
Naya dan Denny saling bertukar pandang sebelum bersamaan membentuk bibir mereka seperti huruf "O", seolah baru saja menemukan sesuatu yang menarik.
Josua mendelik kesal. "Udah sana, masuk! Jangan cari alasan lagi buat nunggu di sini."
Naya tertawa kecil, lalu menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka pintu mobil. Dengan langkah ragu, dia melangkah menuju studio, sementara Josua dan Denny masih mengawasinya dari dalam mobil.
Naya menghela napas sebelum akhirnya membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam studio. Tangannya masih gemetar, bukan karena lelah, tetapi karena kegugupan yang tak bisa ia kendalikan. Begitu pintu terbuka, tatapan pertama yang menyambutnya adalah milik Jimi, yang langsung tersenyum kecil ke arahnya.
"Naya! ah, akhirnya kau datang juga," ucap Jimi, berdiri dengan tangan di saku celananya, menatap Naya yang masih memegang handel pintu dengan ragu.
"Eh, Jimi. Kamu juga baru sampai?" jawab Naya, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Sudah beberapa hari ini ia tidak bertegur sapa dengan mereka. Setelah kondisinya memburuk, ia harus menginap di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang intensif. Namun, ia tak ingin teman-temannya tahu alasan sebenarnya.
Jimi menatapnya dengan seksama sebelum akhirnya bertanya, "Kamu udah sehat?"
Naya tersenyum kecil. "Sudah agak baikan sekarang. Kau tahu, Gerd yang kambuh juga butuh penanganan yang cukup baik," jawabnya dengan nada santai, meskipun dalam hatinya, ia merasa bersalah karena harus berbohong. Ia tidak ingin teman-temannya mencurigai kesehatannya yang sebenarnya. Mungkin dia tidak ingin menerima perlakuan baik dari mereka hanya karena merasa kasihan kepada dirinya.
Jimi menatapnya dengan penuh perhatian. Ia tahu bahwa Naya sedang menyembunyikan sesuatu, tetapi ia juga tahu jika ia menekannya, gadis itu akan semakin menjauh. Jadi, ia hanya mengangguk setuju dengan ungkapan naya sebelumnya. "Baguslah kalau begitu. Ayo kita segera masuk."
Namun, sebelum mereka benar-benar bisa tenang, suara sinis terdengar dari dalam ruangan.
"Masih berani datang juga lo ternyata," ujar Aiden dengan tatapan penuh ketidaksukaan.
Naya mengangkat wajahnya, menatap Aiden yang bersandar di dinding dengan tangan menyilang di dada. Ia tahu sikap Aiden tidak akan ramah, tetapi tetap saja, mendengarnya langsung membuat hatinya sedikit sakit.
"Iya, gue kira lo nggak bakal muncul lagi di hadapan kita," tambah Liam dengan nada yang sama dinginnya.
Naya menelan ludah, mencoba meredam emosi yang bergejolak dalam dirinya. Ia tidak bisa menyalahkan mereka. Dengan kompetisi yang semakin dekat, wajar jika mereka marah karena ia sempat menghilang tanpa kabar beberapa hari ini.
"Udah, jangan bertengkar lagi. Sebaiknya kita segera latihan sekarang," ujar Jimi mencoba menengahi, tetapi suasana sudah terlanjur panas.
Naya hanya bisa menatap kosong ke arah dua temannya yang masih menatapnya sinis. Dalam hatinya, ia bertanya "Apa dengan ketidak munculanku di hadapan kalian lagi, kalian tidak akan membenciku sekuat ini?"
Namun, sebelum ia bisa mengucapkan sesuatu, Jimi menarik tangannya, membawanya masuk lebih dalam ke ruangan. "Waktu adalah emas. Ayo, Naya," katanya, berusaha mengalihkan perhatian. Agar suasana panasnya segera menguar dan mereka bisa kembali berinteraksi tanpa harus saling menyakiti dengan kata-kata yang terucap.
Liam mendengus, menatap Jimi dengan tidak suka. "Bela aja terus."
Aiden yang tampaknya sudah kehilangan kesabaran langsung mengambil jaket kulitnya yang tergeletak di sofa dan melangkah keluar. "Gerah gue di sini. Lebih baik gue pergi ketemu Sintia."
"Gue juga mau pulang aja," ujar Liam, mengikuti langkah Aiden. Saat melewati Naya, ia sengaja mendorong tubuh gadis itu agar berpindah, membuat Naya sedikit terhuyung ke belakang.
Jimi menahan bahu Naya dengan lembut, mencegahnya jatuh. "Sudah, jangan terlalu dipikirkan," ujarnya pelan.
Naya menghela napas panjang, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. "Wajar kok kalau mereka marah padaku. Mengingat hari kompetisi yang semakin dekat, sedangkan aku sudah beberapa hari ini tidak sempat latihan bersama kalian," ujarnya lirih.
Jimi menatapnya sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Baiklah, mungkin kita tetap bisa lanjut latihan walau cuma berdua."
Naya mengangguk, kemudian melangkah masuk lebih dalam ke dalam ruangan dan duduk di belakang drum set miliknya. Jemarinya dengan lembut menggenggam stik drum, mencoba menemukan kembali ritme yang sempat hilang.
Jimi mengambil gitarnya dan duduk di seberangnya. "Beberapa lagu mungkin tidak masalah," katanya dengan senyum kecil, menatap Naya yang akhirnya mulai menunjukkan kembali semangatnya.
Meski hanya berdua, mereka tahu latihan tetap harus berjalan. Bagi Naya, ini bukan sekadar latihan. Ini adalah bagian dari hidupnya, sesuatu yang membuatnya merasa masih memiliki alasan untuk bertahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments