Naya duduk di bawah rindangnya pohon mahoni di taman sekolah, jari-jarinya sibuk membalik halaman buku yang dibacanya. Semilir angin menggoyangkan beberapa helai rambutnya yang tergerai indah. Namun, konsentrasinya terpecah saat mendengar langkah kaki mendekat. Seseorang duduk di sisi kursi taman yang kosong di sampingnya.
perempuan itu segera mendongak. Di depannya, sosok jangkung yang dikenalnya tersenyum. Itu Jimi, teman sekaligus salah satu personel Band Starry.
“Kok tiba-tiba duduk di sini?” Naya mencoba mencairkan suasana, meski dia sebenarnya tahu alasan Jimi mencarinya.
Jimi tersenyum tipis, lalu tanpa basa-basi mengeluarkan selembar selebaran dari dalam tasnya dan menyodorkannya pada Naya. “Baca ini dulu.”
Naya meraih selebaran itu. Tertulis dengan huruf kapital besar: [Kompetisi Band Nasional: Hadiah 45 Juta Rupiah untuk Juara Pertama.]
Dia mendesah pelan, menyadari apa yang akan menjadi pembahasan mereka selanjutnya. “Kompetisi?” tanyanya, pura-pura tidak mengerti. meski sebenarnya dia enggan terlibat atau lebih tepatnya dia tidak ingin lagi menjadi bagian dari hidup mereka yang mungkin sudah melupakan dirinya.
Jimi mengangguk. “Iya, Naya. Ini kesempatan buat kita semua. Aku, Aiden, Liam, bahkan Gean setuju kalau kamu akan ikut bersama kami.”
Naya mengalihkan pandangannya menatap daunan yang menari mengikuti keinginan angin, tatapannya tajam. “Aku? Bukannya posisi drumer diisi Gean sekarang? Ngapain kalian cari aku lagi?” ucapan yang terdengar cetus namun tak menyurutkan niatan Jimi.
“Gean memang hebat, tapi dia belum terbiasa menghadapi tekanan kompetisi besar seperti ini. Lagipula, kamu tahu sendiri, tidak ada yang bisa mengisi posisimu dengan cara yang sama.” Jimi menjawab tenang, meski ada nada memohon dalam suaranya. Dia tahu hanya ini kesempatan yang tersisa jika mereka sungguh ingin memperbaiki hubungan pertemanan mereka.
Naya mengembalikan selebaran itu ke tangan Jimi. “Aku nggak tertarik. Lagipula, aku sudah memutuskan untuk nggak lagi terlibat dengan Band Starry.” meski terucap kata itu terdengar begitu mulus dari bibir naya, tetapi beda halnya dengan keinginan yang terpendam dalam lubuk hatinya.
“Naya…” Jimi menghela napas panjang. “Aku nggak memaksa. Aku tahu kamu punya alasan sendiri. Tapi, coba pikir lagi. Ini bukan soal Band, ini soal membuktikan diri. Kamu tahu, banyak orang meremehkan kemampuanmu sejak kamu keluar.”
“Biarkan saja.” Naya memotong cepat. “Aku nggak perlu pembuktian apa-apa. Aku nyaman dengan hidupku yang sekarang.”
“Tapi kita nggak nyaman tanpa kamu,” Jimi balas, suaranya lebih serius. “Aku cuma mau kamu tahu, Aiden dan Liam juga setuju. Mereka nggak akan mempermasalahkan apa pun kalau kamu kembali, bahkan kalau itu berarti Gean harus jadi cadangan. Aku yang akan tanggung jawab.”
Naya terdiam. Monolog dalam dirinya mulai gaduh. Benarkah Aiden dan Liam tidak marah? Benarkah semuanya akan berjalan baik-baik saja? Tapi, bisakah dia menghadapi tekanan ini lagi?
Jimi berdiri. “Aku nggak akan memaksa. Tapi, aku harap kamu mau pikirkan ini baik-baik. Aku yakin kamu tahu apa yang terbaik untuk semua orang.” Dia kembali menyodorkan selebaran itu ke tangan Naya. Kali ini, Naya menerimanya tanpa berkata apa-apa.
...***...
Dalam perjalanan pulang, Naya menatap selebaran itu dengan perasaan campur aduk. Angin sore yang dingin tidak mampu menenangkan pikiran yang berputar-putar di kepalanya.
Sesampainya di rumah, dia langsung mencari Bintang, kakaknya. Pria itu sedang sibuk di dapur, mengiris bawang untuk makan malam mereka.
“Kak, aku mau ngomong sesuatu,” ucap Naya sambil duduk di meja makan. mungkin benar kata Bintang sebelumnya dirinya hanya perlu membuka diri kepada orang disekitarnya.
Bintang melirik sekilas. “Tumben serius. Ada apa?”
Naya mengeluarkan selebaran dari tasnya dan meletakkannya le atas meja makan. “Aku ditawari ikut kompetisi, Mereka mau aku balik jadi drumer di Starry.”
Bintang berhenti mengiris bawang dan mengambil selebaran itu. Dia membacanya dengan seksama, lalu mengerutkan kening. “Bukannya kamu udah bilang nggak mau lagi terlibat sama mereka?”
“Iya, tapi…” Naya menggigit bibirnya, mencari kata-kata yang tepat. “Ini kesempatan bagus. Kalau aku ikut, mungkin aku bisa… memperbaiki hubungan sama mereka. Dan… aku kangen main drum, Kak.”
Bintang meletakkan selebaran itu kembali ke atas meja. “Naya, kamu tahu kondisi kamu sekarang nggak sebaik dulu. Kamu nggak bisa sembarangan capek, apalagi kalau sampai latihan terus-terusan.”
“Aku janji bakal jaga kesehatan. Aku nggak akan latihan sampai tengah malam lagi. Aku bakal dengerin semua saran kamu, Kak.” Suara Naya terdengar memohon menyiratkan keinginannya yang sudah berusaha dia kubur dalam-dalam di lubuk hatinya
Bintang menghela napas panjang. Dia tahu betapa antusiasnya adiknya terhadap musik. Tapi dia juga tahu risiko yang harus dihadapi jika Naya kembali ke rutinitas lamanya.
“Kamu yakin bisa jaga kesehatan? Kalau kamu sampai jatuh sakit lagi, aku nggak akan tinggal diam.”
Naya mengangguk cepat. “Aku janji. Kakak boleh awasi aku kapan saja. Kalau aku melanggar, aku bakal segera berhenti.”
Bintang mengusap wajahnya, menyerah. “Oke, tapi dengan syarat, kamu harus minta izin ke aku setiap kali pergi latihan. Dan kalau aku bilang cukup, kamu harus berhenti.”
“Deal!” Naya tersenyum lebar, wajahnya kembali ceria.
...***...
Hari itu, Naya berdiri di depan rumah, menunggu Josua yang berjanji akan mengantarnya. Kakaknya, Bintang, sedang sibuk dengan bimbingan skripsinya sehingga tidak bisa mengantar Naya ke studio. Tak lama, mobil sedan abu-abu milik Josua berhenti di depan pagar.
“Naik,” ucap Josua sambil membuka jendela.
Naya masuk ke dalam mobil dengan senyum kecil. “Makasih ya, Kak Josua. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku batal ke studio hari ini.”
Josua tersenyum tipis sambil menyalakan mesin. “Santai aja. Tapi inget, aku cuma antar. Kalau ada apa-apa, kabarin aku. Gue bakal tunggu di kafe dekat studio.”
“Siap,” jawab Naya sambil memasang sabuk pengaman bersiap menempuh perjalanan yang akan mengantarkannya pada tujuan mereka.
Selama perjalanan, Josua beberapa kali melirik Naya sekilas. Gadis itu terlihat antusias, matanya bersinar dengan semangat yang jarang ia lihat sejak Naya divonis mengidap kanker pankreas. Josua tahu bahwa bermain drum adalah satu-satunya hal yang membuat Naya merasa hidup kembali. Tapi di sisi lain, dia juga memahami kekhawatiran Bintang akan kesehatan Naya.
“Bintang bilang kamu cuma boleh latihan dua jam, nggak lebih,” kata Josua, memecah keheningan.
“Iya, aku tahu.” Naya mengangguk patuh. “Aku nggak bakal ngeluh, kok. Lagian, aku juga nggak mau bikin Kak Bintang khawatir.”
Josua tidak menjawab, tapi matanya menunjukkan bahwa dia masih ragu. Namun dia memilih untuk tidak melanjutkan pembicaraan sampai mereka tiba di depan studio.
...***...
Begitu turun dari mobil, Naya melihat Aiden baru saja sampai. Bersama Aiden, seorang Sintia, yang Naya tahu adalah pacar Aiden belakangan ini.
Aiden melirik Naya sekilas, lalu pandangannya beralih pada Josua yang masih berada di dalam mobil. Wajahnya berubah, menunjukkan sikap sinis yang tidak tersembunyikan.
“Udah mulai senang dijemput cowok sekarang?” gumamnya pelan, cukup untuk didengar oleh Sintia yang ikut memandang ke arah tatapan Aiden tertuju.
Sintia hanya tertawa kecil, tangannya melingkar di lengan Aiden. “Ternyata banyak hal yang berubah, ya?”
Tanpa memberi salam atau menyapa Naya, Aiden dan Sintia melangkah masuk ke studio. Naya hanya diam, hatinya sedikit teriris oleh sikap dingin Aiden.
Josua, yang memperhatikan kejadian itu dari dalam mobil, membuka jendela lebih lebar. “Kalau ada yang bikin kamu nggak nyaman, langsung kabarin aku. Gue bakal balik ke sini.”
Naya tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, Kak Josua. Aku bisa handle semua.”
Josua mengangguk, meskipun dia masih terlihat ragu. “Ingat ya, dua jam doang. Jangan sampai kelewatan.”
“Siap, Kak!” Naya menjawab dengan ceria, berusaha menutupi rasa tidak nyamannya. Josua pun berlalu, menuju kafe yang berjarak beberapa blok dari studio.
...***...
Di dalam studio, suasana terasa canggung. Aiden duduk di sofa bersama Sintia, sementara Jimi sibuk menyusun peralatan untuk latihan. Liam baru saja datang, membawa gitar dan amplifier.
Liam melirik Naya dengan pandangan yang tidak bisa disembunyikan. Meski dia, Aiden, dan Jimi sudah sepakat untuk meminta Naya kembali, ada rasa enggan di hatinya. Kalau bukan karena waktu kompetisi yang mepet dan kemampuan Gean yang masih kurang, Liam yakin mereka tidak akan memanggil Naya.
“Cepet siapin alat lo,” ucap Liam dingin saat melewati Naya.
Naya hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dia tahu tidak semua orang di sini benar-benar ingin dia kembali. Tapi dia sudah memutuskan untuk tetap datang dan memberikan yang terbaik.
...***...
Latihan dimulai dengan perlahan. Jimi mengambil peran sebagai pemimpin, memberikan instruksi untuk setiap lagu yang akan mereka bawakan di kompetisi. Pada awalnya, Naya merasa gugup. Tangannya kaku saat memegang stik drum, dan beberapa kali dia kehilangan tempo.
“Take it easy, Nay,” kata Jimi, berusaha memberi semangat. “Kita baru mulai lagi, nggak usah terlalu tegang.”
Aiden, yang duduk di sudut ruangan, hanya menghela napas panjang. “Kalau tempo aja masih susah dijaga, gimana nanti pas kompetisi?”
Naya merasakan pipinya memanas. Tapi sebelum dia bisa menjawab, Jimi menatap Aiden tajam. “Udahlah, Aiden. Kita di sini buat latihan, bukan buat nyalahin siapapun.”
Sintia, yang duduk di sebelah Aiden, hanya tertawa kecil. “Santai aja, Jimi. Aiden cuma kasih pendapat saja.”
Naya mengepalkan tangannya, mencoba menahan diri. Dia tahu, membalas hanya akan memperkeruh suasana. Jadi, dia memilih untuk fokus pada latihannya.
...***...
Setelah satu jam, suasana mulai mencair. Naya perlahan kembali menemukan ritmenya. Tangannya yang awalnya kaku kini mulai luwes memukul drum dengan intensitas yang pas.
Liam, meski masih terlihat kurang antusias, mulai mengakui bahwa kehadiran Naya membuat aransemen musik mereka lebih hidup. Di tengah latihan, dia akhirnya berkata, “Naya, coba ulangin lagi bagian bridge tadi. Gue rasa tempo lo udah pas tapi masih kurang masuk sama yang lain.”
Naya mengangguk, merasa sedikit lega. Meski dingin, setidaknya Liam mulai membuka ruang untuk komunikasi dengan dirinya.
“Good job, Nay!” seru Jimi ketika mereka berhasil menyelesaikan satu lagu tanpa kesalahan.
Naya tersenyum tipis. “Thanks, Ji. Tapi aku rasa masih banyak yang harus diperbaiki.”
“Kita semua juga ngerasa gitu,” sela Aiden, meski nadanya terdengar menyindir.
...***...
Dua jam berlalu, dan Jimi memberi tanda bahwa latihan selesai. Naya segera membereskan peralatan drumnya, merasa kelelahan tapi juga puas dengan yang dia lakukan.
Ketika dia keluar studio, Josua sudah menunggu di luar dengan segelas kopi di tangannya. “Gimana latihannya?” tanyanya sambil membuka pintu mobil untuk Naya.
“Capek, tapi aku senang,” jawab Naya sambil masuk ke mobil.
Josua tersenyum kecil. “Bagus kalau gitu. Tapi inget, jangan terlalu memaksakan diri. Gue sama Bintang nggak mau lo kenapa-napa.”
“Iya, Kak. Tenang aja. Aku bakal jaga diri baik-baik.”
Josua mengangguk, lalu menyalakan mesin mobil. Sementara itu, di dalam studio, Aiden masih duduk bersama Sintia. Pandangannya mengikuti mobil Josua yang pergi menjauh.
“Aku nggak ngerti kenapa Jimi dan Liam masih percaya sama dia,” gumamnya pelan.
Sintia hanya mengangkat bahu. “Mungkin karena mereka nggak punya pilihan lain.”
Aiden menghela napas panjang. “Kita lihat aja nanti. Kalau dia bikin masalah lagi, gue nggak akan tinggal diam.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments