Menghadapi Bersama

Bintang duduk di kursi pada ruang tunggu rumah sakit, menunduk dengan tangan mengepal di atas lututnya. Pikirannya kacau, penuh dengan rasa takut dan penyesalan. Hatinya terasa berat, seolah-olah dunia sedang menghukumnya atas semua ketidakpedulian dan keputusan yang pernah dia buat.

"Kenapa aku nggak bilang dari awal?" gumamnya lirih, merasa frustrasi pada dirinya sendiri. "Kenapa aku nggak mencoba lebih keras untuk melindungi Naya?"

Sementara itu, dokter Aldrian duduk di seberang meja di ruangannya, menatap Bintang dengan tatapan penuh simpati. "Naya sangat kuat," ucap dokter, memecah keheningan. "Selama ini dia bertahan, meskipun seharusnya dia tidak harus menanggung semuanya sendirian."

Bintang mengangkat kepalanya, matanya basah oleh air mata yang tak lagi bisa ia tahan. "Kenapa... kenapa dia nggak cerita sama saya?" tanyanya, suaranya serak. "Kenapa dia memilih menanggung semuanya sendirian?"

Dokter Aldrian menghela napas berat. "Naya tidak ingin membebani siapa pun," jelasnya. "Dia selalu bilang bahwa dia tidak ingin membuat orang lain menderita karena dirinya. Itu mungkin alasan dia terus diam dan berpura-pura kuat di hadapan siapapun."

Bintang merasa dadanya semakin sesak. "Tapi aku... aku seharusnya tahu," bisiknya. "Aku kakaknya... seharusnya aku ada untuk dia."

Dokter Aldrian menatap Bintang dengan rasa iba. "Mungkin tidak terlalu terlambat untuk memperbaiki semuanya," katanya. "Tetaplah di sisinya. Dia butuh semua dukungan yang bisa dia dapatkan sekarang."

Bintang mengangguk, meski hatinya masih penuh rasa bersalah. Dia bangkit dari kursinya, matanya berkaca-kaca saat memikirkan semua hal yang telah Naya lalui sendirian. "Aku akan melakukan apa pun yang aku bisa," janjinya kepada dirinya sendiri. "Aku nggak akan membiarkan dia merasa sendirian lagi."

Setelah berbicara dengan dokter, Bintang kembali ke ruang tunggu, duduk dengan gelisah menunggu kabar lebih lanjut tentang Naya. Waktu terasa berjalan lambat, seolah-olah setiap detik adalah siksaan. Dia memikirkan semua momen yang dia lewatkan bersama adiknya, semua kesempatan yang dulu dia sia-siakan.

...***...

Naya perlahan membuka matanya, tatapan kosongnya menatap langit-langit ruang rumah sakit. Seluruh tubuhnya terasa lemah, dan rasa sakit itu, meski masih ada, terasa sedikit mereda. Dia mencoba menggerakkan tangannya, tapi seolah tubuhnya terlalu berat untuk digerakkan.

"Di mana aku...?" gumamnya pelan, suara itu hampir tak terdengar.

Bintang, yang mendengar suara lemah itu, segera mendekat ke sisi tempat tidur. Wajahnya tampak lega namun penuh emosi saat melihat Naya sadar. "Naya... syukurlah kamu sudah sadar," katanya dengan suara bergetar.

Naya menoleh pelan, menatap Bintang dengan pandangan bingung. "Kak Bintang...?" Dia mencoba duduk, tapi rasa sakit di tubuhnya membuatnya kembali terbaring. "Kenapa... aku di sini?"

Bintang duduk di kursi di samping tempat tidur, meraih tangan Naya dengan lembut. "Kamu pingsan di rumah," katanya, suaranya penuh dengan kekhawatiran yang selama ini dia pendam. "Aku menemukan kamu tergeletak di lantai. Aku... aku nggak tahu harus gimana kalau aku nggak segera bawa kamu ke sini."

Naya menunduk, merasa lemah dan tak berdaya. Dia menarik napas panjang, berusaha menahan air mata. "Maaf," bisiknya. "Aku... aku nggak seharusnya merepotkan dirimu."

Bintang menggenggam tangan Naya lebih erat, suaranya pecah. "Kamu nggak merepotkan, Nay. Aku kakakmu. Seharusnya aku yang menjaga kamu, bukan sebaliknya."

Naya menatap Bintang, air mata akhirnya jatuh di pipinya. "Kakak...?" ulangnya, suara itu penuh kebingungan. Dia memandang Bintang lebih lekat, mencoba memahami maksud dari kata-katanya.

Bintang menelan ludah, hatinya dipenuhi rasa takut dan keraguan. Namun, dia tahu ini saatnya. "Naya, aku... aku sebenarnya bukan cuma teman kamu," ungkapnya dengan suara bergetar. "Aku... aku kakak kandung kamu, Naya."

Naya terdiam, seolah dunia berhenti berputar. Ingatan masa kecil yang samar mulai terlintas di benaknya. Sosok kakak yang dulu dia sayangi, yang kemudian menghilang dari hidupnya saat perceraian orang tua mereka. "Kakak... Bintang?" bisiknya, suaranya penuh keterkejutan dan ketidakpercayaan.

Bintang mengangguk, air mata mengalir di wajahnya. "Aku nggak pernah pergi jauh, Nay. Aku selalu ada di sini, mengawasi kamu. Aku cuma... aku terlalu pengecut buat mengungkap siapa aku sebenarnya."

Naya menutup matanya, air mata terus mengalir. "Kenapa... kenapa kamu nggak bilang?" isaknya, rasa sakit emosional meluap bersama rasa sakit fisiknya. "Aku... aku merasa akan sendirian selamanya"

Bintang memeluk Naya dengan penuh kasih sayang, tangisnya pecah. "Maaf, Naya. Maaf karena aku nggak ada di sana buat kamu. Aku nggak akan pergi lagi. Aku janji," ucapnya, suaranya penuh dengan ketulusan.

Naya menangis dalam pelukan Bintang, rasa sakit dan kesedihan yang selama ini dia tahan akhirnya tumpah. Meski tubuhnya masih lemah, hatinya sedikit lebih lega. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya, seseorang yang tidak akan membiarkannya berjuang sendirian.

Bintang masih memeluk Naya erat, seolah takut melepaskannya. Seluruh rasa bersalah yang dia pendam selama bertahun-tahun akhirnya terungkap dalam tangisan itu. Naya sendiri hanya bisa menangis, tubuhnya gemetar di pelukan kakaknya. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan perasaan mereka, yang penuh penyesalan, kehilangan, dan juga kelegaan yang bercampur jadi satu.

Setelah beberapa saat, Bintang perlahan melepaskan pelukannya, meski tetap menggenggam tangan Naya. "Aku nggak akan pergi ke mana-mana, Naya," katanya dengan suara tegas. "Aku akan tinggal di sini, nggak peduli apapun yang terjadi."

Naya menatap kakaknya, matanya yang masih basah oleh air mata penuh dengan perasaan yang campur aduk. "Kamu nggak bisa terus di sini," balasnya, suaranya lemah. "Kamu punya hidupmu sendiri. Aku... aku nggak mau kamu mengorbankan semuanya cuma buat aku."

Bintang menggelengkan kepala, air matanya masih mengalir. "Naya, kamu lebih penting dari apa pun," tegasnya. "Aku sudah kehilangan terlalu banyak waktu. Aku nggak akan biarkan apa pun memisahkan kita lagi."

Naya terdiam, berusaha mencerna kata-kata Bintang. Dia tahu betapa egoisnya keinginan untuk meminta kakaknya tetap di sisinya, tapi di sisi lain, ketakutan akan kehilangan terus menghantuinya. "Aku takut," bisiknya. "Aku takut mati... tapi aku juga nggak ingin melihat orang-orang yang aku sayangi menderita karena aku."

Bintang mengusap rambut Naya dengan lembut, mencoba menenangkan adiknya. "Aku tahu," katanya. "Tapi kamu nggak sendirian, Nay. Kita akan melewati ini bersama, apa pun yang terjadi."

Hening sejenak menyelimuti mereka, sampai pintu kamar rumah sakit terbuka. Dokter Aldrian masuk dengan langkah pelan, menatap mereka dengan ekspresi serius namun penuh rasa simpati. "Maaf mengganggu," katanya, suaranya lembut. "Saya ingin berbicara sedikit dengan kalian berdua."

Bintang mengangguk, lalu membantu Naya duduk lebih nyaman di tempat tidurnya. Naya menatap dokter dengan perasaan waswas, jantungnya berdegup kencang. "Bagaimana keadaanku, Dok?" tanya Naya pelan, berusaha tegar.

Dokter Aldrian menghela napas, menatap Naya dengan sorot mata penuh kepedulian. "Naya, keadaan kamu memang serius," katanya hati-hati. "Kanker pankreas yang kamu derita sudah memasuki tahap yang sulit. Namun, kami masih punya beberapa pilihan untuk memperlambat perkembangannya. Tapi itu semua tergantung pada keputusan kamu dan keluargamu."

Bintang menggenggam tangan Naya lebih erat, seolah ingin memberikan kekuatan. "Apa pun yang kamu butuhkan, aku akan ada di sini," kata Bintang, suaranya penuh keyakinan. "Kita akan hadapi ini bersama."

Naya menelan ludah, rasa takut kembali menghantamnya. "Tapi, Dok... apa aku punya kesempatan untuk sembuh?" tanyanya dengan suara yang hampir pecah.

Dokter Aldrian menggeleng pelan. "Aku nggak akan berbohong padamu, Naya," jawabnya, jujur. "Kesembuhan total mungkin sulit, tapi memperpanjang waktu dan membuatmu lebih nyaman adalah sesuatu yang masih bisa kita upayakan."

Air mata Naya mengalir lagi, dan Bintang langsung mengusap pipinya, mencoba menenangkan adiknya. "Kamu nggak sendiri, Nay," ulang Bintang. "Aku akan cari cara. Apa pun yang bisa aku lakukan buat kamu."

Naya mengangguk lemah, meski ketakutan itu masih menghantuinya. "Aku nggak mau menyusahkan kalian," bisiknya. "Tapi aku juga nggak siap buat pergi."

Bintang memandang Naya dengan penuh kasih sayang. "Kamu nggak akan pernah jadi beban, Naya," katanya dengan suara mantap. "kita adalah keluarga. Dan keluarga nggak pernah saling meninggalkan."

Naya menggigit bibirnya, berusaha menahan isakan. Kehangatan Bintang terasa seperti tameng yang melindunginya dari ketakutan akan kehilangan dan kesendirian. Meski masih ada rasa sakit, setidaknya sekarang dia merasa tidak lagi harus menghadapi semuanya sendirian.

...***...

Malam itu, Naya terbangun di tempat tidur rumah sakit. Ruangan gelap, hanya diterangi lampu kecil di sudut, dan suara mesin yang memantau detak jantungnya mengisi keheningan. Dia melirik ke samping, melihat Bintang yang duduk di kursi, kepalanya terkulai di dada, tertidur karena kelelahan. Wajah kakaknya tampak letih, namun masih memancarkan ketenangan yang menenangkan hati Naya.

Naya memandangi Bintang lama, mengingat saat-saat bahagia yang pernah mereka miliki saat kecil, sebelum perpisahan merenggut mereka. "Kakak..." bisiknya, meski tahu Bintang tidak akan mendengar. "Maafkan aku karena membuatmu khawatir. Tapi terima kasih karena nggak pernah benar-benar pergi."

Air mata mengalir di pipinya, dan Naya menatap langit-langit dengan perasaan yang sulit dia gambarkan. "Tuhan, kalau aku memang harus pergi... aku cuma minta satu hal," bisiknya pelan. "Jangan biarkan kakakku merasa bersalah atau kehilangan."

Naya memejamkan matanya, mencoba melawan rasa sakit yang kembali menyelimuti tubuhnya. Meski ketakutan masih ada, kehadiran Bintang membuatnya merasa sedikit lebih kuat. Setidaknya, untuk saat ini, dia tidak lagi merasa sendiri.

Di samping tempat tidur, Bintang menggeliat dalam tidurnya, lalu terbangun perlahan. Dia mengusap wajahnya dan memandang Naya, memastikan adiknya masih di sana, masih bernafas. Dia menggenggam tangan Naya lagi, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa mereka masih punya waktu.

"Kita nggak akan menyerah, Nay," bisiknya, meski suaranya hanya terdengar oleh dirinya sendiri. "Aku akan pastikan kamu merasakan bahagia, apa pun yang terjadi."

Dan di tengah keheningan malam itu, dengan segala ketidakpastian yang mereka hadapi, mereka tetap bertahan bersama.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!