Mencari Tempat Tinggal

Setelah pulang sekolah, Naya segera mengemasi buku-bukunya ke dalam tas ranselnya, wajahnya dipenuhi tekad yang sulit digoyahkan.

"sepertinya Aku harus melakukan ini," bisiknya kepada dirinya sendiri. "Aku tidak ingin terus-menerus menjadi beban." Ia berjalan ke gerbang sekolah, menyusuri jalan yang mulai dipenuhi oleh kendaraan dan suara bising anak-anak lain yang bercanda atau sekedar mengobrol. Namun, tidak satu pun suara itu meresap ke dalam pikiran Naya. Pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran, rasa takut, dan rasa bersalah.

Seorang teman sekelasnya, Sita, berlari mengejarnya, "Nay! Mau pulang bareng?"

Naya berbalik dengan senyum kecil yang dipaksakan. "Maaf, Sit, aku ada urusan. Lain kali, ya?"

Sita mengangguk, meski alisnya berkerut karena kebingungan. "Oke, hati-hati, di jalan nay" katanya sambil melambai.

Begitu Sita pergi, Naya menghela napas panjang. "Kalau mereka tahu," pikirnya, "semua orang hanya akan khawatir dan aku hanya akan menjadi beban bagi mereka." Ia memegang dadanya sejenak, merasakan detak jantung yang terus berdebar seolah tidak mau berhenti. Seolah itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya masih tetap berdiri.

Dia berjalan melewati beberapa gang sempit hingga tiba di depan sebuah papan bertuliskan "Kost Putri Bu Tati." Seorang wanita paruh baya dengan rambut yang sedikit beruban dan senyum ramah menyapanya.

"Adik butuh kost, ya? Mari, saya tunjukkan kamarnya," Bu Tati berkata dengan suara hangat. Ia membuka pagar kecil, membiarkan Naya mengikutinya masuk.

Naya mencoba tersenyum. "Iya, Bu. Saya... saya lagi cari tempat tinggal yang tidak terlalu jauh dari sekolah."

Mereka melewati lorong panjang dengan dinding bercat putih bersih. Bu Tati berbicara panjang lebar, "Tempat ini aman, kok. Ada CCTV, dan pintu gerbang selalu terkunci malam hari. Banyak anak sekolah dan mahasiswa tinggal di sini, jadi lingkungan terjaga. Setiap kamar juga sudah ada meja belajar, kasur, dan lemari."

Naya mendengarkan sambil mengangguk, tetapi di dalam hatinya ada suara yang terus menentang. "Kalau aku tinggal di sini, mama dan ayah pasti akan tahu. Mereka bisa datang kapan saja, dan aku… aku hanya ingin pergi tanpa meninggalkan jejak."

Naya akhirnya berbicara dengan suara ragu, "Terima kasih, Bu. Saya pikir-pikir dulu, ya."

Mata Bu Tati menyipit sedikit, penuh perhatian. "Tentu, jangan terburu-buru. Tapi kalau adik butuh tempat secepatnya, kamar ini belum ada yang menempati."

Naya mengucapkan terima kasih lagi, kemudian keluar dari kost itu dengan perasaan yang semakin kacau. Ia menyusuri jalan lain, berusaha menemukan opsi yang lebih baik.

Di sisi lain kota, Naya berdiri di depan sebuah kontrakan kecil. Tempat itu tampak sepi, dindingnya kusam, dan catnya mulai mengelupas. Ada seorang pria paruh baya di dekat gerbang yang melihat Naya dengan mata waspada.

"Tempat ini cukup murah," kata pria itu, tangannya terlipat di depan dada. "Tapi... ya, kamu tahu, lingkungan di sini agak keras. Banyak kejadian yang kurang menyenangkan. Tapi kalau kamu berani, silakan."

Naya menggigit bibir bawahnya, mencoba menimbang. "Di sini keluargaku pasti takkan mencariku," pikirnya. "Tapi... kalau aku tinggal di sini, apa aku punya keberanian yang cukup menghadapi lingkungan di sekitar sini"

Ia menggeleng pelan. "Maaf, Pak. Saya... saya pikir saya cari yang lain saja."

Pria itu hanya mengangkat bahu. "Terserah kamu, Nak."

Naya akhirnya duduk di halte yang sepi, merasakan lelah yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia merogoh saku jaket, menemukan botol obat, dan menatapnya lama.

"Harusnya aku sudah minum ini satu jam lalu," pikirnya, perasaan cemas mulai melilit perutnya. Ia membuka botol itu dan menelan obat dengan air mineral yang sudah mulai hangat karena udara panas yang menguar di sekeliling. Kemudian, kepala Naya tertunduk, matanya kembali berkaca-kaca.

"Kenapa aku tak bisa membuat ini lebih mudah untuk mereka?" pikirnya, suara hatinya bergetar. "Aku ingin pergi tanpa menyakiti mereka, tanpa mereka harus melihat aku hancur pelan-pelan."

Naya meremas bagian perutnya yang terasa perih, wajahnya memucat di bawah sinar matahari sore yang kian meredup. Keringat dingin membasahi pelipisnya, membuat rambutnya yang sudah lepek semakin berantakan. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan rasa sakit yang seolah mengiris-iris tubuhnya dari dalam.

"Tidak sekarang," pikir Naya, berusaha memaksa dirinya untuk tetap duduk tegak. "Aku tidak boleh terlihat lemah. Aku harus kuat."

Namun, seketika sebuah tangan menyentuh pundaknya, membuatnya terkejut. Ia mendongak pelan, matanya bertemu dengan tatapan penuh kekhawatiran milik Bintang. Sosok pria itu, dengan rambut hitam yang sedikit berantakan dan alis yang tebal, menatapnya seperti seseorang yang baru saja menemukan sesuatu yang hilang.

"Naya!, apa kau baik-baik saja?" tanya Bintang, suaranya terdengar serak. Ia berjongkok di depan Naya, mencoba memeriksa keadaan gadis itu lebih dekat.

Naya berusaha mengangkat senyumnya, meskipun tidak ada kekuatan yang tersisa di wajahnya. Bibirnya bergerak, tetapi ia tahu, dari cara Bintang memandangnya, bahwa usahanya untuk terlihat baik-baik saja hanya sia-sia. Keringat yang membanjiri wajahnya tidak mampu menyembunyikan kebenaran.

"Ah... tidak, Kak Bintang," katanya, suaranya terdengar lemah. "Aku hanya... lupa minum obat maag tadi." Dia menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang semakin menjadi. "Jangan biarkan dia tahu," Naya mengingatkan dirinya sendiri, suara hatinya menggema dengan cemas. "Kalau dia tahu... mama juga pasti akan segera tahu."

Bintang mengerutkan kening, jelas tidak percaya dengan ucapan Naya. "Kamu yakin?" tanyanya, suaranya penuh keprihatinan. "Aku bisa mengantarmu ke rumah sakit sekarang juga. Kau terlihat sangat kesakit, Naya. Ini... ini bukan hanya maag biasa."

Naya memaksa dirinya untuk menatap Bintang, matanya berkaca-kaca. "Jangan, Kak. A-aku tidak apa-apa, sungguh," desaknya, tetapi sebelum ia bisa mengatakan lebih banyak, tubuhnya tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Dunia di sekelilingnya mulai berputar, lalu segalanya menjadi gelap.

Bintang menangkap tubuh Naya tepat saat perempuan itu pingsan. Panik menjalari tubuhnya, tetapi ia mencoba tetap tenang. "Naya? Naya, bangun!" panggilnya, suaranya bergetar. "Astaga, apa yang terjadi? apa sakit maag sudah mencapai tahap kronis?"

Bintang memeluk tubuh Naya yang terasa ringan, terlalu ringan. Ia dapat merasakan tulang-tulang tipis di bawah kulit gadis itu, seolah-olah Naya hampir menghilang. Matanya memandang wajah Naya yang pucat, dan Bintang menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa takut yang mulai menyelimutinya.

"mengapa kau bisa seperti ini Nay, apa aku sudah melewatkan banyak hal yang terjadi dalam hidupmu."

Bingung dan cemas, Bintang memutuskan untuk tidak membawa Naya ke rumah sakit. "Mungkin dia tidak ingin ke sana," pikirnya, mencoba memahami. "Tapi aku tidak bisa meninggalkannya seperti ini." Dengan penuh hati-hati, ia mengangkat tubuh Naya dan membawanya ke mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Sepanjang perjalanan, ia terus melirik ke arah Naya yang duduk tak sadarkan diri di bangku penumpang.

"Kenapa kau tidak pernah memberitahuku, Nay?" gumam Bintang, suaranya nyaris tenggelam di antara deru mesin. "Apa yang sebenarnya kau sembunyikan? Apa yang membuatmu begitu ketakutan dengan rumah sakit?"

Sampai di rumah kontrakannya yang sederhana, Bintang segera memarkir mobil dan bergegas membuka pintu rumah. Rumah itu tidak besar, tetapi cukup nyaman, dengan ruang tamu yang rapi dan sofa single di dekat jendela. Ia kembali ke mobil, mengangkat Naya dengan hati-hati.

"Naya... kamu bahkan lebih kurus dari terakhir kali aku melihatmu," bisiknya, menahan napas saat ia merasakan betapa lemah tubuh gadis itu saat ini. "Apa kehidupanmu tidak lagi bahagia seperti dulu?"

Bintang menempatkan Naya di sofa dan dengan cepat berlari mencari sesuatu. Di dapur, ia menemukan minyak kayu putih, sebotol air dingin, dan tisu. Kembali ke ruang tamu, ia duduk di sebelah Naya dan mulai mengoleskan minyak kayu putih ke telapak tangan gadis itu, berharap aromanya dapat membantu Naya sadar kembali.

Denny dan Josua berdiri tertegun di ambang pintu rumah kontrakan Bintang, mata mereka membelalak melihat pemandangan yang ada di depan mereka. Naya terbaring tidak sadarkan diri di atas sofa, wajahnya pucat, sementara Bintang duduk di sampingnya, tampak gelisah, dengan tangan yang masih menggenggam minyak kayu putih.

"Apa yang terjadi padanya?" tanya Josua, nada suaranya penuh kekhawatiran. Ia melangkah cepat ke arah sofa, berjongkok untuk melihat kondisi Naya lebih dekat.

Bintang menghela napas, pandangannya tak lepas sedetik pun dari wajah Naya. "Maagnya kambuh," jawabnya datar, meskipun di dalam dirinya ada perasaan panik yang ia coba sembunyikan.

Josua mengerutkan kening, tidak puas dengan jawaban Bintang. "Serius, Bintang? Kenapa nggak dibawa ke rumah sakit saja? Ini sudah terlalu parah, lihat dia." Josua mengulurkan tangan, memeriksa denyut nadi Naya di pergelangan tangannya.

Bintang menghentikan gerakan tangannya yang sibuk mengoleskan minyak kayu putih ke leher Naya. Ia mendesah dalam-dalam. "Dia nggak mau ke rumah sakit," ucapnya dengan suara pelan. Mata Bintang melirik Naya, melihat napas gadis itu yang mulai kembali normal, meski wajahnya masih terlihat sangat pucat.

Denny, yang sejak tadi hanya berdiri terdiam, akhirnya bergerak mendekat. Ia duduk di sisi lain sofa, di samping Bintang, dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Kalau dia nggak mau ke rumah sakit, kita harus buat dia tetap nyaman, kan?" katanya, mencoba berpikir rasional meskipun ia juga sama khawatirnya. "Aku bakal keluar sebentar, beli bubur di warung terdekat. Dia pasti butuh makan sesuatu setelah ini."

Bintang mengangguk pelan. "Iya, terima kasih, Den," katanya, suaranya lelah. Ia memandang Naya, merasa dadanya sesak. "Kamu tahu, Nay? Aku nggak pernah siap melihatmu begini. Aku takut, sangat takut."

Denny berdiri, mengambil kunci motor dari meja kecil di dekat pintu, lalu menatap Bintang sekali lagi. "Kau yakin nggak mau ikut? Biar Josua saja yang menemani Naya."

Bintang menggeleng. "Nggak. Aku harus di sini. Kalau dia bangun, aku yang harus menjelaskannya."

Denny menghela napas, lalu bergegas keluar, membiarkan pintu tertutup perlahan di belakangnya. Josua, yang diam-diam memperhatikan semua ini, akhirnya berdiri dan melangkah ke dapur. "Aku buat teh hangat, ya," katanya, setengah bertanya, setengah pernyataan. Ia merasa canggung, tak tahu apa lagi yang harus dilakukan, tetapi ingin membantu dengan cara apa pun.

Bintang mengangguk tanpa berkata apa-apa, menunduk kembali ke arah Naya. Begitu Josua menghilang ke dapur, Bintang membiarkan pikirannya melayang.

Bintang mengingat kembali saat-saat ketika Naya selalu tersenyum cerah, menyembunyikan kesedihan di balik lelucon yang ringan. "Aku ingin percaya bahwa kau baik-baik saja, Nay. Aku ingin percaya semua tawa itu nyata. Tapi sekarang... aku tahu aku salah."

Di dapur, Josua membuka lemari mencari cangkir dan kantong teh. Ia menyalakan air di ketel, menunggu dengan sabar hingga air mulai mendidih. Ia memejamkan mata sejenak, merenung. " Bintang kelihatan tahu lebih banyak, tapi dia nggak bicara apa-apa. Aku benci merasa tak berdaya seperti ini."

Josua menuangkan air panas ke cangkir, mencelupkan kantong teh dengan hati-hati. Ia melangkah kembali ke ruang tamu, membawa cangkir itu dan meletakkannya di meja kecil di samping sofa.

Bintang mengangkat pandangan, matanya penuh kelelahan. "Teh-nya sudah jadi?"

Josua mengangguk. "Iya. Kita tunggu saja dia sadar. Tapi, Bintang, serius... kamu tahu ada yang lebih dari sekadar maag, kan?"

Bintang terdiam, wajahnya berubah tegang. Ia tahu hal itu akan datang, pertanyaan yang tak bisa terus dihindarinya. "Aku... aku nggak tahu pasti,"

Josua memandangi Bintang dengan sorot mata penuh ketegangan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!