Langit senja semakin meredup, menyisakan semburat oranye yang berpendar di cakrawala. Naya duduk di tepi bangku taman yang terbuat dari kayu, memeluk angin yang membelai wajahnya dengan lembut. Bintang, yang duduk di sampingnya, tak mengalihkan pandangannya dari adiknya.
"Apa kita bisa selamanya seperti ini?" suara Naya terdengar lirih, nyaris terbawa angin.
Bintang menoleh, menatap wajah adiknya yang semakin tirus. Ia paham betul maksud pertanyaan itu, tapi ia tak berani memberikan janji yang belum tentu bisa ia tepati.
"Meski aku tidak bisa janji, tapi aku akan berusaha memberikan semua yang terbaik untukmu, Nay," ucapnya, suaranya penuh ketulusan.
Naya akhirnya menoleh, menatap kakaknya dengan intens sebelum tersenyum samar. Namun, senyum itu tidak bisa menyembunyikan kesedihan di matanya.
"Jangan hanya memikirkan diriku, Kak. Pikirkan juga dirimu, kebahagiaanmu, dan yang paling penting, masa depanmu."
Bintang tercekat. Dadanya terasa sesak. Ia tahu Naya ingin yang terbaik untuknya, tapi bagaimana mungkin ia memikirkan masa depannya sendiri ketika keadaan Naya semakin memburuk?
"Jika suatu saat aku tidak bisa bertahan lagi, kalian harus tetap hidup dengan baik, Kak. Jangan biarkan kepergianku menghalangi kebahagiaan kalian."
Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh. Tangannya sigap menghapusnya, tak ingin terlihat lemah di hadapan Bintang.
"Jangan katakan itu, Nay." Bintang menarik adiknya ke dalam pelukan. "Kita akan bertahan bersama-sama. Kita tidak boleh lagi berpisah."
Naya membalas pelukan itu, meski tangannya bergetar. Ia ingin percaya pada kata-kata kakaknya, tapi tubuhnya semakin lemah seiring berjalannya waktu.
"Janji, Kak. Jika aku sudah tidak ada, wujudkan impian Ayah. Jangan berlama-lama di kota ini. Kejarlah semua yang terbaik dalam hidup."
Bintang mengeratkan pelukannya. Ia tidak sanggup mengucapkan janji itu. Bagaimana bisa ia pergi meninggalkan satu-satunya keluarga yang tersisa?
Hening menyelimuti mereka. Di lubuk hatinya, Bintang tahu—waktu yang mereka miliki bersama semakin menipis.
STUDIO BAND STARRY
Studio tempat Band Starry berlatih biasanya dipenuhi suara dentuman musik, namun hari ini suasana begitu sepi. Hanya ada Jimi dan Liam yang sibuk dengan ponsel mereka masing-masing.
Pintu tiba-tiba terbuka tanpa diketuk lebih dulu.
"Sorry, gue telat! Gue harus antar Sintia dulu sebelum ke sini," ungkap Aiden sambil melangkah masuk. Namun, dia segera menyadari tatapan aneh dari kedua temannya.
"Kenapa?" tanyanya heran.
Liam menghela napas sebelum menjawab. "Lo belum baca grup, ya? Kita nggak jadi latihan."
Aiden mengernyitkan dahi. "Kenapa?"
"Naya nggak bisa datang hari ini," Jimi menjawab datar.
Aiden terdiam, lalu berjalan malas menuju sofa yang masih kosong. Ia menjatuhkan dirinya di sana, kepalanya menengadah, menatap langit-langit studio.
"Mengapa semuanya terasa asing? Apa hanya aku yang terlalu lamban menyadari perubahan ini?" batinnya.
Suasana di antara mereka terasa begitu berbeda dibandingkan dulu. Tidak ada lagi tawa lepas, candaan usil, atau obrolan panjang tentang mimpi-mimpi mereka. Semua terasa canggung, seolah ada batas tak terlihat yang memisahkan mereka.
"Naya udah berubah, ya?" gumam Aiden akhirnya.
Liam mendengus. "Tahu tuh. Sejak dekat sama Kak Bintang, dia jadi nggak seru lagi."
Jimi masih diam, tak ingin ikut menghakimi Naya. Dia tahu betapa berat beban yang gadis itu tanggung.
Aiden terkekeh sinis. "Mereka kayaknya udah dekat banget, bahkan sampai tinggal bareng."
Nada suaranya penuh ketidaksukaan. Sudah beberapa kali ia diam-diam mengikuti Naya sepulang sekolah, dan kenyataan yang ia dapatkan membuatnya semakin kesal.
"Loe kayak nggak tahu aja, Den," kata Liam santai. "Dia kan udah nggak seperti dulu. Pasti ada sesuatu."
Jimi menoleh ke arah Aiden, memperhatikan ekspresinya. "Lo kenapa sih kayaknya marah banget?"
Aiden terdiam. Ia sendiri tidak tahu pasti apa yang mengganggunya.
Apa karena Naya berubah?
Atau karena ia tak lagi menjadi bagian dari dunianya?
Liam yang menyadari ketegangan semakin memberatkan suasana di antara mereka segera berinisiatif menghentikan pembicaraan tentang Naya.
"Udah, jangan dibahas lagi," ujarnya seraya meletakkan ponselnya ke meja. "Lebih baik kita balik aja dulu, atau kita pergi nongkrong di kafe."
Namun, usulannya tidak langsung ditanggapi oleh kedua temannya. Jimi hanya mengangkat bahu, sementara Aiden terdiam, pikirannya berkecamuk. Ia tahu ia telah bersikap kekanak-kanakan selama ini, merasa marah karena Naya berubah tanpa pernah benar-benar mencoba memahami alasannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments