Prank!!!
Gelas kopi Mahreeen pagi ini di kantin kantornya terjatuh saat akan di minumnya.
"Ada apa ini?" ucap Mahreeen yang mulai hatinya gelisah tertuju pada satu anaknya.
Hanin! Batin Mahreeen.
"Ada apa denganmu? Mukamu pucat sekali," tanya Poppy.
"Tidak, aku baik baik saja," elaknya. Namun pikirannya hanya tertuju pada satu anaknya.
Untuk meyakinkannya segera telp suaminya, Peroa tapi nihil. Hingga jam masuk kerja sudah mulai. Akhirnya dia hanya bisa bekerja lebih dulu. Saat siang hari ternyata suaminya memberkan pesan.
"Hanin kecelakaan, sekarang dia di rumah sakit pusat. Segera datanglah!" pesannya.
Tanpa basa basi lagi, Mahreeen langsung meminta izin karena anaknya kecelakaan. Suara denyut monitor medis di ruang ICU rumah sakit terus menggema di telinga Mahreeen. Di hadapannya, Hanin, anak ketiganya yang baru berusia lima tahun, terbaring tak berdaya dengan selang infus menempel di tubuh kecilnya. Dokter sudah memberinya penjelasan bahwa anaknya ada pendahan pada otaknya dan juga jantungnya ada penyempitan akibat kecelakaan itu kemarin. Hanin harus segera dioperasi atau nyawanya dalam bahaya.
"Biaya operasi sebesar 500 juta, Bu Mahreeen," ucap dokter dengan nada penuh simpati, namun tetap tak mampu menyembunyikan keseriusan situasi.
"Kami bisa menunggu beberapa hari dan paling lama seminggu tetapi operasi ini harus dilakukan secepatnya." lanjut dokter.
Angka itu berputar putar di kepala Mahreeen, seperti awan hitam yang terus membayanginya. Lima ratus juta. Rumah kecil peninggalan orangtuanya pun takkan mampu dijual dengan harga setengah dari jumlah itu. Lantas dari mana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Mahreeen duduk di kursi tunggu, menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang.
Aki harus bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan agar bisa mendapatkan uang itu segera? Dalam hati Mahreeen.
***
Di rumah, Peros, suaminya, tidak memberikan solusi, hanya menambah masalah. Mahreeen sengaja telp anaknya untuk mengambil keperluannya, karena saat ini Hanin di jaga olehnya.
"Mahreeen, aku butuh uang buat rokok," pinta Peros terdengar dari seberang telepon.
"Rokok? Hanin sedang di rumah sakit, Peros! Uang kita habis buat biaya awal rumah sakit!" ucap Mahreeen hampir tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana bisa suaminya begitu tidak peduli?
"Aku juga punya kebutuhan, Mahreeen. Apa kamu pikir semua ini cuma urusanmu saja?" ucap Peros dengan nada tidak peduli, bahkan terdengar malas.
Mahreeen memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Sudah berapa kali Peros meminta uang dengan alasan sepele seperti ini? Uang untuk rokok, makan, atau bahkan untuk berjudi. Mahreeen tahu, setiap uang yang dia berikan kepada suaminya pasti berakhir di meja judi. Namun, di sisi lain, dia tidak punya kekuatan untuk melawan. Peros selalu bisa memanipulasinya dengan kata kata dan ancaman halus.
"Aku tak punya uang, Peros," jawab Mahreeen akhirnya, suaranya melemah.
"Semua sudah habis untuk biaya Hanin. Dia butuh operasi, Peros. Lima ratus juta... aku tidak tahu harus mencari dari mana." bingung Mahreeen saat ini.
Peros tertawa sinis di ujung telepon.
"Pinjam dari kantormu. Kamu kan kerja di sana, pasti bisa pinjam. Apa gunanya kamu jadi pekerja kalau tidak bisa bantu keluarga sendiri?" Perintahnya yang main suka suka.
Mahreeen terdiam. Pinjam uang dari kantor? Gajinya saja tak cukup untuk kebutuhan sehari hari, apalagi harus melunasi pinjaman sebesar itu. Namun, di bawah tekanan Peros, dia merasa tidak punya pilihan lain.
"Aku akan coba tanyakan...," ucap Mahreeen menyerah, meski hatinya penuh dengan ketakutan dan kecemasan.
Malam itu, Mahreeen duduk di samping tempat tidur Hanin, mengelus lembut rambut anaknya yang mulai menipis karena sakit. Air mata yang sejak tadi dia tahan akhirnya mengalir. Dalam hati, dia berdoa tanpa henti, berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkan anaknya.
Ya Tuhan, tolong aku... batin Mahreeen merintih.
Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Jika aku tak mampu menyelamatkan Hanin, bagaimana aku bisa memaafkan diriku sendiri?
Mahreeen teringat hari hari penuh cinta saat anak anaknya masih kecil. Bagaimana mereka dulu begitu bahagia, dan dia mampu mengurus mereka dengan segala keterbatasannya. Namun kini, dengan suami yang tak mau bertanggung jawab, dia merasa hidupnya hancur. Anak anaknya yang lain, meski sudah mulai mandiri, tetap membutuhkan kasih sayangnya, tetapi fokus Mahreeen sepenuhnya tertuju pada Hanin yang sedang berjuang untuk hidup.
"Hanin, Sayang Ibu, Ibu janji akan berusaha mencari uang itu supaya kamu bisa sembuh dan sehat lagi ya," lirihnya di depan Hanin.
Air matanya yang jatuh terus hingga membuat Mahreeen tertidur di bangku samping bangkar Hanin.
Pagi harinya, Peros datang ke rumah sakit dengan wajah kusut.
"Sudah kamu pinjam uang dari kantor?"** tanyanya tanpa basa basi.
"Belum. Aku belum sempat," jawab Mahreeen dengan suara bergetar.
"Apa susahnya? Kamu tinggal minta saja, toh kamu kan pekerja di sana. Kalau perlu, katakan saja kamu butuh uang untuk operasi anak. Mereka pasti akan memberi!" ucap desak Peros tanpa empati.
"Aku tak bisa begitu saja, Peros. Itu jumlah yang besar. Kamu tahu bagaimana sulitnya..." terpotong ucapan Mahreeen.
"Sulit? Kamu tak tahu sulit, Mahreeen. Kamu pikir aku suka hidup seperti ini? Kamu harus bisa dapat uang itu, apapun caranya. Kalau perlu, jadi pekerja rodi di sana, aku tak peduli. Yang penting, dapat uangnya!" ucap Peros memotong ucapan Mahreeen, matanya penuh tuntutan dan tanpa sedikitpun rasa tanggung jawab.
Mahreeen menatap Peros dengan penuh kekecewaan. Di dalam hatinya, ia merasakan sakit yang luar biasa. Suaminya lebih memandang dirinya sebagai alat pencari uang, bukan pasangan hidup yang harus dijaga dan dihormati. Ia semakin tertekan dengan beban yang tak kunjung hilang.
Aku tak tahu sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini, batin Mahreeen berbisik. Hidupku hancur, suamiku tak peduli, dan anakku sedang di ambang kematian.
Mahreeen tahu, dia harus segera membuat keputusan. Hanin tak bisa menunggu lebih lama, dan dengan suaminya yang tak memberikan solusi, hanya dia yang bisa menyelamatkan anaknya. Namun, berapa lama lagi Mahreeen mampu bertahan dengan kondisi seperti ini?
Dalam keheningan malam itu, dengan perasaan tak menentu, Mahreeen akhirnya memutuskan untuk menemui atasannya di Omar Corp esok hari. Mungkin ada jalan keluar, meski ia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ya Allah, hamba ini mengadu dan meminta pertolonganmu. Mudahkan lah jalanku untuk mendapatkan uang itu, aku hanya peduli dengan anakku. Walau aku tahu ini aku memaksa padamu Rob! Pada siapa lagi aku meminta??? Pada siapa yang bisa memberikan semua pertolongan jika bukan Robbku!!!
Sholatnya di pertigaan malam di samping tempat tidur Hanin di rumah sakit.
"Ibu janji, kamu akan sehat walau Ibu harus berkorban," lirihnya yang memandang Hanin.
...****************...
Hi semuanya!!!
Karya terbaru mommy lagi ya, jangan lupa tinggalkan jejak kalian. Suka lanjut, kalau ga suka tinggalkan saja ya.
Love you alla sekebon buat yang baca karya mommy ya.
Mahreeen berdiri di depan pintu ruang HRD dengan tangan gemetar. Keputusan ini sangat berat baginya, tapi dia tidak punya pilihan lain. Hanin membutuhkan operasi secepatnya, dan Mahreeen harus mencari cara untuk mendapatkan uang. Lima ratus juta, angka yang begitu besar, jauh dari jangkauan tangannya.
Setelah menarik napas dalam dalam, Mahreeen mengetuk pintu dan masuk.
"Bu Mahreeen, ada yang bisa kami bantu?" tanya salah satu staf HRD dengan ramah.
"Saya ingin mengajukan pinjaman," ucap Mahreeen perlahan, suaranya hampir tenggelam oleh ketakutannya sendiri.
"Anak saya sakit parah dan membutuhkan operasi segera. Saya butuh lima ratus juta." lanjutnya.
Staf HRD terkejut mendengar jumlah itu, wajahnya berubah seketika.
"Maaf, Bu Mahreeen, kami memang punya kebijakan pinjaman, tapi jumlahnya tak sebesar itu. Kantor hanya bisa memberikan pinjaman maksimal dua ratus juta." jelas staf itu.
Apa!!! Hanya 200 juta, lalu sisanya aku harus cari dimana? Batin Mahreeen seketika itu.
Dunia seolah runtuh di depan Mahreeen. Dua ratus juta jauh dari cukup. Pikirannya melayang ke wajah Hanin yang pucat di rumah sakit, tubuh kecilnya terbaring tak berdaya. Bagaimana mungkin ia bisa menyelamatkan anaknya dengan hanya dua ratus juta?
"Apa tidak bisa coba di ajukan pada atasan, Bu? Saya benar benar terdesak karena biaya operasi anak, saya mohon Bu, saya membutuhkan dana pinjaman itu." memohon Mahreeen.
"Tidak bisa Bu Mahreeen. Saya sungguh meminta maaf dan sangat menyesal yang tidak bisa memberikan pinjaman yang sesuai dengan Ibu," sesal staf itu yang merasa iba pada Mahreeen.
Tapi apalah dayanya, yang juga sebagai pekerja disana. Dengan gaji yang sama dengan Mahreeen tentunya. Andaikata membantunya pun menggunakan namanya hanya baru terkumpul 400 juta, itu lun masih kurang.
"Benar benar tidak bisa, Bu. Di usahakan untuk di pertimbangkan lagi, sungguh saya hanya berharap banyak pada kantor," ucap Mahreeen memelas. Rela dirinya merendah demi uang, demi anaknya, Hanin.
"Maaf, Bu. Saya tidak bisa membantu lebih," tolaknya dengan pelan dan hati hati.
Mahreeen yang sudah berusaha semampunya membujuk staf itu, tapi teta nihil.
"Terima kasih...," ucap Mahreeen, menundukkan kepala sebelum berbalik keluar dari ruangan HRD dengan langkah gontai. Dadanya terasa sesak, seolah ada batu besar yang menindihnya.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Ya Tuhan, tolong aku... batinnya terus berdoa dalam diam.
Saat melewati lobi kantor, pikirannya masih dipenuhi kegelisahan. Matanya tak fokus, hingga tiba tiba dia menabrak seseorang.
"Aduh, maaf... maaf, saya tidak sengaja!" ucap buru buru Mahreeen panik saat menyadari orang yang ditabraknya adalah Manaf Pasha Omar, CEO perusahaannya.
Manaf langsung bereaksi. Wajahnya berubah masam, lalu tiba tiba dia mundur dengan cepat, seolah terhindar dari sesuatu yang menakutkan.
"Olaf! Olaf!" suara Manaf yang tegas sambil berlari menuju kamar mandi terdekat.
Mahreeen tertegun.
"Apa yang terjadi?" lirihnya, bingung dengan reaksi Manaf. Olaf, asisten Manaf, segera mendekati Mahreeen dengan wajah dingin.
"Lain kali lebih hati hati, Bu Mahreeen. Bos tidak suka disentuh. Fokuslah pada jalan Anda," ucap Olaf datar, lalu berlalu.
Ya Olaf kenal dengan Mahreeen karena prestasinya yang di kenal selalu bisa Chip target marketing selalu tinggi. Dan sering kali mendapatkan bonus langsung dari kantor.
Mahreeen menunduk, merasa malu dan bersalah.
Kenapa semua terasa begitu berat, Ya Allah? Apa yang harus aku lakukan? batinnya kembali bergejolak.
Dia masih terpaku di tempat, hingga Poppy, temannya di kantor, datang menghampiri.
"Hei, Mahreeen! Kamu kenapa diam di sini? Bos sudah tidak di sana," tegur Poppy, mengingatkan Mahreeen untuk kembali ke pekerjaannya.
Mahreeen hanya tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang mendalam. Poppy memang teman yang baik, tetapi Mahreeen tidak pernah menceritakan masalahnya kepada siapa pun di kantor. Dia lebih memilih menyimpan semua kesulitan dalam hatinya, meluapkan tangisannya hanya dalam sujud dan doa doanya.
Ya Allah, beri aku kekuatan... tunjukkan jalan keluar, aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Mahreeen berdoa dalam hati setiap kali ia bersujud, merasakan beban yang semakin menghimpitnya.
***
Dua hari berlalu setelah kejadian itu, Mahreeen merasa cemas setiap kali memikirkan Hanin yang masih terbaring di rumah sakit. Biaya yang dibutuhkan belum terkumpul, dan waktu terus berjalan. Stres mulai menggerogoti kesehatannya. Hingga pada suatu pagi, sebuah panggilan telepon dari resepsionis kantor mengejutkannya.
"Bu Mahreeen, Anda diminta menghadap Pak Manaf di kantornya sekarang."
Mahreeen terdiam sejenak, hatinya langsung diliputi rasa takut. "Kenapa aku dipanggil?" pikirnya panik.
Mungkinkah kejadian ketika dia menabrak Manaf dua hari lalu? Atau ada kesalahan lain yang dia perbuat tanpa sadar? Pikirannya terus berputar, dan rasa khawatir mulai melanda. Apakah mungkin dia akan dipecat? Jika itu terjadi, bagaimana dia akan membayar biaya rumah sakit Hanin?
Terburu buru Mahreeen berangkat ke kantor hari ini, Hanin yang di titipkan pada suster disana, sementara menunggu anak sulungnya setelah pulang sekolah.
Dengan tangan yang gemetar, Mahreeen menuju ruangan Manaf. Setiap langkah terasa begitu berat, seolah ada ribuan beban di punggungnya. Saat tiba di depan pintu, dia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, lalu mengetuk pelan.
Tok!
Tok!
"Masuk," terdengar suara Manaf dari dalam.
Mahreeen membuka pintu perlahan dan masuk dengan kepala tertunduk. Di hadapannya, Manaf duduk di balik meja kerjanya, wajahnya tenang namun sulit ditebak.
"Bu Mahreeen, duduklah," ucap Manaf, suaranya lebih tenang daripada yang Mahreeen duga.
Mahreeen duduk dengan hati berdebar kencang. Apa yang akan Manaf katakan? Tapi kali ini Mahreeen duduk di sofa setelah Manaf bangkit dari kursi kebesarannya itu.
Mahreeen hanya bisa mengikuti sesuai perkataan bos besarnya itu, duduk disofa tepat di sampingnya. Memang agak lain, jantungnya kali ini berdebar lebih cepat. Bukan karena apa papa tapi tegang dan takut.
"Saya dengar Anda mengajukan pinjaman ke HRD, dan mereka hanya bisa memberikan dua ratus juta. Itu benar, kan?" tanya Manaf langsung.
Mahreeen mengangguk pelan, tidak berani menatap wajah bosnya, karena wajahnya saat ini tengah pucat pasi.
"Saya juga dengar alasan Anda meminjam uang adalah untuk biaya operasi anak Anda," lanjut Manaf. "Kenapa Anda tidak bicara langsung kepada saya?" ucap Manaf yang melihat pada Mahreeen. Mata mereka bertemu.
Deg!
Mahreeen terkejut dengan pertanyaan itu. Bicara langsung kepada Manaf? Bagaimana mungkin? Dia hanya seorang staf biasa, sementara Manaf adalah CEO perusahaan besar ini.
"Saya... saya tidak tahu harus bagaimana, Pak. Saya hanya mencoba mencari cara untuk menyelamatkan anak saya," jawab Mahreeen dengan suara gemetar dan memutus kontak matanya lebih dulu.
Manaf terdiam sejenak, lalu menghela napas.
"Saya akan bantu Anda, Mahreeen," ucapnya singkat, membuat Mahreeen terperanjat.
"Tapi dengan satu syarat." lanjut Manaf.
Mahreeen menatap Manaf, bingung dan cemas.
"Syarat apa?" tanyanya pelan, hatinya berdebar kencang, tidak siap dengan jawaban yang akan datang.
Ya Allah, tolong lindungi aku... apapun syaratnya, tolong beri aku kekuatan. Dalam hati, Mahreeen terus berdoa.
...****************...
Sejauh ini bagaimana menurut pendapat kalian???
Jangan lupa tinggalkan jejaknya ya.
Malam hari saat kejadian siang itu tertabrak Mahreeen.
Manaf duduk di kamarnya, memandangi tangannya yang tidak menunjukkan gejala apa pun. Dia masih teringat dengan jelas kejadian ketika tubuhnya tidak bereaksi saat bertabrakan dengan Mahreeen. Tak ada bercak merah atau gatal gatal seperti biasanya. Ini adalah hal yang aneh bagi Manaf, yang selama ini selalu mengalami reaksi alergi ekstrem terhadap sentuhan wanita, bahkan terhadap istrinya sendiri, Farisa.
"Kenapa tidak ada reaksi saat aku bersentuhan dengannya?" lirih Manaf.
Rasa penasaran semakin membesar, hingga dia memutuskan untuk kembali mencoba menyentuh Farisa di rumah. Benar saja, bercak merah segera muncul di kulitnya, disertai rasa mual yang sangat mengganggu. Manaf segera pergi ke kamar mandi, berusaha menenangkan dirinya, namun pikiran tentang Mahreeen terus menghantuinya.
"Ck! Sial! Ternyata belum sembuh juga!" kesal Manaf yang harus meminum obat setelah bersentuhan tangan dengan Farisa tadi. Setelah itu baru bintik merah yang timbul mulai memudar.
***
Esok harinya, Manaf menemui dokter pribadinya, Dr. Zacky, yang telah merawatnya selama bertahun tahun. Dia menceritakan semua yang dialaminya tentang alergi sentuhan wanita, dan kejadian aneh saat bertemu Mahreeen.
Dr. Zacky mendengarkan dengan serius, lalu memberikan saran yang tak terduga.
"Manaf, mungkin kamu harus mencoba lagi bersentuhan dengan wanita itu. Jika tubuhmu tidak memberikan reaksi yang sama, mungkin dia satu satunya wanita yang bisa kamu sentuh tanpa alergi." ucapnya.
"Kamu gila, Ky! Aku jadi bahan percobaan! Bagaimana kalau ternyata kemarin itu hanya kebetulan semata? Aku menolak itu," tolak tegas Manaf.
"Terserah, itu hanya ide saja. Siapa tahu jika wanita itu benar benar satu obat untukmu. Apakah kamu tidak mau mencobanya, ini bukan yang kamu tunggu dari dulu. Apa kamu tidak lelah di minta terus oleh orang tuamu terus keturunan? Pikirkan saja!" ucap Dr. Zacky.
Manaf tidak menjawab itu, lalu dia pamit dari sana, dan meninggalkan banyak sesuatu di otaknya.
Saran itu mengganggu pikiran Manaf sepanjang hari. Dia tidak bisa berhenti memikirkan Mahreeen. Apakah ini kebetulan atau ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini? Dia harus tahu lebih banyak tentang Mahreeen sebelum mengambil langkah berikutnya.
Manaf memerintahkan Olaf untuk mencari informasi sebanyak mungkin tentang Mahreeen. Olaf dengan cepat mendapatkan data lengkap tentang pekerjaannya di Omar Corp, kondisi keluarganya, dan terutama tentang putri kecilnya, Hanin, yang sedang sakit parah dan membutuhkan biaya besar untuk operasi.
Setelah semua informasi terkumpul, Manaf memutuskan untuk memanggil Mahreeen ke ruangannya. Kerja Olaf benar benar cepat dan efektif.
Mahreeen masuk dengan perasaan yang bercampur aduk khawatir, takut, dan bingung. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah panggilan mendadak ini. Namun, yang membuatnya semakin cemas adalah melihat Manaf duduk di sofa, bukan di balik meja kerjanya yang biasa.
"Silakan duduk, Mahreeen," ucap Manaf dengan nada yang lebih lembut dari biasanya, menunjuk ke sofa di sebelahnya.
Mahreeen duduk dengan gelisah, menunduk, tidak berani menatap Manaf terlebih duduk di sebelah big bosnya itu. Membuat jantungnya tidak baik baik saja.
"Saya dengar anakmu membutuhkan operasi yang biayanya sangat besar," ucap Manaf, tanpa basa basi dan memandang wanita itu.
"Iya, Pak. Saya butuh lima ratus juta untuk menyelamatkan putri saya." ucap Mahreeen mengangguk pelan dan memutus matanya lebih dulu.
Manaf terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang sebelum akhirnya mengatakan sesuatu yang membuat Mahreeen terkejut. Karena Manaf saat ini sudah yakin jika memang Mahreeen adalah wanita yang bisa menyentuhnya.
Terima kasih Tuhan, aku tidak gatal di sentuh olehnya. Apalagi jarak saat ini dekat sekali denganku, tapi aku tidak merasakan jijik atau mual. Baton Manaf senang.
"Saya akan membantumu mendapatkan uang itu, tapi ada syaratnya," ucap Manaf perlahan.
Mahreeen mengangkat wajahnya, menatap Manaf dengan bingung. "Syarat?" tanyanya pelan.
"Kamu harus menjadi istri keduaku. Istri simpananku," ucap Manaf tegas, menatap Mahreeen tanpa ragu.
"Saya ingin kamu mengandung anak saya. Itu syaratnya." lanjut Manaf berharap Mahreeen menyetujuinya.
Tapi andaikan dia menolak akan sekuat dan semampunya untuk mendapatkan wanita disampingnya.
Berbeda dengan Manaf, dunia Mahreeen seolah berhenti. Kata kata Manaf bergema di kepalanya, namun dia tak mampu memproses apa yang baru saja didengarnya.
"Menjadi istri kedua? Istri simpanan? Bagaimana mungkin?" tanya Mahreeen. Bukan senang seperti wanita single yang terpesona olehnya.
"Bagaimana dengan istri Anda, Pak?" tanya Mahreeen dengan suara yang bergetar.
"Bagaimana dengan keluarga saya?" lanjutnya.
"Istriku tidak bisa memberiku keturunan. Aku butuh anak. Jika kamu setuju, aku akan memastikan putrimu mendapat perawatan terbaik. Aku juga akan memastikan hidupmu jauh lebih baik daripada sekarang." ucap Manaf tetap tenang walau pada kenyataan dia berbohong.
Mahreeen tidak bisa berkata apa apa. dia merasa kepalanya berputar putar, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Tawaran ini adalah sesuatu yang tak pernah dia bayangkan akan datang dari atasannya.
"Ini pilihanmu, Mahreeen. Aku tidak memaksamu," tambah Manaf sambil menatapnya dalam.
"Tapi ingat, waktu untuk putrimu semakin sedikit." tekan Manaf.
Mahreeen terdiam, pikirannya kacau. Di satu sisi, dia merasa terhina. Bagaimana mungkin dia dijadikan istri simpanan? Tapi di sisi lain, dia memikirkan Hanin yang terbaring lemah di rumah sakit, membutuhkan pertolongan segera.
"Aku akan memberikanmu waktu, pikirkanlah! Jika sudah ada jawabannya kamu bisa keruangku dengan menghubungi Olaf," ucap Manaf. Tahu bahwa kehendaknya saat ini jangan membuatnya dipaksa.
Mahreeennhanya menganggukkan kepalanya saja, lalu dia pamit.
***
Sesampainya di rumah, Mahreeen mencoba berbicara dengan Peros. Dengan hati hati, dia menceritakan situasinya, berharap suaminya akan memberikan solusi. Namun, jawaban Peros justru menghancurkan hatinya lebih dalam.
"Kalau memang begitu, kenapa tidak kamu terima saja tawarannya?" ucap Peros tanpa sedikit pun rasa bersalah. "Kalau dia bisa bayar kamu dengan jumlah besar, kita bisa kaya raya setelah kamu cerai dengan dia nanti." lanjut Peros.
Mahreeen terkejut mendengar reaksi Peros.
"Kamu benar benar tega, Peros? Kamu ingin aku dijadikan istri simpanan hanya demi uang?" kesal Mahreeen.
"Lihat keadaan kita sekarang, Mahreeen. Kita butuh uang. Aku tidak peduli bagaimana caranya. Kalau kamu bisa dapat uang banyak dari dia, kenapa tidak?" ucap Peros menatap Mahreeen dengan dingin.
Hancur hati Mahreeen mendengar ucapan suaminya. Di matanya, Peros tidak lagi menjadi suami yang ia kenal, melainkan seseorang yang rela menjual istrinya demi uang. Mahreeen merasa seakan dunia telah runtuh di sekelilingnya.
Dalam keheningan malam, Mahreeen berlutut di atas sajadah, menangis dalam sujudnya.
Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Berikan aku jalan keluar, ya Tuhan... Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.
...****************...
Hi semuanya!!
Tinggalkan jejak kalian disini ya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!