Sudah hampir satu jam setelah makan malam, Gita menekuni pianonya. Ia memainkan beberapa lagu sedih yang menggambarkan suasana hatinya yang kini tengah kesepian pasca perginya Jiva dari panti.
Indahnya permainan musik Gita, terdengar hingga ke ruang kerja Pertiwi, dan membuatnya terusik hingga ia pun menghampiri Gita di ruang serba guna.
"Gita, apa kau menyesali keputusanmu?" tanya Pertiwi hati-hati, ia duduk di sebelah Gita mengelus lembut punggung bocah itu.
Gita menghentikan jemarinya seraya menggeleng lemah. Apa yang sudah menjadi keputusannya tidak bolah di sesalinya, prinsip yang ia pegang teguh. Ia justru senang telah berhasil menepati janjinya, dan melihat Jiva bahagia.
"Kalau begitu kenapa kamu bersedih?"
"Aku rindu dengan Jiva, Bu."
Sejak kecil ia dan Jiva terbiasa bersama-sama, baik itu di sekolah maupun di panti. Dimana ada Jiva, disitu pula dirinya berada. Kepergian Jiva membuat hatinya hampa dan kosong, meskipun anak-anak panti yang lainnya sering menghiburnya, tapi hanya Jiva teman satu angkatannya.
Pertiwi merogoh handphone dalam sakunya. "Kau mau menelponnya?"
Senyum sumringah langsung terpancar dari wajah cantik Gita. "Mau, Bu," ucapnya sembari mengangguk senang. Dengan tidak sabar ia menunggu Pertiwi yang tengah menghubungi ibu angkat Jiva, jemarinya mengetuk-ngetuk papan pianonya, sampai Pertiwi memberikan handphonenya padanya.
"Ini Jivanya." Pertiwi turut senang melihat anak asuhnya kembali tersenyum.
Tanpa ragu Gita langsung menerimanya dan bicara pada pada Jiva. "Hai Jiva..." sapanya dengan riang, tapi suasana di seberang sana terdengar hening, Gita hanya mendengar suara hembusan napas pelan. "Jiva, apa kau di sana?"
"Ya aku disini."
Suara Jiva terdengar berbeda dari biasanya, hal ini membuat Gita khawatir dan langsung menanyakan kabarnya. "Kau baik-baik saja Ji? Aku sangat merindukanmu, kapan kau main ke panti? Aku sudah menunggumu."
"Ya, aku baik-baik saja. Bahkan lebih dari kata baik," Kali ini Jiva terdengar lebih tegas dari yang tadi. "Karena kau meneleponku, ada hal yang perlu kau ketahui."
Jantung Gita berdegup dengan kencang, ia tak pernah mendengar Jiva seserius ini.
"Tinggal di panti itu adalah kenangan terburuk dalam hidupku. Orang tuaku telah membuangku dan aku harus tinggal bersama anak-anak yang sama tidak berdayanya seperti aku saat itu. Tapi sekarang hidupku sangat sempurna, aku memiliki orang tua dan kakak perempuan yang menyayangiku, aku bersekolah di sekolah yang bagus, di antar dengan mobil mewah, tinggal di rumah mewah, dan apa yang aku inginkan orang tuaku memberikannya."
Gita terdiam mendengarkan semuanya, ia tak percaya jika Jiva menganggap panti yang membesarkannya ternyata baginya tempat yang buruk.
"Aku ingin melupakan semua hal yang menyakitkan itu termasuk dirimu, jadi tolong jangan hubungiku lagi. Pikirkan saja masa depanmu sendiri, masa depanku di sini sudah sangat cermelang." Jiva mematikan sambungan teleponnya, ia menghela napas beratnya untuk sesaat sebelum ia kembali masuk ke ruang rawat inap kakak angkatnya.
"Sudah teleponnya?" tanya Kinara saat putrinya mengembalikan handphonenya.
"Sudah Mom."
"Kok teleponnya di luar sih Dek? Kakak kan mau kenal sama temanmu," sambung Nada.
Jiva mendekat ke tempat tidur kakaknya, ia kembali pada posisinya sebelum Gita meneleponnya. "Tadi dia hanya menyapa saja kok, Kak. Waktu aku mau ngenalin ke Kakak, dia bilang sedang buru-buru," dustanya. Ia menatap layar laptop di pangkuan Nada. "Jadi ini yang namanya blogspot, Kak?"
Nada mengangguk. "Kau bisa menaruh semua cerita dongengmu di sini, agar tidak hilang dan seluruh orang bisa membacanya. Kakak yakin suatu saat nanti kau akan jadi pendongeng yang sangat terkenal," ia mendukung penuh bakat yang di miliki oleh Jiva, sehingga ia membantu adiknya membuatkan media untuk Jiva berkarya.
"Terima kasih, Kak. Aku suka sekali dengan designnya, cantik sekali."
"Seperti adikku tersayang." Nada memeluk Jiva dengan tulus, tak perlu waktu lama baginya untuk menganggap Jiva seperti adik kandungnya sendiri, ia begitu meyayangi Jiva.
Aksara dan Kirana tersenyum senang melihat kedekatan kedua putrinya, kehadiran Jiva di tengah keluarga mereka membuat putri semata wayangnya kembali bersemangat di tengah keterpurukannya melawan penyakitnya.
***
Sementara itu, di ruang serba guna panti asuhan Harapan Ibu, Gita masih terdiam memikirkan perkataan yang di lontarkan Jiva padanya, ia tak menyangka Jiva memutuskan tali persahabatan mereka.
"Gita, apa ada masalah?" ia memperhatikan perubahan raut wajah Jiva setelah menelpon Jiva.
Tak ingin membuat Pertiwi khawatir, Gita memaksakan seulas senyuman. "Tidak ada, Bu," ia menggelengkan kepalanya. "Aku hanya sedikit terkejut karena Jiva nanti akan mengundangku ke pesta ulang tahunnya. Pestanya pasti akan meriah, aku sudah membayangkan akan banyak balon di pestanya."
Pertiwi tersenyum lega, ia hampir saja berpikir jika Jiva melupakan Gita.
"Bu, boleh aku keluar sebentar untuk mencari inspirasi kado spesial apa yang akan aku berikan pada Jiva?"
Pertiwi mengangguk. "Boleh, Nak. Tapi jangan jauh-jauh dan jangan lama-lama ya, sebentar lagi waktunya kamu istirahat, besok juga kan masih harus sekolah."
"Siap, Bu. Cuma di depan aja kok."
Gita berjalan menyusuri trotoar, air matanya mengalir deras membasahi wajah cantiknya. Ia tidak bisa menumpahkan rasa sedihnya di panti karena tak ingin adik-adiknya melihat dan khawatir.
Memory-memory kebersamaannya dengan Jiva kembali teringat, rasanya baru kemarin Jiva berjanji padanya akan rutin mengunjunginya di panti, Jiva juga meyakinkan Gita bahwa persahabatan mereka tidak akan pernah terputus. Janji itu yang Jiva ucapkan kala dirinya mengatakan bahwa ia lah yang akan mejadi anak adopsi Aksara dan Kirana.
Langkah Gita terhenti saat melihat dua orang gadis yang usianya di atasnya tengah berbagi ice cream, ia seperti melihat dirinya bersama Jiva. Dulu ia berharap bisa tumbuh besar dan meraih cita-citanya bersama Jiva, tapi setelah kejadian tadi, ia harus bertumbuh sendiri.
Di tengah kesedihannya, tiba-tiba saja ada seorang anak laki-laki SMA yang mengulurkan satu cup ice cream pada Gita. "Kau pasti sedih karena ice creamnya habis kan? Ini kau ambil saja punyaku, belum aku makan kok." ia meraih tangan Gita dan menaruh ice cream tersebut.
"Tapi aku bukan..."
Belum sempat Gita menjelaskannya, anak SMA itu bergegas pergi menuju bis yang tengah terparkir di pinggir jalan, rupanya ia salah satu rombongan pelajar SMA Jakarta yang tengah study tour ke Bandung.
Hal ini terlihat dari tulisan pada bagian depan bis tersebut, pria itu tersenyum dan sedikit melambaikan tangannya saat bis itu melewati Gita, dan sebagai ucapan terima kasihnya Gita pun tersenyum.
"Terima kasih, Kai," gumam Gita, ia tahu nama pria itu dari seorang guru yang berteriak memanggil pria itu sesaat sebelum berlari masuk ke bis.
***
Hai teman-teman...
Mohon maaf dalam dua minggu ini aku tidak bisa up, di karenakan secara bergantian aku dan anakku sedang kurang fit. Terima kasih atas kesetiaannya, terus membaca karya-karyaku. Semoga kalian suka dan terhibur dengan cerita ini.
Salam sayang
Irma ❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩ𝐀𝐧𝐠ᵇᵃˢᵉՇɧeeՐՏ🍻☪️¢ᖱ'D⃤
hemmm kenapa jiva cepet sekali berubah yaa...apa dia nggak ingat saat bersama di panti
2024-11-26
3
🍭ͪ ͩ𝐀𝐧𝐠ᵇᵃˢᵉՇɧeeՐՏ🍻☪️¢ᖱ'D⃤
sombong sekali kamu jiva, kau nggak tau aja seandainya posisi itu ada pada gitaaa
2024-11-26
2
☠ᵏᵋᶜᶟ ⏤͟͟͞R•Dee💕
benar..harusnya yg cocok diadopsi ini Gita krn memiliki hati yg lembut dan berjiwa besar. walau Jiva sudah memutus pertemanan dan menggangapnya tp Gita masih menutupi
2024-11-09
3