Sang Pendongeng
...Anak Laki-laki yang Penuh Ketakutan...
Anak lelaki itu terbangun dari mimpi buruknya. Kejadian yang tak mengenakan sepanjang hari yang dialaminya muncul dalam mimpinya dan terus mengganggu anak lelaki itu. Dia ketakutan untuk tidur.
Suatu hari, dia pergi mengunjungi penyihir dan memohon kepadanya.
“Penyihir, tolong aku! Aku tidak mau diganggu lagi olehnya, agar aku tidak mimpi buruk lagi. Sebagai gantinya, aku akan menuruti apa pun keinginanmu”
Hari demi hari berlalu, sang penyihir mengabulkan permintaannya. Tapi meskipun begitu, dia tetap tidak bahagia sedikit pun.
Suatu malam, bulan darah memenuhi langit, dan penyihir muncul kembali dihadapannya untuk menagih janji anak lelaki itu. Dengan penuh kebencian, dia berteriak kepada penyihir.
“Semua kejadian burukku lenyap, tapi kenapa… Kenapa aku tidak bahagia ?”
Sesuai dengan perjanjian, penyihir memgambil jiwa anak itu, dan berkata…
“Ini bukan tentang orang yang mengganggumu, tapi tentang dirimu sendiri. Jika ada seseorang yang mengganggumu seharusnya kau belajar untuk menjadi kuat, dan menyesuaikan diri. Orang seperti itulah yang bisa mendapatkan kebahagiaan.”
Jangan lupakan semua itu. Maju dan hadapi! Jika tak dihadapi, kau hanya selalu menjadi anak kecil yang penuh ketakutan.
Suasana panti asuhan Harapan Ibu penuh dengan ketegangan saat Jiva Arunika membacakan dongeng karangannya sendiri dengan penuh penjiwaan di depan teman-temannya.
Ia sudah memiliki bakat menulis sekaligus mendongeng sejak usia 5 tahun, dan kini di usianya yang menginjak 12 tahun Jiva sudah memiliki belasan cerita dongeng yang ia rutin bacakan untuk teman-teman satu pantinya.
Tapi Jiva tidak tampil sendiri, teman sebayanya yang bernama Gita Rinjani selalu mengiringi cerita dongeng Jiva, melalui permainan pianonya menambah kesan hidup pada dongeng Jiva.
Larut dalam cerita dongeng yang di bawakan oleh Jiva, membuat mereka tak menyadari jika Ibu pemilik panti bersama dengan dua orang tamunya memperhatikan penampilan mereka berdua dari depan pintu.
Ketiganya turut memberikan tepuk tangan saat Jiva selesai mendongeng, gadis itu sepintas menoleh ke arah pintu sebelum Bu Pertiwi dan tamunya berbalik.
"Jadi bagaimana? Apakah Bu Kirana dan Pak Aksara sudah menentukan pilihan?" tanya Pertiwi ketika mereka berjalan kembali menuju ruang kerjanya.
Kirana dan Aksara menatap satu sama lain, kemudian mereka tersenyum. "Kami memilih anak yang bermain piano," jawab Kirana dengan penuh keyakinan di sertai dengan sorot matanya yang berbinar-binar. "Permainan pianonya sungguh luar biasa, aku sampai tersentuh."
Pertiwi mengangguk dan tersenyum. "Gita memang anak yang berbakat di bidang musik, dia juga memiliki hati yang sangat lembut." Tak perlu menunggu lama, Pertiwi langsung meminta salah satu pengurus panti untuk memanggil Gita. "Bu Kirana dan Pak Aksara harus mengenal Gita terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan akhir."
Keduanya mengangguk setuju, tak lama berselang Gita datang. "Sini, Nak!" Pertiwi melambaikan tangannya, meminta Gita mendekat dan menyapa calon orang tua angkatnya.
"Assalamualaikum, Om, Tante.." sapa Gita seraya menyalami keduanya dengan sopan.
Kirana semakin terkesan dengan kesopanan Gita, terlebih setelah mereka mengobrol dengannya, Kirana langsung bisa menilai bahwa Gita gadis yang cerdas dan lembut, persis seperti yang Pertiwi katakan.
"Nak, sepertinya kamu sudah tahu maksud kedatangan Tante dan Om kemari. Kami ingin mengadopsimu, apakah mau tinggal di Jakarta menjadi anak angkat kami?" Kirana begitu yakin Gita akan langsung menyetujuinya, sebab sepanjang obrolan mereka Gita pun menunjukan ketertarikannya.
Tapi tenyata Gita malah terdiam, matanya memandang ke arah pintu. Ia melihat sahabatnya, Jiva tengah menatapnya dengan tatapan sedih dari balik pintu, ia menerawang jauh ke beberapa tahun lalu, di mana mereka berdua pernah berjanji untuk selalu bersama-sama.
"Tante, apakah Tante mau mengadopsi dua anak sekaligus?" tanya Gita menatap Kirana penuh harap.
Perlahan Kirana menggelengkan kepalanya. "Maafkan Tante, Sayang. Sebetulnya Tante ini sudah memiliki seorang anak perempuan, saat ini kondisinya sedang terbaring lemah di rumah sakit karena kanker yang menggerogoti tubuhnya," ucap Kirana sedih.
"Sudah lama dia menginginkan seorang adik perempuan, tapi sayangnya kami tidak mungkin memberikan seorang adik karena Tante sendiri sudah tidak bisa hamil lagi. Untuk itulah kami datang kemari untuk mengadopsimu," terangnya.
"Maaf kami tidak bisa mengadopsi dua anak sekaligus karena khawatir kami tidak bisa mengurus kalian secara maksimal," sambung Aksara. "Dengan keadaannya yang seperti ini, calon kakakmu sangat membutuhkan banyak perhatian kami."
Gita mengangguk mengerti, tapi ia juga tidak bisa melanggar janjinya dengan Jiva. Ia di titipkan ke panti ini di hari yang sama, dan akan keluar pun bersama. Jiva adalah sahabat dan keluarganya. "Kalau begitu maaf Tante, aku tidak bisa."
Gita beranjak dari tempat duduknya, dengan sopan ia berpamitan pada Ibu Pertiwi, Kirana, dan juga Aksara. Ia berjalan gontai menuju kamarnya, hatinya begitu sedih. Sebagai anak yatim piatu, sudah lama sekali Gita mendambakan sosok orang tua yang menyayanginya, keluarga yang utuh tapi ia tidak bisa meninggalkan Jiva di panti.
"Kau tidak perlu sedih, aku tidak akan meninggalkamu," Gita merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur bertingkatnya, ia tidur di bawah sementara Jiva berada di atas.
"Benarkah?" tanya Jiva seolah tak percaya, ia sampai melongok ke bawah untuk memastikannya.
Gita berdeham, membenarkan ucapannya sembari menutup tubuhnya dengan selimut. "Sudahlah jangan membahas itu lagi, aku lelah sekali hari ini. Tolong matikan lampunya!" Ia berusaha memejamkan matanya, berharap tidurnya kali ini bisa melupakan angannya memiliki keluarga yang utuh.
"Baiklah, akan aku matikan sekalian mau ke toilet." Gita turun dari ranjangnya, oa mematikan lampu dan keluar dari kamarnya.
Alih-alih ke kamar mandi Gita justru berlari ke ruang kerja Bu Pertiwi, ia melihat ruangan sudah kosong, kemudian ia berlari ke teras depan. "Tunggu!" ia melambaikan tangan pada Kirana dan Aksara yang hendak masuk mobil.
Keduanya menghentikan langkah sembari menoleh, begitu pula dengan Bu Pertiwi. "Ada apa Jiva? Kau belum tidur?"
Jiva terengah-engah ketika tiba di hadapan mereka, ia mencoba mengatur napas. "Aku sama sekali tidak keberatan jika Om dan Tante mau mengadopsiku," ucapnya.
Sontak saja Bu Pertiwi sangat terkejut dengan ucapan Jiva, sementara Kirana dan Aksara saling menatap satu sama lain, kemudian Aksara menganggukan kepalanya. "Kau yakin mau menjadi anggota keluarga kami?" tanya Kirana.
"Ya. Aku mau, Tante," jawab Jiva girang. "Aku mau ikut Om dan Tante ke Jakarta menjadi bagian dari keluarga kalian, aku janji akan jadi anak penurut dan membanggakan untuk kalian."
***
Haiii....
Hari ini aku meluncurkan karya terbaruku lagi, yang berjudul Sang Pendongeng. Semoga kalian suka dengan karya-karyaku. Terima kasih sudah membaca, sehat selalu 🙏❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ ⏤͟͟͞R•Dee💕 ˢ⍣⃟ₛ
Maaf Kak Baruu meluncur lagi utk membaca karyamu.. semangat dan sukses terus Kak
2024-11-09
3
🍭ͪ ͩ𝐀𝐧𝐠ᵇᵃˢᵉՇɧeeՐՏ🍻☪️¢ᖱ'D⃤
hemmm salut deh dengan pemikirangita anak yang masih kecil aja tauuuh gimana rasanya bersama
2024-11-26
2
☆☆D☆☆♡♡B☆☆♡♡
salam kenal , jika berkenan mampir juga💪💪👍🙏👋
2024-11-14
2