"Apa kau butuh bantuan Ayah untuk mencicipi masakanmu?"
Dari ruang kerjanya, Baskara Bhalendra berjalan menuju dapur mendekati putra semata wayangnya Kai Gentala Bhalendra. Sejak dua jam lalu ketika Baskara hendak masuk keruang kerjanya, ia melihat Kai tengah sibuk di dapur, dan hingg kini putranya itu masih berada di sana.
Ia penasaran apa yang di buat si jago masak di rumahnya kali ini. "Kau membuat dessert?" tanya Baskara heran, sepengetahuannya Kai lebih sering memasak main course makanan Jepang.
Kai mengangguk sembari menyelesaikan platingnya. "Fried ice cream, ala Kai," seperti biasa ia meminta ayahnya untuk mencicipi makanan buatannya.
Meski Baskara menatap heran pada es krim goreng buatan putranya namun tanpa ragu ia langsung melahapnya. "Wow..." komentarnya. Rasa es krim vanila yang dibalut dengan remah cookies menyatu dengan sempurna di mulutnya, di tambah aroma kayu manis yang membuat Baskara tak bisa berhenti menikmati dessert buatan Kai.
"Apa es krimnya kau buat sendiri juga? Ayah tidak pernah memakan es krim selembut ini, manisnya pas sekali."
Kai mengangguk sembari tersenyum sumringah. "Ayah yakin es krim itu benar-benar enak?"
"Ya, kau lihat ini!" Baskara menunjukan piringnya yang sudah kosong. "Kau tahu Ayah tidak begitu suka es krim vanila, tapi untuk yang ini Ayah langsung bisa menghabiskannya sekejap."
"Aku harap suatu hari nanti, dia bisa memakan es krim buatanku sebanyak yang dia mau agar tidak menangis lagi karena kehabisan," gumam Kai.
"Ooh.. Rupanya kau membuat es krim ini untuk seorang gadis. Siapa dia?" tanya Baskara penasaran.
Kai tersenyum malu-malu sembari menggelengkan kepalanya. "Ada lah, Yah."
"Sebentar lagi usiamu 17 tahun, Ayah sudah membolehkanmu berpacaran. Jadi, Ceritalah pada Ayah!" Baskara terus mendesak Kai bercerita tentang gadis yang sudah membuat putranya yang pemalu ini jatuh hati.
"Sepertinya dia orang Bandung, aku sendiri tidak kenal dengannya."
"Kalau kau tidak mengenalnya, bagaimana kau menyukainya? Apa kau menemukannya di aplikasi pencarian jodoh?" Seketika Baskara memegang keningnya. "Kai, kau masih terlalu kecil untuk menggunakan aplikasi itu. Bagaimana kalau dia menipumu?"
"Tidak-tidak, bukan seperti itu." Kai langsung meluruskan kesalahpahaman ayahnya, ia menceritakan pertemuannya dengan gadis yang menangis di depan gerobak es krim, saat ia sedang study tour bebrapa waktu lalu. "Pak Tito sudah bertiak memanggilku, jadi aku tidak sempat kenalan dengannya."
"Kau ini payah sekali, harusnya kau sempatkan sebentar untuk berkenalan dan meminta alamatnya."
"Aku tidak tahu bagaimana memulainya?"
Baskara tertawa melihat keluguan putra semata wayangnya. "Ayah yakin rumah dia tidak jauh dari situ, kapan-kapan kalau ada waktu senggang kita ke Bandung untuk mencarinya."
"Benarkah?"
Baskara mengangguk, ia berjanji mengagendakan waktu untuk putranya mencari gadis itu. Di tengah obrolan hangatnya bersama putra semata wayangnya, istrinya pulang dan menghampiri mereka di dapur.
"Hai, kau sudah pulang?" sapa Baskara, ia langsung menuangkan segelas air putih dan memberikannya ketika istinya duduk. "Kelihatannya kau lelah sekali, apa yang terjadi di kantor?"
Mutiara Emersyn tak menyambut sapaan hangat suaminya, ia juga mengabaikan air putih pemberian Baskara. Wanita itu duduk di meja makan dengan tangan melipat didadanya dan membuang wajahnya.
Hal ini membuat Baskara salah tingkah karena tak ingin Kai melihat hubungan dirinya dan ibunya yang memang sedang tidak baik-baik saja. "Kau tahu, Tiara? Kai baru saja membuat es krim goreng. Apa kau mau mencicipinya juga?" ia masih berusaha mencairkan suasana.
Tapi sayangnya itu justru malah membuat Mutiara marah dan menggebrak meja. "Sudah berapa kali Mama katakan padamu, Kai. Jangan sentuh peralatan masak! Tempatmu bukan di dapur, kau harus banyak belajar agar tidak seperti ayahmu yang bodoh ini," tunjuknya pada Baskara.
Seketika Baskara langsung bereaksi. "Apa-apaan kau ini, Tiara?"
Tatapan Mutiara semakin terlihat menantang. "Kau keluar dari pekerjaanmu, dan terus bermimpi menjadi pengusaha sukses dengan program-program bodohmu itu yang sampe sekarang belum sama sekali menghasilkan. Tabungan kita sudah habis, kau mau menjual apa lagi agar kita bisa tetap hidup? Kau mau aku menggunakan uangku untuk memenuhi kebutuhan kita? kau sungguh pria yang tak tahu malu."
"Aku tidak butuh uangmu," sanggah Baskara.
Meskipun saat ini program yang ia buat belum bisa menghasilkan, namun ia berusaha keras tetap memenuhi kebutuhan keluarganya dari tabungan yang ia miliki, tanpa meminta sepeserpun dari penghasilan istrinya.
"Besok aku akan bertemu dengan calon investor, aku yakin kali ini pasti berhasil. Bersabarlah!" ucap Baskara dengan penuh keyakinan sembari menatap Kai.
"Sudah ratusan kali kau bicara seperti itu, aku tidak ingin menunggu sampai kita jatuh miskin." Mutiara merogoh tasnya dan mengambil selembar amplop coklat, kemudian memberikannya pada Baskara. "Sampai bertemu di pengadilan."
Baskara mengerutkan keningnya. "Surat apa ini?" tanyanya memastikan meski ia sudah melihat logo pengadilan agama tertera di amplop tersebut, ia segera membuka dan membacanya.
"Tiara, kita bisa bicarakan ini semua baik-baik." Tatapan Baskara beralih ke Kai, seolah ia memastikan tidak akan perpisahan di keluarga kecilnya.
"Keputusanku sudah bulat, Baskara. Malam ini juga, aku dan Kai akan keluar dari rumah ini," Mutiara menatap putra semata wayangnya. "Ayo Kai, kemasi barang-barangmu."
Kai terdiam untuk beberapa saat, bocah enam belas tahun itu menatap kedua orang tuanya secara bergantian. "Aku ingin tinggal bersama Ayah."
Wajah Mutiara memerah, matanya melotot mendengar Kai tidak mau ikutnya. "Mau jadi apa kau ikut dengan Ayahmu? Lihat dirimu, Kai!" ia menunjuk ke arah apron yang di kenakan Kai sembari menggeleng-gelengkan kepala.
Napak jelas jika Mutiara tak menyukai cita-cita Kai yang ingin memiliki restoran dan menjadi juru masaknya. "Tidak ada yang salah menjadi seorang chef."
Mutiara beranjak dari tempatnya, ia memutar dan menghampiri putranya. "Kau akan menjadi sampah seperti Ayahmu, kalau kau tetap di sini." Ia menarik paksa Kai agar ikut dengan dirinya.
"Tidak. Aku tidak ingin ikut dengan Mama." Kai meronta berusaha melepaskan cengkraman ibunya. Dengan dua kali hentakan, Kai berhasil melepaskan diri. "Hanya karena saat ini kami belum berhasil, bukan berarti kami gagal dan menjadi sampah. Kami hanya perlu waktu untuk terus mencoba, dan aku yakin kami pasti bisa!" ia berlari masuk ke kamarnya meninggalkan orang tuanya di dapur.
Dengan jelas Kai mendengar pertengkaran hebat kedua orang tuanya, lebih tepatnya amarah Mutiara yang semakin membara, ia menuduh Baskara telah mempengaruhi Kai sehingga tidak lagi patuh kepadanya.
Kai mencoba menutup kedua telinganya, ia berharap ini semua segera berakhir. Kalau pun memang orang tuanya harus berpisah, ia tidak ingin berpisah dengan ayahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩ𝐀𝐧𝐠ᵇᵃˢᵉՇɧeeՐՏ🍻☪️¢ᖱ'D⃤
ini lah yang banyak terjadi di kalangan masyarakat indo hanya karena faktor ekonomi langsung pengen pisah kn bisa di bicarakan baik baik ya
2024-12-23
2
☠ᵏᵋᶜᶟ ⏤͟͟͞R•Dee💕 ˢ⍣⃟ₛ
hanya masalah ekonomi sedikit langsung minta cerai..padahal Baskara juga ga ongkang2 kaki kann dia tetap berusaha..bersabarlah Tiara. roda itu berputar namanya suatu usaha ada jatuh bangun
2024-11-11
3
☠ᵏᵋᶜᶟ ⏤͟͟͞R•Dee💕 ˢ⍣⃟ₛ
astagaaa ngatain suaminya di depan anaknya langsung gituu🤦♀️
2024-11-11
3