Obsesi Claudia

Saat pintu terbuka, di sana sudah ada Kenneth, Jayden, dan Reyhan yang berdiri menunggu Arvelio, wajah mereka terlihat gusar.

Arvelio menatap mereka tajam. "Apa?" tanyanya, suaranya terdengar seperti ancaman.

Reyhan meneguk ludah dengan gugup, tetapi Kenneth yang menjawab, suaranya tetap dingin. "Markas diserang."

Ekspresi wajah Arvelio berubah menyeramkan dalam sekejap. Dengan langkah pasti, dia bersiap untuk pergi. "Cabut!" titahnya.

Namun, Sheila tiba-tiba menahan tangannya.

Tatapan Arvelio melembut seketika. "Aku harus ke markas dulu. Kamu pulang sendiri, nggak apa-apa kan?" ucapnya, nadanya lebih lembut.

Sheila mengerutkan kening, ia ingin bertanya tapi Sheila paham, sekarang bukan saatnya. "Iya, tapi safety! Ini perintah!" balasnya dengan nada tegas, lalu mendekatkan wajahnya dan berbisik. "Awas kalau sampai kamu terluka, selama seminggu kamu nggak dapat jatah apa-apa."

Arvelio mendengus mendengar ancamannya. "Ck, kenapa harus bawa-bawa jatah aku, sih." balasnya dengan lirih, ikut berbisik.

Astaga, bagi Arvelio itu adalah ancaman mematikan dari pada terkena tembakan. Entahlah! Sikap lelaki tembok itu seketika melunak jika menyangkut soal hal itu.

Sheila tak peduli protes suaminya, dia mengangkat bahu dengan sikap acuh. "Makanya, hati-hati!"

Sebenarnya, itu hanyalah sebuah ungkapan agar sang suami bersikap waspada, karna Sheila yakin bahwa Arvelio akan lebih ekstra untuk menjaga diri karna ancamannya.

Arvelio menghela napas. "Baiklah. Aku pergi dulu," ujarnya, lalu ia mencium kening dan bibir Sheila sekilas.

Jayden, dan Reyhan juga melangkah ke arah istri masing-masing, dan melakukan hal yang sama seperti yang Arvelio lakukan.

Berbeda dengan Kenneth yang terdiam menatap istrinya. Irene yang paham, berkata. "Hati-hati,"

Kenneth tersenyum tipis, kemudian mencium kening dan bibir Irene sekilas. "Kamu nanti pulang ke rumah mommy, yah. Kamu akan sendirian di Apartment." ucapnya. Yang di jawab anggukan oleh Irene.

Setelah berpamitan, mereka berempat akhirnya berjalan keluar ruangan.

Sheila hanya bisa menatap punggung suaminya hingga sosoknya menghilang dari pandangan. Setelah itu, dia menoleh ke tiga sahabatnya, Irene, Grace, dan Leona.

"Kita ke basecamp," ucap Sheila tegas, lalu berjalan keluar ruangan.

Di sepanjang jalan, Sheila bisa mendengar bisikan orang-orang tentang hubungannya dengan Arvelio. Namun, Shiela tidak peduli dan tetap melangkah dengan percaya diri.

Langkahnya terhenti ketika anggota geng Claudia tiba-tiba menghadang jalan mereka.

"Minggir!" titah Sheila dingin, menatap Salsa, Gladis, dan Sonya dengan mata tajam.

Salsa mendengus. "Kalau kami nggak mau, kau mau apa? Jangan besar kepala cuma karena Arvelio bilang kau istrinya. Kau cuma siswa baru di sini, nggak punya kuasa apa-apa," ejeknya dengan nada meremehkan.

Sheila memutar bola mata, jelas merasa malas meladeni drama geng itu. Namun saat dia hendak melangkah, Gladis mencoba menahan tangannya.

Seketika, Sheila bergerak cepat. Dalam hitungan detik, tangan Gladis sudah dipelintir, membuat gadis itu menjerit kesakitan.

Jeritan Gladis menggema di koridor, menarik perhatian semua orang. Wajah anggota geng Claudia memucat, tak menyangka jika Sheila bisa bergerak secepat itu.

Sheila melepaskan tangan Gladis dan mendorongnya hingga terjatuh ke lantai. "Jangan main-main denganku," ucapnya dingin, penuh peringatan.

Terdengar sederhana, namun ucapan yang Sheila lontarkan mengandung makna yang tajam.

Tanpa menoleh lagi, Sheila melanjutkan langkahnya diikuti Irene, Grace, dan Leona.

Leona sempat berhenti sejenak. Dengan santai, dia menginjak tangan Gladis yang masih tergeletak di lantai. "Upsss, sorry... sengaja," ucapnya dengan senyum miring, lalu berjalan pergi dengan anggun.

Leona sengaja mengibaskan rambutnya, membuat helaian rambutnya mengenai wajah Salsa dan Sonya yang masih terpaku di tempat.

Sheila, Irene, Grace, dan Leona terus melangkah, meninggalkan geng Claudia yang kini terlihat lebih kecil dari sebelumnya.

***

Deru suara mobil Sheila, dan ketiga sahabatnya terdengar memasuki halaman basecamp.

Begitu ia turun, para anggota yang berada di sana serentak berdiri menyambut kedatangan pemimpin mereka.

"Siang, Queen," sapa mereka serentak.

Sheila hanya mengangguk singkat, wajahnya tetap datar seperti biasa. Dengan langkah tenang, ia berjalan masuk ke dalam gedung menuju ruang pribadinya.

Sesampainya di sana. "Bagaimana?" Sheila bertanya tanpa basa-basi, menatap Leona dengan tatapan tajam.

Leona yang paham, ia mengangguk dan menekan tombol di jam canggihnya. Layar hologram segera muncul, menampilkan sejumlah informasi.

"Ini semua informasi tentang Claudia dan gengnya," jelas Leona.

Sheila memperhatikan layar itu dengan ekspresi dingin. Claudia sudah menjadi target utamanya sejak insiden memalukan di mana dirinya disiram di depan umum.

Sheila tidak akan membiarkan kejadian itu berlalu begitu saja. Ia menganggap itu sebagai penghinaan, namun saat itu Sheila sengaja tak membalas karna dia masih murid baru, tak ingin membuat daddynya khawatir.

Sebuah senyum dingin terulas di bibirnya. "Cih, seperti dugaanku. B*tch! Awasi semua pergerakan mereka," perintah Sheila tanpa ragu.

Irene, yang duduk dekat Leona, menimpali. "Kau tenang saja. Aku sudah mengirim shadow sesuai instruksimu kemarin."

Sheila hanya mengangguk kecil, kemudian memutar-mutar pulpen di tangannya. "Apa ada misi untuk kita?" tanyanya.

"Banyak, tapi aku belum menerima satupun," jawab Leona. "Apa kau ingin menjalankan misi? Bagaimana dengan suamimu? Apa dia tidak keberatan?"

Pertanyaan itu membuat Sheila terdiam sejenak. Ia menarik napas dalam. "Astaga, kenapa aku bisa lupa? Arvelio kan belum tahu aku terlibat di dunia bawah," batinnya, panik.

Namun, yang tidak ia ketahui adalah bahwa Arvelio sebenarnya sudah lama mengetahui rahasia itu. Kemampuan psikometrinya membuatnya dapat melihat kilasan ingatan Sheila ketika mereka bersentuhan.

"Arvelio tahu bahwa kau adalah Queen X?" tanya Irene hati-hati.

Sheila menggeleng pelan. "Tidak. Apa kalian pernah jujur soal ini pada suami kalian?" tanyanya, menatap ketiga sahabatnya.

Ketiganya menggeleng dengan kompak.

Grace, yang terlihat lebih cemas, membuka suara. "Sebenarnya, aku sudah lama ingin membahas ini. Apa kita harus jujur? Menurutmu, apa mereka masih akan menerima kita jika tahu kita terlibat di dunia bawah?"

Sheila menatap cincin pernikahannya. Ia mendesah pelan sebelum mengangkat wajahnya. "Aku akan jujur," ucapnya mantap.

Irene terkejut. "Kau yakin?"

"Iya. Sebaik apapun kita menyembunyikan sesuatu pasti nanti akan terbongkar juga. Seperti pepatah, bangkai tetap akan tercium. Jika Arvelio memang mencintaiku apa adanya, dia akan menerimaku. Lagi pula, dia ketua geng motor. Dunia kita tidak jauh berbeda," jelas Sheila yakin.

Ketiga sahabatnya saling bertukar pandang. Sheila melanjutkan. "Tapi pikirkan baik-baik. Jika kalian memilih untuk tetap merahasiakan, itu hak kalian. Hanya saja, suami kalian pasti lebih kecewa jika mengetahui hal sepenting ini dari orang lain."

"Kapan kau akan memberitahunya?" tanya Irene.

"Malam ini," jawab Sheila tegas.

Mereka terdiam dengan pikiran masing-masing, sampai akhirnya.

"Ren, kau masih belum berbaikan dengan Kenneth?" tanya Leona, memecah keheningan.

Sheila menatap Irene. "Bukannya, kau sudah punya bukti bahwa Kenneth hanya dijebak oleh Gladis." ucapnya.

"Hm, benar. Aku mengirimkan video itu sebelum kau dan Kenneth menikah. Jangan bilang, kau belum melihatnya?" ujar Leona.

"Aku sudah lihat," jawab Irene.

"Lalu, kenapa kau masih bersikap dingin pada Ken?" tanya Grace.

"Aku malu," lirih Irene, nyaris tak terdengar.

Hal itu membuat Grace, dan Leona melongo. "Hah! Kau bilang apa?" ucap mereka kompak.

Sheila yang memiliki pendengaran tajam, menatap Irene, dan berkata. "Malu kenapa?"

"Wah, hebat. Aku di sebelah Irene saja tidak bisa dengar dengan jelas," puji Leona, merasa takjub dengan pendengaran Sheila padahal jarak mereka duduk lumayan jauh.

Grace ikut menatap Sheila kagum. "Memang Queen X nggak ada tandingannya," ikut memuji.

"A......" Irene tidak jadi melajutkan ucapannya.

"Jangan mengalihkan pembicaraan, sekarang jawab pertanyaanku," potong Sheila.

Irene menghela nafas. "Aku pernah berkata buruk padanya, karna kejadian itu. Setelah melihat bukti video itu, rasanya aku sangat malu padanya,"

"Astaga, jika masalah itu. Kau tinggal minta maaf, apa susahnya coba. Eh, coba kau pikir, bagaimana jika Kenneth berpaling darimu karna sikap cuekmu terhadapnya, hayooo." ujar Leona, menakut-nakuti Irene.

Irene terdiam. "Menurutku, kau bicarakan hal ini dari hati ke hati dengan Kenneth. Kalian mulai semuanya dari awal, selesaikan kesalahpahaman yang terjadi di antara kalian," ucap Grace.

"Baiklah, aku akan minta maaf padanya," kata Irene.

"Nah, gitu dong," celetuk Leona, mengangkat jempol.

"Thanks," ujat Irene, menatap ketiga sahabatnya.

Ketiganya mengangguk, lalu kembali melanjutkan pembahasan soal misi, dan langkah selajutnya yang akan mereka lakukan.

***

Waktu berlalu, malam tiba lebih cepat dari yang Sheila harapkan.

Di dalam mobilnya, perasaan Sheila campur aduk. Berkali-kali ia menarik napas dalam, untuk mencoba menenangkan diri.

Apa yang ingin ia lakukan setelah ini, akan jauh lebih menguji di banding saat berhadapan dengan musuh.

"Pikiranku bertempur lebih keras daripada saat menghadapi musuh," batin Sheila, tersenyum getir.

Pikiran Sheila berkelana.

Apa Arvelio masih akan menerimanya, setelah ini?

Atau, suaminya akan meminta berpisah darinya?

Apa dia akan sanggup melewati hal itu? Setelah semua kenangan indah yang ia lalui selama sebulan ini bersama Arvelio.

Sheila menatap keluar jendela, saat ini mobilnya berhenti di lampu merah.

Ia menatap gedung-gedung pencakar langit yang memiliki lampu-lampu gemerlap indah, bahkan pemandang itu sama indahnya dengan banyak bintang yang bertebaran di langit.

Namun, semua keindahan itu tak seindah dengan apa yang ia rasakan saat ini.

Lampu hijau menyala, dan Sheila kembali melajukan mobilnya menuju Mansion.

Sesampainya di halaman Mansion, Sheila terkejut saat melihat mobil sport hitam terparkir di sana.

"Itu mobil siapa?" tanya Sheila pada bodyguard yang berjaga.

"Itu milik Tuan, Nyonya," jawab mereka sopan.

Sheila mengernyit. "Dia sudah pulang? Bukannya dia bilang akan terlambat malam ini?"

Dengan langkah berat, Sheila masuk ke mansion. Tak terasa langkah kakinya sampai di depan pintu kamarnya. Ia berhenti sejenak, rasa ragu meliputi dirinya.

Menarik nafas pelan, kemudian Sheila memegang gagang pintu, lalu membukanya. Kamar itu gelap gulita.

"Ar? Bae?" panggil Sheila sambil mencari saklar lampu. "Dia di mana?" gumamnya.

Begitu lampu menyala, Sheila mendapati Arvelio duduk di sofa, menatapnya dengan tajam. Gelas wine di tangannya terlihat penuh.

"Arvelio, kamu sudah pulang?" tanya Sheila gugup, merasa bodoh setelah menyadari pertanyaan itu.

Arvelio berdiri dan mulai berjalan ke arahnya, membuat Sheila refleks melangkah mundur.

"Dari mana?" tanya Arvelio dengan suara rendah, dingin.

"A-aku dari mall," jawab Sheila berbohong.

Arvelio mengangkat alis, mendekat hingga Sheila tersudut di ranjang. "Kamu yakin? Kamu tau, honey. Aku tidak suka kebohongan," desisnya, suara lembut tapi menusuk. "Kamu mau jujur, atau aku cari tahu sendiri?"

"Sial! Kenapa tatapan Arvelio sangat menyeramkan? Rasanya reputasiku sebagai Queen X yang kejam, hilang seketika melihat tatapannya." batin Sheila, ngeri melihat tatapan menusuk Arvelio.

Sheila menghela napas. "Aku dari basecamp," pada akhirnya ia mengaku.

"Untuk apa?" tanya Arvelio, masih dingin.

"Hanya berkumpul dengan anak-anak. Sudah lama kami tidak bersama," jawab Sheila.

"Di sana ada laki-laki?" tatapan Arvelio berubah dingin, sarat cemburu.

Sheila menatapnya tajam. "Ada. Tapi aku tidak akan pernah melakukan hal yang kubenci," tegasnya.

Arvelio menatapnya dalam, menunggu penjelasan. Sheila melanjutkan dengan nada penuh keyakinan. "Aku benci perselingkuhan, dan aku tidak mungkin melakukannya. Itu adalah sesuatu yang kotor dan menjijikkan."

Arvelio masih dengan posisinya. "Kamu harus di hukum," ucapnya, mengusap pipi Sheila.

"Silahkan! Tapi, sebelum itu ada sesuatu yang ingin aku katakan," sahut Sheila, menatap Arvelio serius.

Arvelio menelisik wajah Sheila, ia mengangkat alis sebelah. "Apa?"

Sheila terdiam sejenak, dia menarik nafas panjang. "Aku...." ucapannya terpotong saat mendengar perut Arvelio berbunyi.

Wajah Arvelio memerah mendengar suara perutnya, Sheila mengusap rahang suaminya. "Kamu belum makan?" tanyanya, terdengar khawatir.

Arvelio menggeleng. "Kenapa?" tanya Sheila lagi.

"Tadi, setelah rapat aku langsung pulang karna aku ingin makan malam bersamamu," jawab Arvelio.

Sheila menatap suaminya dengan tatapan bersalah. "Astaga, bodoh! Harusnya, tadi aku langsung pulang saja." batinnya, kesal.

"Maaf," lirih Sheila.

"Gak apa-apa, bukan salah kamu," ujar Arvelio, tersenyum tipis.

Sheila mendorong tubuh Arvelio. "Tunggu sebentar, aku akan memasak untukmu," ia jalan terburu-buru keluar kamar.

"Hati-hati, jangan berlari," Arvelio berteriak, namun Sheila sudah hilang dari pandangannya.

Ia menepuk pelan perutnya. "Ck, kenapa kau harus berbunyi sekarang. Lihat, karna ulahmu istriku jadi khawatir. Huh, kau merusak momen romantis saja." gerutu Arvelio menatap perutnya.

Sepertinya, otak pemuda tampan itu mulai konslet.

***

Di tempat yang berbeda, Claudia tidak bisa tidur. Ia masih kacau meratapi nasibnya, dalam kamar yang biasanya menjadi tempatnya beristirahat kini terasa seperti kurungan yang mengekang amarahnya.

Claudia duduk di lantai kamar, dikelilingi serpihan barang-barang yang ia lempar sebelumnya. Di tangannya, foto Sheila yang kini penuh coretan tinta hitam, bekas goresan pisau kecil yang ia genggam.

“Sheila… Apa hebatnya kau? Apa yang Arvelio lihat darimu?” gumam Claudia penuh kebencian.

Claudia menatap wajah Sheila yang telah ia lukai di foto itu. Namun, rasanya masih tidak cukup. Ia ingin melakukannya langsung menghancurkan gadis itu, tubuh dan kehidupannya.

Claudia bangkit perlahan. Matanya yang sembab karena tangis kini menyala oleh sesuatu yang lebih menyeramkan, yah. Sebuah ambisi balas dendam.

Claudia berjalan menuju meja belajarnya, menarik laci paling bawah, dan mengeluarkan sebuah kotak kecil di sana. Di dalam kotak itu, tersimpan beberapa dokumen tentang Sheila, hasil penyelidikan yang pernah ia perintahkan kepada anggota gengnya.

“Sheilanna Varisha… Hanya anak yatim piatu yang dibesarkan oleh bibinya," lirih Claudia disertai senyum remeh.

"Bagus sekali, hidupmu terlalu sederhana untuk seseorang yang berani merebut Arvelio dariku,” gumam Claudia sambil membaca setiap detail informasi yang ia miliki.

"Cih, bahkan dia hanya desainer rendahan yang bekerja di perusahaan Waverly," Claudia semakin menatap remeh foto Sheila.

Mata Claudia berbinar saat melihat informasi yang menarik perhatiannya lebih dari segalanya: Sheila akan menghadiri pameran perhiasan di salah satu toko perhiasan Waverly akhir pekan ini.

Claudia tersenyum tipis, senyum yang penuh makna. “Sebuah pameran… tempat yang sempurna untuk pertemuan kedua dan terakhir kita.”

Ia menutup kotak itu dengan keras, lalu mengambil ponselnya yang retak. Meskipun layarnya nyaris tidak berfungsi, ia berhasil menghubungi salah satu anggota gengnya.

“Bryan, carikan aku undangan untuk pameran yang diadakan keluarga Waverly,” ucap Claudia tegas, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.

“Pameran? Apa yang kau rencanakan, Claudia?” tanya suara di seberang, terdengar ragu.

Claudia tersenyum kecil, tapi nada suaranya dingin saat menjawab, “Hanya memastikan seberapa hebat Sheila, hingga dia berani merebut Arvelio dariku. Dan aku juga akan.... Selamanya.” matanya menatap lurus ke depan, sorot mata yang penuh kebencian.

"Jangan macam-macam, ingat keluarga Waverly memiliki kekuasaan dibanding keluargamu," ucap Bryan.

"Mereka akan membuatmu jatuh miskin dalam hitungan detik, jika berani cari masalah," peringat Bryan.

Claudia mendengus kesal. "Yakkk! Siapa yang mau cari masalah dengan keluarga Waverly, aku tidak memiliki urusan dengan mereka," ucapnya.

"Sheila adalah bagian dari Waverly. Walau dia hanya desainer mereka, pasti dia mendapat perlindungan dari perusahaan," jawab Bryan.

Claudia terdiam beberapa saat memikirkan ucapan Bryan, namun ia segara menyangkalnya. "Heh, tidak mungkin. Dia hanya desainer rendahan, tidak begitu penting untuk dilindungi seketat itu,"

Bryan menghela nafas. "Bagaimana jika apa yang kukatakan benar? Lagi pula kau pikir Arvelio akan diam saja, jika kau melakukan sesuatu pada Sheila, pikir."

"Justru karna itu aku meminta bantuanmu, untuk urusan Arvelio biar aku yang mengurusnya. Dan kau urus wanita sialan itu," sahut Claudia.

"Aku tidak ingin ikut campur, aku masih sayang nyawa. Dulu, Arvelio berhasil membuat keluargaku bangkrut dalam waktu semalam, kakiku bahkan belum bisa berjalan normal sampai sekarang," ucap Bryan.

"Aku tidak ingin lagi mencari masalah dengannya," sambung Bryan.

Bryan tentu masih ingat saat berusaha menyabotase motor Arvelio saat mereka akan balapan waktu itu. Saat Arvelio mengetahuinya, ia tak segan membalas lebih kejam dari apa yang Bryan lakukan.

"Baiklah, jika kau tidak mau membantu. Aku akan menghubungi om Haris," sahut Claudia, mematikan sambung telfon tanpa menunggu jawaban Bryan.

Bryan menatap ponselnya. "Dia sangat keras kepala, aku harap setelah ini kau baik-baik saja, Claudia."

Tiba-tiba Bryan tersenyum smirk, dia mengetik sesuatu di ponselnya.

Di sudut lain, Sheila sedang sibuk mempersiapkan makanan untuk suaminya. Tangan Sheila bergerak lincah memotong semua bahan makanan yang akan ia masak. Arvelio yang baru saja datang menatap semua gerak-gerik istrinya dengan intens.

Senyuman tipis terbit di bibir Arvelio. "I Love You, honey. Sekali lagi, kamu berhasil membuatku jatuh cinta berkali-kali dengan semua bakat yang kamu miliki," batinnya.

Arvelio berjalan pelan, ia kemudian memeluk Sheila dari belakang. "Bae, lepas. Aku lagi masak, kamu duduk saja dulu. Sebentar lagi, masakannya jadi," tegur Sheila.

Arvelio menggeleng, ia menduselkan kepala di leher istrinya, mencium aroma wangi tubuh Sheila yang selalu membuatnya candu.

"Lepas, atau aku akan marah," ancam Sheila, geram karna tangan Arvelio bergerak liar.

"Ck, kamu pelit," Arvelio melepas pelukannya, dan berjalan ke meja makan, menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil.

Sheila hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah suaminya itu. "Dasar," gumamnya.

Setelah beberapa menit, masakan yang Sheila buat akhirnya jadi. Ia menata semua makanan di meja.

Menatap Arvelio yang sibuk bermain game. "Bae, kamu mau makan apa?" tanya Sheila lembut.

Arvelio hanya melirik, ia masih mode ngambek.

Sheila menghela nafas, lalu mengambil hp Arvelio, karna hal itu Arvelio menatap Sheila dengan tatapan protes.

"Apa? Hah, mau marah?" Sheila menatap galak suaminya. "Marah artinya jatah kamu melayang," senyum mengejek. Arvelio semakin cemberut.

Sheila manarik kursi di sebelah Arvelio. "Buka mulut, aaaa...." mau tak mau lelaki itu membuka mulutnya.

Arvelio menahan sendok, membuat Sheila bingung. "Kenapa? Makanannya tidak enak?" tanyanya.

"Enak, masakan kamu selalu lezat," akhirnya Arvelio bersuara juga.

"Lalu?" tanya Sheila.

"Kamu makan juga, honey. Buat tambah tenaga, ....." Arvelio menaik turunkan alisnya menggoda Sheila.

Sheila yang paham maksud arah pembicaraan itu, seketika merona malu. Ia mencubit paha Arvelio.

Arvelio terkekeh kecil, kemudian ia menyuapi Sheila. Mereka akhirnya makan saling suap.

Sesekali Arvelio menjahili istrinya, membuat Sheila kesal. Kebersamaan mereka penuh dengan canda tawa.

Mereka tak tahu bahwa di tempat lain seseorang yang dipenuhi amarah sedang menyusun rencana untuk menghancurkan hidupnya.

Sementara itu, Arvelio, pria yang menjadi pusat obsesi Claudia, tak pernah menyangka bahwa pengumumannya tentang Sheila akan memicu badai yang tak terduga.

Terpopuler

Comments

전정국😕😐💜

전정국😕😐💜

Lanjut Thor 👍🙂
Semangat 💪🙂✨
Semoga Harimu Selalu Bahagia 🙂✨🙏😇

2024-10-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!