Pengakuan

Semua orang berada di kamar Sheila, setelah Alexa memberitahu yang lain soal Nana.

"Kalian sepertinya tidak menerima keberadaanku?" tanya Nana.

Mereka tersentak mendengar ucapan Nana.

"Hey, apa maksudmu, nak? Kamu juga bagian dari kami, kami menyanyangimu seperti Sheila, kamu dan Sheila itu satu kalian saling terikat," ucap Edrick.

"Benarkah?" tanya Nana, menatap curiga ke arah mereka semua.

"Apa daddy pernah membedakan antara kamu dan Sheila, hm?" tanya Leonard balik.

Nana menggeleng. "Tidak, maaf aku juga tidak tau apa yang terjadi, kenapa Lala menukar posisinya denganku," jelasnya.

"Lala juga tidak meninggalkan catatan apa pun seperti biasanya, kecuali dia mengatakan bahwa malam ini adalah malam pertunanganku dengan cucu sahabat kakek buyut," sambung Nana.

"Hanya itu yang tertulis di note yang dia simpan, dia tidak mengatakan alasan jelas kenapa aku yang menggantikan posisinya bertunangan," tambah Nana, memperlihatkan note yang di tulis oleh Sheila.

Semua orang menghela nafas, lalu Alexa berkata. "Apa Ai tidak ingin bertunangan?"

"Tidak mungkin, mom. Bukannya, tadi dia sendiri yang mengatakan setuju pada perjodohan ini. Kita semua tau dia orang yang teguh pada pendiriannya, jika dia berkata A maka itulah keputusan finalnya," sahut Zein.

Semua orang mengangguk mendengar penjelasan Zein.

"Apa kamu merasakan sesuatu?" tanya Aurora pada Nana.

"Aku merasakan sesak di sini, kak. Rasanya sangat sakit, dan aku rasa ini adalah perasaan Sheila, aku tidak tau kenapa," jawab Nana, menyentuh dadanya.

Semuanya terdiam mendengar peryataan Nana, mereka bingung harus bagaimana?

Sheila adalah anak yang sangat tertutup, mereka bahkan yanh notabenenya keluarga terkadang susah menebak jalan pikiran Sheila.

Mereka baru tau masalah apa yang dihadapi oleh gadis itu, saat Nana yang mengambil alih tubuh Sheila, karna Nana memiliki sifat lebih terbuka, ceria, cerewet, lemah lembut dibanding Sheila.

Sheila memiliki sifat dingin, wajah datar, tatapan mata tajam, dan sulit di tebak, dia sosok yang misterius.

"Jadi, bagaimana sekarang? Apa kita harus batalkan pertunangannya?" tanya Maira, memecah keheningan.

"Tidak bisa, mom. Mereka sudah menyiapkan segalanya, kamu mau kan, bertunangan malam ini dengan Arvelio?" tanya Nathan, menatap Nana.

DEG!

Mendengar nama Arvelio detak jantung Nana berdetak dengan cepat, gadis itu menyentuh dadanya.

Apa Lala memiliki hubungan dengan orang yang bernama Arvelio, itu?

Kenapa jantungnya berdetak cepat seperti ini?

Rasanya juga sangat sesak?

Ada apa sebenarnya?

Nana terdiam memikirkan banyak hal, begitu banyak sesuatu yang mengganggu pikirannya saat ini.

Leonard mengusap pundak Nana. "Princess, mau kan?" tanyanya.

Nana tersentak, dia menatap Leonard tersenyum tipis. "Iya, aku mau, dad. Sheila juga menginginkan pertunangan ini," ucapnya.

Nana menjawab dengan suara tegas namun lembut. Wajahnya tetap tenang, meskipun hatinya masih berkecamuk oleh campuran emosi yang ia rasakan.

Leonard tersenyum lega, sementara Alexa tampak sedikit khawatir. “Baiklah, sayang. Tapi ingat, jika suatu saat kamu merasa tidak nyaman atau ingin mengubah keputusan ini, katakan pada mommy dan daddy, ya?”

Nana hanya mengangguk pelan, mencoba meyakinkan orang tuanya bahwa ia baik-baik saja.

***

Mansion Waverly

Nana berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Gaun putih elegan yang dihiasi dengan kristal halus membalut tubuhnya, memberikan kesan anggun dan mempesona.

Rambutnya ditata dengan rapi, sementara riasan wajahnya dibuat natural, mempertegas kecantikan alaminya.

Namun, di balik penampilan sempurna itu, hatinya tetap gelisah. Nana mengambil napas panjang, mencoba menenangkan diri.

“Apakah aku benar-benar siap untuk ini?” gumam Nana pelan.

Jujur saat ini perasaanya benar-benar berkecamuk.

Apa dia mampu menjalankan perannya seperti Sheila?

Biasanya, Nana terlihat santai jika dia mengambil alih tubuh Sheila, namun kali ini berbeda seolah ada hal besar yang akan dia hadapi nanti.

Namun saat ini berbeda, Nana dipenuhi perasaan gugup, cemas, bingung, dan dadanya selalu merasa sesak. Dan dia yakin bahwa itu adalah perasaan yang Sheila rasakan saat ini.

Dirinya begitu penasaran ingin mengetahui banyak hal.

Sayangnya, Nana tidak bisa memanggil atau berbicara pada Sheila secara langsung.

Ketukan lembut di pintu membuat lamunan Nana buyar, dia menoleh. Irene masuk dengan senyum lebar, diikuti oleh Grace dan Leona.

Mereka terkejut saat melihat Nana. "Kau? Nana?" ucap mereka bersamaan.

Nana mengangguk, ketiganya mendekat lalu saling memeluk satu sama lain untuk melepas rindu.

"Wah, sudah lama kita tidak bertemu," ucap Leona, kemudian mereka melepas pelukannya.

Irene, Grace, dan Leona menatap penampilan Nana.

“Wow, kau terlihat seperti seorang dewi,” puji Irene, matanya berbinar kagum.

Nana tersenyum tipis. “Terima kasih. Tapi, aku rasa aku hanya boneka di sini.”

“Jangan berkata begitu,” sela Leona. “Kau tahu, Arvelio sangat beruntung mendapatkanmu. Jika dia menyakitimu, beri tahu kami, dan kami akan menghajarnya.”

Nana terkekeh kecil. “Kalian memang sahabat terbaikku.”

Grace mendekati Nana dan memegang tangannya. “Apa kau gugup?”

Nana mengangguk. “Sedikit. Tapi, aku akan baik-baik saja. Hanya saja, aku takut jika aku tidak bisa bersikap seperti Sheila nanti," ucapnya.

"Biasanya kau santai, kenapa sekarang kau terlihat khawatir? Ada masalah?" tanya Grace.

Nana menghela nafas. "Aku masih bingung, kenapa Sheila membangunkanku, apa alasannya? Aku juga merasa bahwa Sheila mengalami sesuatu yang menyakitkan karna aku selalu merasakan sesak di sini," jelasnya, menyentuh dadanya.

"Apa Sheila tidak meninggalkan catatan? Bukannya, dia biasa membuat diary yang bisa kau baca saat ia memintamu mengambil alih tubuhnya?" tanya Grace merasa heran.

"Tidak, dia hanya membuat ini," Nana menggeleng, dia memberikan note yang di buat oleh Sheila pada mereka bertiga.

Setelah melihat tulisan di note itu, Irene menatap Nana. "Tenangkan dirimu, semua akan baik-baik saja. Bersikaplah, seperti biasa," ucapnya, mengusap bahu Nana memberikan ketenangan.

Nana mengangguk, dia menarik nafas beberapa kali untuk menetralkan perasaannya. Huh!

Setelah melihat Nana lebih tenang, Leona berkata. "Apa kau siap? Semua sudah menunggu kita di bawah,"

Nana tersenyum tipis. "Iya, aku siap!" jawabnya dengan nada tegas.

“Bagus. Sekarang, ayo kita buat malam ini menjadi istimewa,” ujar Grace dengan senyum lebar.

Mereka kemudian melangkah meninggalkan kamar, menuju ruangan keluarga di mana para keluarga Sheila menunggu.

***

Mansion Alberto

Di taman yang megah, keluarga Waverly dan Alberto telah berkumpul. Hari pertunangan itu semarak, dengan dekorasi penuh bunga mawar putih dan emas yang memancarkan keanggunan.

Suasana terasa formal, tapi ada kehangatan di antara kedua keluarga besar ini.

Para tamu undangan yang hadir di sana juga tak henti-hentinya memuji kecantikan Sheila dan ketampanan Arvelio.

Arvelio berdiri di sisi ayahnya, mengenakan setelan hitam yang membuatnya tampak semakin tampan dan berwibawa. Matanya terus mencari-cari sosok Sheila di antara kerumunan.

Dan ketika Sheila akhirnya muncul, waktu seolah berhenti bagi Arvelio. Gadis itu terlihat begitu mempesona hingga membuatnya kehilangan kata-kata.

"Sheila…" gumam Arvelio pelan, tanpa sadar pria itu mengukir senyum tipis di wajahnya.

Nana melangkah mendekat dengan anggun. Tatapannya bertemu dengan Arvelio, lelaki itu tersentak untuk sesaat, mereka hanya saling menatap tanpa berkata apa-apa.

Kening Arvelio berkerut seperti memikirkan sesuatu, tepukan pelan pada bahunya menyadarkan Arvelio.

"Daddy tau calon menantuku secantik itu, tapi acara akan di mulai. Jadi, tatap-tatapannya nanti saja jika acara selesai," goda Nathan pada sang putra.

Mendengar pujian Nathan, membuat pipi Nana seketika merona malu, dia menunduk meremas sisi gaun yang dia gunakan.

Arvelio memasang wajah datar, ekspresi wajahnya berubah suram, entah apa yang terjadi padanya. Padahal, sebelumnya wajahnya sangat berseri.

Acara pertunangan berlangsung dengan lancar. Cincin berlian yang dipasangkan di jari manis Nana menjadi simbol dari perjanjian antara kedua keluarga besar ini.

Semua orang bersorak dan bertepuk tangan meriah, merayakan momen bahagia tersebut. Mereka begitu menikmati pesta dengan bahagia, ada beberapa yang berdansa, menyanyi, bahkan bermain game.

Namun, di tengah keramaian dan kegemilangan itu, Arvelio merasa ada sesuatu yang berbeda dari Sheila.

Arvelio memilih menyindiri menikmati segelas wine, dia duduk di kursi taman, ia memikirkan banyak hal.

Arvelio menatap cincin yang melingkar di jarinya. "Apa dugaanku benar?" batinnya.

Beberapa saat lalu, Arvelio merasakan kebahagian yang amat besar saat detik-detik pertunangannya dengan Sheila, namun semua itu berubah ketika.

Sheila or rather, Nana, yang muncul dengan gaun berwarna putih, kontras dengan kebiasaannya memilih warna-warna tegas. Langkahnya pelan dan hati-hati, tidak penuh percaya diri seperti biasanya.

Ketika tatapan mereka bertemu, Arvelio langsung menyadari perubahan lain yang lebih mencolok: tidak ada lagi sorot tajam di matanya. Kali ini, tatapannya hangat dan lembut, bahkan mungkin... sedikit ragu-ragu.

"Arvelio," Nana menyapanya dengan senyuman kecil yang hampir tidak terlihat. "Maaf aku terlambat."

Arvelio memiringkan kepalanya, mencoba membaca ekspresinya. "Sheila, kau terlihat... berbeda." datar.

Arvelio mencoba mencari tau jawaban akan kecurigaannya.

Nana menundukkan kepala sedikit, dirinya tampak canggung. "Aku hanya merasa hari ini begitu penting, aku ingin segalanya sempurna."

Sikapnya membuat Arvelio semakin bingung. Biasanya, Sheila tidak peduli dengan kesan orang lain. Dia adalah wanita yang selalu tahu apa yang dia inginkan dan tidak pernah ragu mengatakannya. Tapi sekarang ... dia terlihat seperti orang lain.

Saat mereka berdiri di depan para tamu untuk acara formal pertunangan, Nana menggenggam tangan Arvelio erat-erat, seolah mencari perlindungan. "Terima kasih telah ada di sini bersamaku," bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.

Arvelio menatapnya. Itu adalah sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan keluar dari mulut Sheila.

Yah, Sheila tidak akan melakukan hal ini. Arvelio menatap tangan Sheila yang menggenggamnya, perasaan itu tidak muncul.

Jika biasanya dadanya akan bergemuruh hebat ketika melakukan kontak fisik dengan Sheila, tapi sekarang tidak.

Ada apa?

Kemana perasaan berdebar yang selalu muncul ketika bersama dengan gadisnya itu?

Apa perasaanya berubah?

Tidak! Bahkan, dia masih merasakan debaran luar biasa sebelum acara di mulai ketika melihat foto sang pujaan hatinya.

Itu semua berubah saat kedatangan Sheila, ah lebih tepatnya Nana.

Arvelio terdiam tanpa respon sama sekali, sikapnya kembali berubah kutub utara. Bahkan, dia melepas pelan genggaman tangan Nana.

Perasaan tak nyaman meliputinya saat ini.

Pidato pertunangan dimulai, dan ketika giliran Nana berbicara, dia melakukannya dengan suara lembut, hampir berbisik. "Aku berterima kasih kepada semua yang hadir malam ini. Pertunangan ini adalah langkah besar dalam hidupku, dan aku hanya berharap ... bahwa ini adalah keputusan yang tepat."

Kalimat terakhirnya membuat beberapa tamu saling memandang. Arvelio semakin merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Biasanya, Sheila akan berbicara dengan tegas dan penuh keyakinan.

Saat acara berlanjut, Arvelio mencoba menggali lebih dalam. "Sheila," bisiknya di sela tarian. "Kau terlihat seperti orang lain malam ini. Apa kau baik-baik saja?"

Nana tersenyum lembut, senyuman yang tampak rapuh. "Aku hanya... ingin mencoba hal baru, Arvelio. Aku ingin menjadi seseorang yang lebih baik untukmu."

Arvelio terdiam. Dia tidak yakin apakah dia harus merasa tersentuh atau justru khawatir. Di balik kelembutannya, ada sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya: siapa sebenarnya wanita yang berdiri di hadapannya malam ini?

Setelah terdiam beberapa saat, Arvelio meneguk habis minumannya, lalu berjalan ke arah kerumunan untuk mencari tunangannya.

Dia harus memastikan sesuatu, agar semua kebingungan yang dirinya hadapi dapat teratasi.

Arvelio melihat Sheila_Nana, sedang asik bercerita dengan sahabat, dan kakak iparnya. Hal itu, membuat Arvelio mengurungkan niat untuk memanggil Sheila.

Kenneth menepuk pelan bahu Arvelio. "Dia tidak akan lari, kau tenang saja. Tidak perlu menatapnya seperti itu," godanya.

Arvelio mendengus kesal, lalu berjalan ke arah meja untuk mengambil minuman, dari kejauhan dia terus mengawasi pergerakan Sheila. Dia semakin yakin bahwa apa yang ia pikirkan itu benar adanya.

Arvelio melihat jam. "Ck, kapan acaranya selesai."

"Kau mau apa, sampai menginginkan acaranya cepat selesai," ejek Alzian. "Oh astaga, jangan bilang kau mau...." tambahnya menaik turunkan alisnya menggoda Arvelio.

Para anggota geng Arvelio yang ada di sana turut ikut menggoda sang Ketua mereka.

Arvelio tidak peduli, dia hanya fokus minum, dengan pikiran yang melayang.

***

Acara pertunangan itu akhirnya selesai. Para tamu perlahan meninggalkan tempat, menyisakan Sheila atau lebih tepatnya Nana, di tengah gemerlap lampu yang mulai diredupkan.

Nana berdiri dengan anggun, senyumnya tetap terpasang, meski dalam hati ia merasa lelah. Berpura-pura menjadi Sheila sepanjang malam bukanlah hal yang mudah.

Namun, sebelum Nana sempat menarik napas lega, sebuah tangan besar menggenggam pergelangan tangannya dengan lembut namun tegas. Arvelio.

"Bisa kita bicara sebentar?" bisik Arvelio, nada suaranya datar, tak ada kehangatan seperti biasanya.

Nana menoleh, mendapati tatapan tajam Arvelio yang membuatnya tertegun. Tidak ada kehangatan, tidak ada senyuman khas yang biasanya ia berikan pada Sheila. Nana merasakan sesuatu yang tidak biasa.

Leonard mengatakan pada Nana, biasanya, Arvelio adalah pria yang ramah, meski sedikit dingin. Tapi malam ini, tatapannya begitu intens, seolah dia melihat langsung ke inti dirinya, yang membuat Nana merasa terpojok.

"Eh, tentu..." jawab Nana ragu.

Arvelio membawanya ke sudut belakang ruangan, jauh dari keramaian. Ruang itu gelap dan sepi, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu gantung kecil. Dia segera melepaskan tangannya dan menatap Nana dengan pandangan yang tajam namun penuh kendali.

"Kenapa kamu yang ada di sini? Kenapa bukan Ai?" tanya Arvelio langsung, tanpa basa-basi.

Jantung Nana berdegup kencang. Pertanyaan itu langsung menusuk ke intinya. Ia mencoba mengatur napas, mencoba tetap tenang, meskipun seluruh tubuhnya terasa dingin.

Nana membeku. "A-ap ma-maksudmu? Aku adalah Aileen Sheilanna," jawabnya gugup.

"Kamu bukan Sheila," sarkas Arvelio tajam.

Sekejap, dunia Nana terasa berhenti. Kata-kata itu menghantamnya seperti petir di siang bolong.

"M-maaf, aku tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan? Jelas-jelas aku ini Sheila," jawab Nana mencoba tersenyum, meskipun suaranya terdengar semakin gugup.

Terkekeh sinis. "Kau tidak perlu berpura-pura," kata Arvelio dingin. Ia melangkah lebih dekat, tatapannya menyapu wajah Nana, dari mata hingga ke ekspresi tegang yang berusaha Nana sembunyikan. "Aku tau, jika kau hanya alter ego Sheila."

Tubuh Nana menegang. Ia tidak pernah menyangka akan mendengar kata-kata itu, apalagi dari Arvelio. Selama ini, selain orang-orang terdekatnya tidak ada yang bisa membedakan dirinya dengan Sheila.

Hanyalah keluarganya dan ketiga sahabatnya. Tapi, Arvelio? Bagaimana bisa?

"Kau mengada-ada saja, apa kau mabuk? Sehingga mengucapkan lelucon semacam ini. Bagaimana aku bisa memiliki alter ego." kata Nana sambil tersenyum gugup, mencoba menjaga ketenangan. Dia berusaha agar tidak ketahuan.

Namun, Arvelio tidak bergeming. Dia menunduk sedikit, matanya menatap langsung ke dalam mata Nana, mata hazel yang sangat berbeda dari mata heterochromia milik Sheila.

"Berhenti berbohong," ucap Arvelio pelan, namun nadanya memerintah. "Mata hazelmu sudah cukup jadi jawabannya."

Sepeti anak panah yang tepat mengenai sasarannya, ucapan Arvelio mampu membuat Nana terdiam tak tahu harus mengatakan apa. Jantungnya berdegup kencang.

Tapi, masih ada satu pertanyaan besar yang begitu membingungkan bagi Nana.

Bagaimana Arvelio bisa tahu?

Matanya adalah ciri khasnya, sesuatu yang hanya bisa dikenali oleh orang-orang yang sangat memperhatikan hal tersebut.

Nana seperti diambang jurang, ia tak bisa mengelak lebih jauh lagi. Akhirnya...

"Bagaimana kau tahu?" bisik Nana, suaranya hampir tidak terdengar.

Arvelio menatapnya dalam diam, seolah sedang menimbang-nimbang apakah ia harus menjawab. Akhirnya, ia menghela napas panjang.

"Aku punya kemampuan," kata Arvelio. "Psikometri. Aku bisa merasakan sesuatu, kenangan, emosi, dan energi dari sesuatu yang aku sentuh. Saat aku menyentuh tanganmu tadi, aku tahu kau bukan Sheila. Energi kalian berbeda."

Nana merasa seolah-olah dunia berhenti berputar. Psikometri. Jadi itulah rahasia Arvelio, sesuatu yang tidak pernah ia ungkapkan pada siapa pun.

Psikometri. Nana tentu pernah mendengar tentang orang-orang yang bisa merasakan kenangan atau emosi melalui sentuhan.

Tapi, Nana tidak pernah membayangkan bahwa Arvelio tunangannya, atau lebih tepatnya tunangan Sheila memiliki kemampuan itu.

"Kenapa kau tidak pernah bilang soal itu?" tanya Nana, suaranya bergetar antara marah dan bingung.

"Karena itu bukan sesuatu yang perlu diketahui oleh semua orang," jawab Arvelio datar. "Tapi sekarang aku ingin tahu: kenapa kamu yang mengambil alih tubuh Sheila malam ini?"

Nana menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang bergejolak. Ia tahu, ia tidak bisa terus berbohong. Arvelio sudah tahu terlalu banyak.

Nana memberanikan diri menatap Arvelio, mencoba membaca ekspresinya. Tapi, wajah Arvelio tetap dingin, tidak menunjukkan emosi apa pun.

"Aku... tidak ingin dia terluka," jawab Nana akhirnya. "Sheila tidak siap untuk ini. Dia mungkin terlihat kuat, tapi dia rapuh di dalam. Aku hanya ingin melindunginya."

Arvelio mendengarkan tanpa memotong. Meski wajahnya tetap datar, di matanya ada kilatan sesuatu, entah itu sebuah empati atau hanya rasa ingin tahu.

"Jadi kau melindunginya," gumam Arvelio.

Nana mengangguk. "Itulah tugasku. Aku ada untuk menjaga Sheila..."

"Dan kau berpikir aku tidak cukup kuat untuk melakukannya?" Arvelio tiba-tiba memotong, suaranya dingin.

Nana tersentak. "Bukan begitu... Aku hanya—"

"Kau takut aku akan meninggalkannya kalau aku tahu tentangmu," potong Arvelio lagi.

Kata-kata itu membuat Nana terdiam. Mungkin, itu memang benar. Selama ini, ia selalu merasa bahwa keberadaannya hanya akan membuat Sheila terlihat aneh di mata orang lain.

Tapi, Arvelio berbeda. Dia tidak hanya tahu, dia akan menerima semua kekurangan Sheila.

Melihat keterdiaman Nana. "Aku mau membatalkan pertunangannya," ucap Arvelio datar, dingin.

Nana menatap Arvelio dengan tatapan tak percaya. "Jangan, aku mohon! Kau jangan salah faham, Sheila juga mengingkan pertunangan ini hanya saja dia butuh waktu untuk menerima semuanya," jelasnya.

"Jadi, aku harap kau tunggu beberapa saat sampai Sheila siap menerima semuanya, kau pasti akan mencintai Sheila, dia adalah gadis yang sempurna," ujar Nana, meyakinkan Arvelio.

Nana tidak mengetahui bahwa Arvelio sangat mengenal Sheila.

"Aku tidak suka kebohongan," sahut Arvelio dengan dingin.

"Aku... aku tidak membohongimu," bisik Nana, suaranya bergetar. Ia memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.

"Heh, tidak berbohong. Lalu apa ini? Kenapa kau harus berpura-pura jadi orang lain?" tanya Arvelio.

Nana tersentak. "Aku tidak berpura-pura! Aku..."

"Lalu kenapa kau berbohong di depan semua orang? Kau bahkan mencoba bersikap seperti dia. Apa kau takut aku tidak akan menerimamu?" pertanyaan Arvelio begitu tajam.

"Aku hanya ingin malam ini berjalan lancar," bisik Nana akhirnya. "Aku tidak ingin Sheila terluka."

Arvelio menghela napas panjang. Tatapannya melunak sedikit, meski ia masih terlihat tegas.

"Kalau kau benar-benar ingin melindunginya, kau harus percaya padaku," kata Arvelio.

"Aku tidak peduli siapa yang ada di tubuh ini, Sheila atau Nana. Aku tidak akan menerima kebohongan. Kalau kita akan bersama, semuanya harus jujur." jelas Arvelio, menatap tajam Nana.

Kata-kata itu membuat Nana tertegun. Ada kejujuran dalam suara Arvelio, sesuatu yang membuatnya merasa lega sekaligus takut.

"Baiklah," kata Nana akhirnya. "Kalau begitu, kau harus tahu semuanya."

"Katakan!" titah Arvelio.

Dan malam itu, di lorong yang sepi, Nana mulai menceritakan rahasia yang selama ini ia simpan rapat-rapat.

Arvelio cukup tertegun mendengar semua cerita Nana.

"Apa kau memiliki hubungan dengan Sheila? Kenapa setiap di dekatmu, dada ini rasanya selalu sesak? Apa kau pernah mengatakan sesuatu yang membuatnya sakit hati?" tanya Nana beruntun.

Arvelio mematung mendengar pertanyaan yang dilontarkan Nana.

Ingatannya kembali berputar saat dia mengatakan pada Sheila bahwa dia menerima perjodohan itu.

Saat itu Arvelio bisa melihat perubahan mimik wajah Sheila yang seketika muram.

Bodoh! Harusnya, dia tidak melakukan hal ini.

Lihatlah sekarang, akibat perbuatannya membuat Sheila pergi, entah kapan gadis itu akan kembali mengambil alih tubuh aslinya.

Arvelio menghela nafas kasar, dia mengusap wajah secara kasar.

Seperti peribahasa "Nasi sudah menjadi bubur" berarti suatu keadaan atau peristiwa yang telah terjadi dan tidak dapat diubah kembali seperti semula.

Artinya, penyesalan tidak akan mengubah keadaan, sehingga yang terbaik adalah menerima kenyataan dan mencari cara untuk memperbaiki atau memanfaatkan situasi tersebut.

Arvelio merutuki dirinya sendiri, sekarang rasa penyesalan memenuhi dadanya.

Menatap Nana. "Apa kau tau cara membuat Sheila kembali?" tanya Arvelio.

Nana menggeleng. "Kalian saling mengenal?" tanyanya.

"Hm, mungkin aku penyebab, dia membuatmu mengambil alih tubuhnya," jawab Arvelio, nada lemah.

Nana tersentak samar mendengar hal itu. "Maaf, tapi kalau boleh tau kau dan Sheila, pacaran?" tanyanya.

"Bisa dikatakan seperti itu," jawab Arvelio, Nana menganggukkan kepala mengerti.

Terpopuler

Comments

전정국😕😐💜

전정국😕😐💜

Lanjut Thor 👍🙂
Semangat 💪🙂✨

2024-09-26

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!