"Hati-hati dengan ucapanmu, Santiago," tegur Damien serius.
Santiago tersenyum kalem. "Aku paham, Tuan," ucapnya. "Perkiraanku ini memang terlalu jauh. Apalagi, jika kita mengingat kembali pada kasus pembantaian 15 tahun lalu," ujarnya.
"Aku baru membahas itu dengan Enzo Marchetti kemarin. Ayahnya mengetahui bahwa Fausto Allegra dan seluruh keluarganya, tewas dalam pembantaian tersebut. Jadi, kurasa kecil kemungkinan jika gadis itu adalah putri dari sang legenda pembuat senjata," bantah Damien ragu.
Santiago manggut-manggut. "Pendapat Anda tidak salah, Tuan. Akan tetapi, siapa yang mengetahui pasti kejadian sebenarnya pada malam berdarah itu? Tidak ada, selain para pelaku. Lagi pula, berita yang beredar bisa saja dimanipulasi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu."
Damien terdiam dan berpikir beberapa saat. "Lalu, bagaimana menurutmu sekarang? Apa yang harus kulakukan pada gadis itu?"
"Sebaiknya, Anda coba interogasi dia dengan benar. Jika perkiraanku tidak keliru, ini akan sangat menguntungkan. Gadis itu mungkin mengetahui buku yang selama ini jadi incaran banyak orang, terutama organisasi dunia hitam."
"Jadi, buku itu memang ada," gumam Damien.
"Banyak orang membicarakannya. Buku berisi panduan lengkap dan catatan-catatan penting milik Fausto Allegra."
"Bagaimana orang-orang bisa mengetahui isi buku itu?" gumam Damien heran, seraya menaikkan sebelah alis.
"Seingatku, ada seorang pria bernama Alessio Zegarelli. Dia pernah bekerja pada Fausto Allegra. Namun, pria itu tiba-tiba menghilang. Banyak yang menduga dialah pencuri buku milik Fausto," terang Santiago.
"Alessio Zegarelli," gumam Damien, lalu mengembuskan napas berat. Dia beranjak dari dekat meja kerja. "Kenapa aku harus berusaha mendapatkan buku itu?"
"Tentu saja karena akan sangat menguntungkan Anda, Tuan. Dengan pekerjaan yang berkecimpung dalam dunia senjata, buku itu pasti bisa memberikan sentuhan baru pada hasil pekerjaan Anda," jawab Santiago meyakinkan.
"Bayangkan saja, Tuan. Akan seperti apa jadinya, bila senjata hasil buatan Damien De Santis yang dinilai unik dan luar biasa, dipadukan dengan ilmu milik Fausto Allegra." Santiago tersenyum penuh arti.
Sama halnya dengan Damien. Raut datar dan dingin pria itu berangsur berubah Begitu juga dengan tatapannya yang menyiratkan sesuatu.
Damien menoleh pada Santiago. "Baiklah. Akan kucoba," ucapnya, seraya berlalu keluar dari bengkel.
Pria tampan dengan tinggi 187 cm tersebut, melangkah gagah kembali ke ruangan tempat Crystal dikurung. Lagi-lagi, dia mendapati gadis itu tengah duduk bersila, sambil menghadapi keempat anjing yang diikat rantai.
Suara pintu yang terbuka serta derap sepatu dari langkah tegap Damien, terdengar jelas di ruangan itu. Namun, Crystal tak menoleh. Dia tetap menatap ke depan, pada keempat anjing yang tengah duduk tenang di tempatnya masing-masing.
"Apa kau menemukan sesuatu yang menarik, saat berkomunikasi dengan anjing-anjing itu?" tanya Damien, yang sudah berdiri di belakang Crystal.
"Mereka jauh lebih menyenangkan dibanding tuannya," jawab Crystal tenang.
"Kau pikir, aku akan tersenyum bahagia karena dikirimi pakaian dalam basah berbau pesing?"
Sontak, Crystal tertawa renyah. Namun, dia tak menoleh sedikit pun.
"Kau tak akan menganggap itu lucu lagi, setelah aku ___"
"Bunuh saja aku," sela Crystal. "Lagi pula, aku tak akan berguna bagimu. Aku tidak pandai memasak, tidak bisa membersihkan rumah, juga tak piawai dalam urusan ranjang." Gadis itu tersenyum sinis.
"Jangan khawatir. Kau dibawa kemari bukan untuk semua itu," balas Damien dingin, seraya menurunkan tubuh di dekat Crystal. Tepat saat pria tampan tersebut mengulurkan tangan hendak mencengkram pipi si gadis, keempat anjing yang tadinya duduk tenang langsung berdiri.
"Ow!" Damien menatap takjub. "Teman sejati," ujarnya sinis, lalu berdiri.
"Bangun!" suruh Damien cukup tegas.
Crystal tak segera menurut. Dia hanya menoleh, dengan sorot aneh.
"Aku tak suka memberi perintah lebih dari satu kali."
"Itu hanya berlaku untuk anak buahmu yang ____"
Crystal tak sempat melanjutkan kalimatnya karena Damien lebih dulu meraih lengan, lalu menarik agar berdiri.
Gadis cantik bermata biru itu meringis, bahkan hampir menangis menahan sakit karena Damien mencekal lengannya yang terluka.
"Lepaskan. Kau menyakitiku, Damien," rintih Crystal.
"Aku bisa memberimu rasa sakit lebih dari ini, andai kau tidak bersedia bekerja sama," ucap Damien penuh penekanan.
"Apa yang kau inginkan sebenarnya?" Sepasang mata biru Crystal mulai berkaca-kaca.
Namun, itu tak membuat Damien terenyuh, meskipun dia mulai mengendurkan cengkraman.
"Awalnya, aku memang tak tahu kenapa membawamu kemari. Namun, sekarang aku merasa tak sia-sia karena kau bisa sangat berguna."
"Jangan berharap banyak padaku, Tuan De Santis," cibir Crystal sinis. "Kupastikan kau tak akan mendapat apa pun yang dirimu inginkan."
"Simpan energimu untuk nanti," balas Damien, seraya menarik Crystal ke pintu. Bersamaan dengan itu, keempat anjing tadi menggonggong sambil berusaha mengejar.
"Aku bisa berjalan tanpa harus kau pegangi," protes Crystal, sambil berusaha mengimbangi langkah cepat Damien.
"Aku tidak bertanya," balas Damien dingin. Dia setengah menyeret Crystal menuju ruangan kosong. Di sana, hanya ada dua kursi kayu yang saling berhadapan.
"Duduk," suruh Damien agak kasar.
"Tidak bisakah kau bersikap lebih lembut pada wanita?" protes Crystal tak suka.
Namun, Damien tak peduli. Dia meraih sandaran kursi, menggeser jadi makin dekat ke hadapan Crystal. Pria itu duduk penuh wibawa, dengan tatapan mengintimidasi.
"Katakan, Nona. Siapa nama ayahmu?" tanya Damien cukup tegas dan tanpa basa-basi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments