Malam kian larut. Suasana sunyi menyelimuti Palazzo De Santis. Ketika semua sudah terlelap, Damien justru masih terjaga dengan ditemani sekaleng soft drink. Damien memikirkan perbincangannya dengan Santiago, yang terus mendesak agar dirinya bersedia melindungi Crystal.
"Apa yang kau inginkan, Santiago? Apakah kau mengetahui banyak hal?" gumam Damien, dengan tatapan menerawang menembus langit malam.
Sekian lama, Damien menarik diri dari organisasi dan lebih memilih fokus pada apa yang disukai, yaitu senjata. Dia tak ingin dipusingkan oleh urusan berbau intrik-intrik politik.
Keputusan Damien diperkuat, setalah kepergian sang ibunda yang tewas terbunuh. Hingga saat ini, pelaku dari kejadian tersebut masih berkeliaran bebas. Tak ada titik terang, sebab semua seperti dilakukan dengan sangat rapi dan teroganisir baik.
Setelah menghabiskan sekaleng soft drink, Damien memutuskan masuk. Dalam keremangan, dia melangkah gagah menuju dapur.
Akan tetapi, langkah tegap Damien terhenti sebelum tiba di dapur, ketika pria itu melihat siluet bayangan melintas di koridor menuju halaman belakang. Damien memicingkan mata, kemudian melangkah hati-hati mendekati koridor itu. Dengan penuh waspada, dia menajamkan insting berhubung di sana minim penerangan. Sebisa mungkin, pria dengan celana tidur dan T-shirt round neck hitam tersebut tak menimbulkan suara saat berjalan.
Dari jarak beberapa meter, sayup-sayup Damien mendengar percakapan seseorang melalui sambungan telepon. Suara wanita yang sangat dirinya kenal, dan tak lain adalah milik Eleanor.
"Aku sudah melakukan semua yang Anda perintahkan\, Tuan. Bukan salahku jika anak buah Anda gagal dalam mengeksekusi. Lagi pula\, Tuan Damien tidak ___"
Eleanor tersentak mendengar jawaban dari lawan bicaranya. Wanita paruh baya itu terisak pelan. "Tolong jangan sakiti dia. Kumohon," pintanya.
Eleanor terdiam, mendengarkan apa yang lawan bicaranya katakan. Dia berusaha mengendalikan tangis.
"Baiklah," ucap wanita paruh baya itu, beberapa saat kemudian. Dia menutup sambungan telepon, lalu berbalik.
Namun, betapa terkejut wanita paruh baya tersebut, saat mendapati Damien yang sudah berdiri gagah tak jauh dari tempatnya berada. Eleanor tampak begitu gugup. Dia langsung mundur, saat Damien berjalan mendekat.
"Siapa yang memberimu perintah?" tanya Damien dingin, tapi penuh wibawa. Sorot matanya tajam, terlihat sangat menakutkan bagi wanita seperti Eleanor.
"Jangan membuatku bertanya hingga dua kali, Eleanor. Cepat katakan!" desak Damien penuh penekanan.
"A-aku ...." Eleanor begitu gugup. Dia tak menyangka Damien akan memergokinya.
Damien tak mengatakan apa pun. Namun, sorot tajam serta ekspresi wajahnya, sudah mewakili kemarahan yang tersirat jelas. Sesuatu yang bisa langsung menjatuhkan mental, bagi orang-orang bernyali kecil.
"Tuan, aku ...." Raut wajah Eleanor tampak ragu.
"Aku tidak yakin kau berani melakukannya, Eleanor," ucap Damien, dengan sorot tajam serta nada bicara penuh intimidasi.
Eleanor menggeleng kencang. "Aku memang tidak berani, Tuan. Akan tetapi, tekanan itu datang begitu besar," ucapnya penuh sesal.
"Dari siapa?"
"Saviero Mazza." Satu nama meluncur dari bibir Eleanor, yang membuat Damien langsung mengepalkan tangan karena menahan amarah.
"Anak buahnya menculik dan menyekap putriku, Tuan. Aku harus melakukan semua yang diperintahkan. Bila tidak, mereka akan menghabisinya,"
Damien menatap tajam wanita paruh baya di hadapannya. Dia tak bisa menelan mentah-mentah, apa yang Eleanor katakan. Dalam situasi seperti sekarang, Damien sulit mempercayai siapa pun selain diri sendiri.
“Apa jaminan bahwa yang kau katakan tadi bukan sekadar mengelabuiku?”
Eleanor tak langsung menjawab. Dia menatap ragu Damien.
“Apa yang kau lakukan, hampir membuatku terbunuh di jalanan. Kau pikir itu bukan sesuatu yang fatal?”
“Ampuni aku, Tuan.” Eleanor langsung menurunkan tubuh, bersimpuh di hadapan Damien agar pria itu bersedia memberikan pengampunan. “Aku terpaksa melakukannya. Aku tidak memiliki pilihan lain.”
“Omong kosong!” Nada bicara Damien dingin dan penuh penekanan. “Berikan aku bukti bahwa putrimu sedang terancam. Jika tidak, kau akan tahu akibatnya. Aku tak akan peduli, meskipun kau wanita tua tidak berdaya yang sedang putus asa.”
Eleanor terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu. Tak berselang lama, dia mengangkat wajah sembari memberikan telepon genggam pada Damien. “Silakan periksa sendiri, Tuan,” ucapnya lesu.
Damien menerima telepon genggam yang Eleanor berikan. Dia membuka aplikasi pesan, sesuai dengan yang wanita itu suruh. Di sana, Damien menemukan rekaman video seorang gadis seusia Crystal, dalam kondisi terbilang memprihatinkan.
“Namanya Gia, Tuan. Mereka membawa gadis itu beberapa bulan yang lalu,” terang Eleanor.
“Kau sudah bekerja padaku cukup lama. Kenapa baru sekarang mereka melakukan ini?” Nada bicara Damien terdengar ragu.
“Anda baru bekerja sama dengan Tuan Patrizio Mazza dalam beberapa waktu terakhir. Sejak saat itulah Tuan Saviero mulai mengawasi segala gerak-gerik Anda,” terang Eleanor.
“Dan kau mengetahui semua itu?”
“Aku benar-benar minta maaf, Tuan.” Eleanor kembali menundukkan wajah. “Tolong selamatkan putriku. Aku akan sangat berterima kasih, bila Anda bersedia melakukannya.”
Damien memicingkan mata, kemudian berbalik. “Maaf, Eleanor. Aku harus menempatkanmu di kandang anjing,” ucap pria itu dingin, seraya melangkah gagah menuju tempat yang disebutkan tadi.
Eleanor tak membantah. Dia mengikuti sambil tertunduk. Namun, sebelum sampai di kandang anjing, Eleanor tiba-tiba mengeluarkan pisau lipat dari saku baju, kemudian menghujamkannya ke arah Damien.
Namun, Eleanor terlalu gegabah. Dia tak memperhitungkan apa yang akan Damien lakukan. Pria itu berbalik, menangkis, lalu mengarahkan pisau jadi mengarah padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Ruk Mini
wihhhh nyali kau besar buuu
2024-12-16
0