Damien segera menghampiri Santiago. Dia menurunkan tubuh, lalu melihat ke bawah kendaraan. Tanpa diberitahu, pria tampan bermata abu-abu tersebut langsung paham. “Apa kau bisa melepasnya?”
“Ini sangat mudah, Tuan,” sahut Santiago enteng.
“Baiklah.” Damien menegakkan tubuh, lalu menunggu beberapa saat hingga Santiago muncul dari bawah kendaraan.
“Ini, Tuan." Santiago menyodorkan benda, yang tak lain adalah mini tracker.
“Kurang ajar!” geram Damien, seraya menggenggam erat alat pelacak yang ditemukan di mobilnya.
“Selain hari ini, kapan terakhir kali Anda membawa mobil keluar dari Palazzo De Santis?"
“Saat mendatangi tempat Patrizio Mazza dan markas Cerberus. Aku belum ke mana-mana lagi.”
Santiago terdiam sejenak. Pria paruh baya itu mengembuskan napas berat. “Aku tidak yakin, bila pelakunya adalah salah satu dari penghuni Palazzo De Santis. Lagi pula, tidak sembarang orang bisa masuk kemari,” pikirnya.
Damien menggeleng ragu. “Penghuni Palazzo De Santis bisa dihitung dengan jari. Aku mempercayai Adolfo sebagai penjaga pintu gerbang. Dia sudah mengabdi sejak lama. Begitu juga dengan pekerja lain, termasuk Eleanor.”
“Markas Cerberus juga merupakan area steril dari orang luar. Bagaimana bila Anda meminta rekaman kamera pengawas pada Tuan Nikola? Siapa tahu, kita bisa menemukan jawaban,” saran Santiago.
Damien mengembuskan napas berat. Sebenarnya, dia malas mengurusi hal-hal seperti itu. Niat Damien menenangkan diri di Palazzo De Santis, sepertinya akan terusik. “Sialan! Aku tidak suka ini!” gerutunya pelan, tapi penuh penekanan.
“Tenanglah, Tuan. Kita pasti akan menemukan pelakunya. Mari lakukan dengan hati-hati.”
Damien menoleh, menatap Santiago sesaat. Pria tampan itu mengangguk samar, kemudian masuk ke kendaraan.
“Anda akan pergi sekarang?” tanya Santiago keheranan, saat melihat Damien sudah duduk di belakang kemudi.
“Lebih cepat cepat baik, Santiago. Aku ingin segera mencincang habis, tubuh bajingan yang sudah berani bermain-bermain denganku,” geram Damien.
“Tapi, Anda baru pulang, Tuan.”
Damien yang sudah menyalakan mesin mobil, kembali menoleh pada Santiago. “Memangnya kenapa?”
“Aku hanya takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Jangan melakukan apa pun dalam kondisi pikiran tak tenang. Itu hanya akan membuat segala hal jadi makin kacau.”
“Aku tidak akan bisa tidur nyenyak.” Damien menatap aneh Santiago.
“Aku bisa memahaminya, Tuan. Akan tetapi ….”
“Jaga gadis itu. Jangan sampai dia berulah macam-macam,” sela Damien.
“Di mana dia?”
“Dia menyukai kandang anjingku.” Damien tersenyum samar, sebelum mengenakan kacamata hitam yang diambil dari laci dashboard. Tanpa banyak bicara lagi, pria itu segera menginjak pedal gas. Jeep Wrangler hitam yang dikendarainya melaju gagah, meninggalkan halaman Palazzo De Santis.
Santiago terpaku menatap kepergian Damien, hingga mobil jeep itu tak terlihat. Dia berbalik, hendak masuk ke rumah. Namun, pria paruh baya tersebut tertegun karena ada panggilan masuk, dari kontak bernama Emanuele.
Santiago mengembuskan napas pelan, sebelum menjawab panggilan tadi. Dia langsung menyapa si penelepon.
“Aku sudah berusaha membujuknya, Tuan. Akan tetapi, Tuan Damien tidak bersedia menerima. Kami bahkan belum sempat membahas masalah organisasi secara serius karena ada satu dan dua hal di sini,” jelas Santiago sopan.
“Astaga. Kenapa dia?” tanya Emiliano. Dari nada bicaranya, terdengar kegusaran yang tak bisa disembunyikan.
Santiago tersenyum kecil. “Aku akan membahas masalah ini nanti, jika dia sudah kembali.”
“Kau harus bisa meyakinkannya. Bawa Damien ke hadapanku, bagaimanapun caranya,” sahut Emanuele penuh penekanan.
“Akan kuusahakan, Tuan.”
Setelah itu, perbincangan selesai. Santiago melanjutkan langkah ke dalam rumah. Dia langsung menuju kandang anjing, tempat Crystal berada.
“Nona,” sapa Santiago, setelah membuka pintu. Dia berjalan masuk dan langsung menghampiri Crystal, yang tengah duduk sambil menghadap pada keempat anjing peliharaan Damien.
Santiago berdiri di sebelah Crystal. Dia ikut memperhatikan anjing-anjing yang baru diberi makan. “Dari mana makanan itu?” tanyanya.
“Aku mengambil diam-diam dari dapur,” jawab Crystal tenang. “Jangan katakan apa pun pada Damien. Pria itu selalu marah, saat menghadapi segala hal."
Santiago tersenyum kecil. “Kau belum mengenalnya. Ah, tidak. Tuan Damien memang seperti itu … maksudku … dia berwatak tegas.”
“Dia sangat arogan dan menyebalkan,” ujar Crystal menanggapi. “Aku membencinya, meskipun tadi terlihat luar biasa.” Crystal tersenyum kecil.
“Apa yang terjadi?” tanya Santiago, seraya mengalihkan perhatian pada gadis cantik itu.
“Bukankah dia langsung menghubungimu?” Crystal menatap tak mengerti.
“Ya. Akan tetapi, kami belum membahasnya dengan detail. Kupikir, kau bisa sedikit bercerita tentang keseruan tadi.”
Crystal tertawa renyah.
“Apanya yang lucu?” Santiago menatap keheranan.
Crystal menggeleng, lalu menghentikan tawanya.
“Apakah aku harus meminta perlindungan pada Damien De Santis?”
“Tuan Damien jauh lebih baik, jika dibandingkan dengan Patrizio Mazza. Kau akan lebih aman bersamanya, Nona.”
Crystal mengembuskan napas pelan bernada keluhan, lalu tertunduk lesu. “Sampai kapan akan seperti ini? Aku sudah lelah dan ingin segera mengakhirinya. Mereka tahu aku masih hidup. Padahal, sudah belasan tahun berlalu. Entah bagaimana para penjahat itu bisa mengenaliku?” gumam gadis cantik bermata biru tersebut, seraya menggeleng tak mengerti.
“Jangan khawatir. Semua pasti akan segera membaik, Nona. Ini akan berakhir dengan sangat mudah, setelah para penjahat itu menerima balasan setimpal. Kau akan segera merasakan ketenangan lagi seperti dulu.”
Crystal mengangkat wajah, lalu menatap lekat Santiago. “Anda yakin aku akan mendapatkan kembali ketenangan itu, Tuan Alessio?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Lusy Purnaningtyas
namanya susah susah. emanuele
amiliano
alisiano
2025-01-29
0