Damien membalikkan tubuh Eleanor, lalu menahannya dengan pisau di dekat leher wanita
paruh baya itu. Dia tak harus mengeluarkan kekuatan penuh, berhubung yang
dihadapi bukanlah seseorang dengan ilmu beladiri mumpuni.
“Kau melakukan dua kali kesalahan, Eleanor,” ucap Damien dingin dan penuh penekanan.
Dia tak kesulitan, saat menghadapi Eleanor yang berusaha melepaskan
diri darinya.
“Hanya mengurungmu di kendang anjing, bukanlah hukuman yang pantas kau terima,” ucap
Damien lagi.
“Aku tidak punya pilihan, Tuan,” ucap Eleanor, dengan napas tersengal-sengal.
“Begitu juga denganku,” balas Damien. Secepat kilat tangannya bergerak. Pisau yang tadi
digunakan untuk menyerang oleh Eleanor, kali ini berbalik jadi senjata yang
justru membuatnya tewas terbunuh.
Tanpa ampun,Damien menyayat leher wanita paruh baya itu. Tak ada belas kasihan atau rasa
iba. Bagi Damien, siapa pun yang dirasa mengancam keselamatannya, pasti dia
singkirkan.
Tatapan dingin dan bengis terpancar jelas dari sepasang mata abu-abu Damien. Dia
tak terenyuh sama sekali, menyaksikan tubuh Ele𝚊nor yang terkapar bersimbah darah. Damien hanya memperhatikan, saat wanita paruh baya itu mengejang kesakitan hingga meregang nyawa.
Setelah puas menyaksikan kematian tragis Eleanor, Damien membuka pintu besi kendang
anjing. Dia melangkah masuk, menghampiri Crystal yang sudah tertidur lelap di
lantai.
“Bangun,” suruh Damien dingin.
Namun, Crystal hanya menggeliat pelan, lalu tidur lagi.
Damien menggeleng samar, kemudian menurunkan tubuh. Ditepuknya beberapa kali pipi
gadis itu, hingga membuka mata perlahan.
“Kau ….” Crystal langsung bangkit, lalu beringsut mundur. “Kenapa kau kemari malam-malam
begini?” tanyanya, dengan sorot penuh curiga.
“Sebaiknya, kau pindah dari sini. Mulai sekarang, aku membutuhkanmu untuk melakukan
sesuatu,” jawab Damien, seraya berdiri. Dia menoleh sekilas pada keempat anjing,
yang tiba-tiba menghampirinya. “Tenang saja. Aku tidak akan menyakiti gadis ini.”
“Kau gila!” umpat Crystal.
“Cepat bangun, lalu ikuti aku,” titah Damien, seraya berbalik ke pintu.
“Memangnya, kau mau apa?” tanya Crystal. Dia bangkit, kemudian menghampiri Damien yang sudah berdiri dekat pintu besi setengah terbuka.
Damien menoleh. “Jangan lupa, Nona. Statusmu di sini masih sebagai tawananku. Jadi,
kau tidak berhak banyak bertanya tentang apa pun. Sekarang, ikuti aku.”
Nada bicara Damien terdengar sangat menakutkan. Penuh intimidasi dan menyiratkan rasa berkuasa yang teramat mutlak.
Mau tak mau, Crystal akhirnya mengikuti pria itu. Cahaya temaram dan bahkan hampir gelap,
membuatnya tak bisa melihat jelas. Dia tersandung, sampai memekik pelan.
“Bodoh. Apa kau tidak melihatnya?” Damien sedikit mencibir. Mencemooh keteledoran Crystal.
“Astaga!” Crystal terkejut bukan main, mendapati mayat seseorang tak jauh dari pintu
besi. “Si-siapa ini?’ Gadis itu meraba, lalu menatap tak percaya pada Damien. “Nyonya Eleanor?”
Crystal sudah hendak berbicara lagi. Namun, Damien lebih dulu menariknya pergi dari sana.
“Lepaskan aku, Damien!” Crystal berusaha menyingkirkan tangan Damien dari lengannya, saat
mereka sudah tiba di dekat dapur. “Apa yang terjadi pada Nyonya Eleanor?”
“Dia sudah mati,” jawab Damien dingin.
“Mati?” ulang Crystal. “Ta-tapi … bagaimana dan siapa yang ___”
“Aku,” sela Damien, sambil menghadapkan tubuh sepenuhnya pada gadis itu.
Crystal terbelalak tak percaya. “Kau benar-benar biadab!” sentaknya.
“Kau tidak tahu apa yang sudah wanita itu lakukan!” balas Damien tegas, dengan sorot tajam
penuh amarah.
“Aku memang tidak tahu. Akan tetapi, pantaskah kau menghabisi wanita paruh baya yang bukan lawanmu?”
“Wanita paruh baya?” Damien mendengkus kesal. “Wanita paruh baya itu yang telah
memasang alat pelacak di mobilku! Karena alat pelacak itu pula, kita harus melalui
perjalanan yang sangat menyenangkan. Kau menyukainya, Nona?”
Crystal langsung terdiam, dengan tatapan tak percaya. Hatinya ragu menerima penjelasan
Damien. “Tidak mungkin,” ucap gadis itu, diiringi gelengan pelan.
“Apanya yang tidak mungkin?” Sorot mata Damien masih diliputi amarah. “Jika dia tidak
kuhabisi, maka akulah yang akan jadi korban. Eleanor hamper membunuhku tadi. Kau
masih merasa kasihan padanya?”
“Aku tidak punya masalah apa pun dengan Nyonya Eleanor.”
“Tidak, sampai kau mengetahui bahwa Eleanor merupakan mata-mata untuk Saviero Mazza.”
“Saviero Mazza?” ulang Crystal. Pikiran gadis itu langsung tertuju pada pria yang datang
menemui Patrizio, dan sempat diperkenalkan padanya. “Apakah pria itu?” gumam Crystal.
Damien membalikkan badan, lalu mengambil minuman dari dalam lemari es. “Entah apa yang Saviero inginkan dariku. Namun, dia pasti tahu aku sudah menghabisi Patrizio dan membawamu. Lengkap sudah.” Damien tersenyum sinis, seraya kembali menghadapkan tubuh pada Crystal.
“Kau pikir, aku akan membahayakan diri sendiri dengan tetap memelihara mata-mata musuh?
Orang bodoh pun tak akan melakukan itu.”
“Tapi, kenapa Nyonya Eleanor?”
“Kau tidak perlu memikirkan itu. Satu yang pasti, saat ini aku tidak bisa mempercayai
siapa pun di Palazzo De Santis. Termasuk kau dan Santiago,” ucap Damien penuh penekanan.
“Lalu, kau akan menghabisi kami berdua seperti yang dilakukan pada Nyonya Eleanor?”
“Aku akan menghabisi siapa pun, yang berani mengusik ketenanganku.”
Crystal terpaku, seraya menatap lekat Damien. Gadis cantik itu mendekat, lalu tersenyum.
“Kau yakin akan tega menghabisiku?”
Damien memicingkan mata, mencoba mencerna pertanyaan Crystal. “Maksudmu?”
Crystal makin mendekat, kemudian meraba bagian depan T-shirt yang Damien kenakan. “Beritahu bagaimana caranya, agar kau bisa mempercayaiku? Aku ingin tetap di sini, Di
dekatmu," ucap gadis itu penuh godaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Ruk Mini
nenk..nenk... kau cari pnyakit aje
2024-12-16
0