“Tak bisa dibayangkan." Santiago terperangah, melihat ulah Crystal.
“Apakah masih ada yang bisa kupercaya darimu?” tanya Damien sinis.
Namun, Crystal tak menjawab. Gadis itu hanya memalingkan wajah.
“Kau sudah terlalu banyak membuang waktuku. Jadi, jangan bermain-main lagi atau akan kuhukum lebih dari tidur di kandang anjing,” ancam Damien penuh penekanan.
Crystal menoleh, menatap tak suka pada Damien. “Untuk apa aku menuruti keinginan seseorang, yang tidak tahu bagaimana cara memperlakukan wanita,” balasnya dingin. “Aku ingin mandi! Setidaknya, belikan aku pakaian dalam, baju yang layak serta … astaga! Pria macam apa kau ini?” cerca gadis itu berani.
Damien tak terpancing. Dia hanya menanggapi kekesalan Crystal dengan seulas senyuman. “Akan kupenuhi keinginanmu, hanya jika kau bersikap baik.”
“Kau bahkan tak memeriksa luka di tanganku!” Crystal melirik lengan kirinya, yang masih dibebat perban dan tampak lusuh serta agak kotor.
Embusan napas berat meluncur dari bibir Damien. Dia menoleh pada Santiago, memberikan isyarat tanpa mengatakan apa pun.
Meski demikian, Santiago langsung memahami maksud Damien. Pria paruh baya itu keluar kamar. Entah apa yang akan dirinya lakukan.
“Baiklah, Nona,” ucap Damien, seraya menarik kursi kayu ke dekat tempat tidur. “Mari bekerja sama. Kau hanya perlu memberikan beberapa informasi padaku.”
“Informasi apa?” Crystal menatap sinis. “Kau sama saja dengan mereka,” ujarnya penuh sesal, lalu tertunduk.
Damien memicingkan mata. “Mereka? Siapa yang kau maksud?”
Crystal mengangkat wajah. “Patrizio dan ayahnya.”
“Hm.” Damien menggumam pelan. “Jadi, Guillermo Mazza benar-benar ayah tirimu?”
Crystal tak langsung menjawab. Dia terlihat ragu.
“Kenapa?” tanya Damien, seraya kembali memicingkan mata.
Namun, lagi-lagi Crystal tak segera menjawab. Gadis itu menggeleng pelan. “Aku tidak yakin siapa yang bisa dipercaya. Kalian semua berniat jahat dan ….” Crystal tak melanjutkan kalimatnya karena Santiago lebih dulu masuk ke sana.
Santiago membawa perban serta beberapa obat luka, yang langsung diletakkan di meja dekat tempat tidur. “Kau bisa membersihkan diri dulu, sebelum mengganti perban dengan yang baru,” ucapnya.
“Ck!” Damien berdecak kesal, lalu berdiri. Dia mengisyaratkan agar Crystal keluar kamar. “Antarkan dia ke ruang kerja, jika sudah selesai,” pesannya pada Eleanor, yang datang bersama Santiago.
“Baik, Tuan.” Eleanor mengangguk sopan, lalu mempersilakan Crystal ke kamar mandi di ujung lorong.
Beberapa saat berlalu. Crystal sudah terlihat jauh lebih segar dibanding sebelumnya. Gadis itu tersenyum lembut, setelah Eleanor membantu mengobati luka serta mengganti perban.
“Terima kasih, Nyonya Eleanor,” ucap Crystal, sambil berjalan di sebelah kiri wanita paruh baya itu. Mereka menuju ruang kerja Damien.
“Sebaiknya, jangan membantah apa pun yang Tuan Damien katakan,” saran Eleanor, setelah tiba di depan ruang kerja. Dia mengetuk pintu, lalu membuka dan mempersilakan Crystal masuk.
Crystal melangkah pelan, memasuki ruangan dengan nuansa khas perumahan Tuscany. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari sosok Damien yang tak ada di sana.
Gadis cantik berambut cokelat terang itu menautkan alis. Berhubung tak ada siapa pun di sana. Dia berjalan ke dekat lemari buku, lalu berdiri menatap deretan koleksi milik Damien.
“Setidaknya, masih ada sesuatu yang positif dalam diri pria itu,” gumam Crystal, yang kemudian mengulurkan tangan hendak membuka pintu lemari.
“Apa yang kau lakukan?”
Crystal terkejut dan langsung berbalik. Dia mundur, hingga punggungnya menyentuh kaca lemari. Crystal terpaku, saat Damien mendekatkan wajah dan mengendus aroma tubuhnya.
“Kenapa?” tanya Crystal heran.
“Aku hanya memastikan, apakah kau benar-benar mandi atau tidak,” jawab Damien, seraya berbalik. Dia memberi isyarat, agar Crystal duduk di salah satu kursi kayu bersamanya.
Kali ini, Crystal tak banyak membantah. Gadis cantik itu langsung duduk, meskipun ada rasa tak nyaman karena belum mengenakan pakaian dalam.
“Mari lanjutkan perbincangan tadi,” ucap Damien membuka percakapan. “Kau belum menjelaskan tentang hubunganmu dengan Keluarga Mazza. Sekali lagi kuperingatkan agar tidak membuang waktuku.”
“Habisi aku, setelah kau mendengar semua yang akan kuceritakan,” ucap Crystal, dengan tatapan aneh.
“Aku yang menentukan, bukan kau,” balas Damien datar.
Crystal menggeleng pelan. “Aku lelah,” ucap gadis itu. “Mereka terus menanyakan hal yang sama.”
“Tentang apa? Buku milik ayahmu?” terka Damien, seraya menaikkan sebelah alis.
Crystal menatap sayu. “Bagaimana kau bisa berpikir ke sana?”
“Jadi, kau memang putri Fausto Allegra?” selidik Damien meyakinkan.
Crystal mengangguk pelan. “Usiaku baru tujuh tahun, saat pembantaian itu terjadi. Aku sangat ketakutan,” terangnya, dengan suara bergetar.
“Kau melihat para pelaku?”
Crystal menggeleng. “Seingatku, mereka semua memakai penutup wajah. Aku hanya ingat jumlahnya. Dua orang masuk ke kamar ayah dan ibu. Dua lagi ke kamar Ambra. Ada juga yang ke kamarku,” terangnya sangat detail. Sesuatu yang luar biasa, untuk anak berusia tujuh tahun.
“Kau melihat mereka?”
Crystal mengangguk. “Aku sempat mengintip.”
“Bagaimana kau bisa lolos dari para pembunuh itu?”
“Ayah membuatkan ruangan rahasia di bawah tempat tidurku dan Ambra. Kebetulan, malam itu aku terbangun karena ingin buang air kecil. Setelah mendengar keributan, aku langsung bersembunyi di sana. Mereka tidak bisa menemukanku.”
Crystal menatap Damien. “Kupikir, aku sudah benar-benar selamat. Nyatanya, mereka tahu bahwa aku masih hidup.”
“Mereka memburumu hingga saat ini? Bagaimana kau bisa mengetahuinya?”
“Tuan Alessio yang mengatakan itu.”
“Di mana dia sekarang?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Dwisya12Aurizra
pinjamin cd mu atuh ceu, kasian tar masuk angin 🤣🤣🤣
2024-09-10
1