Author POV.
"Bid, lo kok goblokk? Dikasih duit malah gak diterima."
"Kan holkay, udah banyak duitnya jadi ya gak mauu," sahut Rangga.
"Bukan gituu!" protes Abid.
"Kalau gue jadi Abid si juga gak bakal gue terima, karena kan Abid yang salah nyipratin tu air comberan ke Balqis," kata Tio membela. "Nah tu tau. Gue yang salah disini, makanya gue ganti rugi."
"Gak nyangka sihh, anak ajaib kayak lo punya hati juga."
"Punya hati apaan? Mana ada orang punya hati nolak kek begitu," cibir Jefri kesal. "Jep, kalau gue gak pergi tu anak pasti maksa banget buat terima uangnyaa."
"Ya kalau dipaksa langsung terima aja, gak usah tolak."
Pletak!!!
Eldi menampol Tio.
"Sakit geblek!" cela Tio.
"Kalian berdua bener-bener dah, tadi Tio nampol Eldi, sekarang malah dibalik." Tio dan Eldi tertawa.
"Kalau dipikir-pikir yaa, kok tumben-tumbenan banget lo peduli sama orang, Bid? Lo demen ya sama tu bocah?" tanya Eldi.
"Demen darimana? Gak usah ngaco!" jawab Abid ketus. Dia menyandarkan kakinya di atas meja sambil memejamkan mata. Siswa-siswi lain yang ada di kelas sudah terbiasa dengan kelakuan mereka berlima.
"Halaahhh! Lo pasti cinta.. cinta... cinta apa ya namanya? Anu.. cinta.."
"Cinta pada pandangan pertama," sahut Rangga.
"Nah etaaa. Pasti ituu!" Mereka auto tertawa meledek melihat perubahan ekspresi Abid. "Udah! Jangan ribut!"
"Btw, nanti ke basecamp," perintah Abid.
"Ngap— anjirrr gue lupaa!!"
"Hah? Ohh iyaa woi, astaghfirullah lupaaa," sahut Jefri ikutan tersambung.
"Persiapin diri aja malam ini. Jadi nanti pulang ngojol sore, kalian santai dirumah atau nge-gym," kata Abid memberi saran. "Oke aman!" jawab mereka berempat bersamaan.
Abid berjalan keluar kelasnya dan berdiri di atas balkon, ia menikmati pemandangan sekolahnya. Kelas XII berada dilantai 2 sedangkan yang lain tetap di bawah. SMA Axen emang SMA bertingkat yang kece badaiii~
Dari atas, Abid melihat banyak manusia. Kebanyakan siswi pada melambaikan tangannya ke arah Abid. Abid jarang menotice hal itu, tapi kali ini dia coba membalas lambaian tangan mereka. Siswi pun bersorak kegirangan saat lambaiannya dibalas.
"Astaghfirullah. Kenapa gue bisa punya banyak fans kayak gini" tanya Abid dengan suara pelan. "Bukan cuma lo, kita berempat juga!" sahut Jefri bangga. Mereka pun tersenyum.
Untuk pertama kalinya seorang Abid senyum, dan itu terlihat sangat-sangat manis. Namun sangat disayangkan, senyumnya yang tulus berlangsung hanya lima detik. Biasanya dia senyum biasa aja, senyum antara niat gak niat.
"Senyum lima detik, histerisnya berjam-jam."
Di tengah asik bersantai, tiba-tiba datang seorang cewek yang langsung menggandeng tangan Abid. 'Ahh ini lagii,' batin Abid kesal.
"Sayang, kamu kok genit sih?" tanya siswi itu manja.
"Apa sih? Pergi lo!" suruh Abid tegas.
Siswi itu tetap diam ditempatnya.
"Silvia, mending lo pergi dehh. Jangan merusak moodnya Abid. Kalau Abid ngamuk mampusss lo," kata Tio bantu mengusir.
"Diem aja deh lo, gak usah ikut campur!"
Tio dan yang lain tidak ingin membalas. Biar Abid sajalah yang mengurus, begitu pikir mereka. Abid yang semakin badmood menghela nafasnya panjang.
"Gue hitung mundur ya. Kalau lo gak pergi, gue bakal jatohin lo dari atas sini," ancam Abid sinis. Silvia langsung melepaskan gandengan tangannya dengan Abid.
"Oke fine! Aku bakal datang lagi nanti, besok, besok, besok dan seterusnya!" balas Silvia lalu pergi sambil berlari.
"Cewek sinting!"
Abid mengabaikannya lalu mencoba untuk kembali santai. Ketika matanya melihat ke bawah, Abid langsung menemukan anak kecil yang sedang berlari.
Tanpa sepatah kata yang keluar dari mulut Abid, Abid melompati balkon. Semua orang terkejut melihatnya yang mendarat dengan sempurna di bawah.
"Abid gila!"
Keempat teman Abid menyusul melalui tangga. Abid sendiri berlari, para siswi mengira mereka dikejar tapi ternyata bukan, Abid melewati mereka.
Melihat anak kecil itu panik, Abid menghentikannya dan menatap matanya. Anak kecil itu Davina, adek tomboy Abid.
"Abangg..."
"Kamu kenapa disini? Ngapain disini?!" tanya Abid panik.
"Devii, bang, hosh.. hosh.."
Davina ngos-ngosan sambil sedikit menangis.
"Kenapaa?! Devina kenapa?!" tanya Abid.
"Sabar bang, Avi capek."
"Nih minumm duluu," tawar seorang gadis yang tak lain adalah Balqis. "Makasih, kakak cantik." Abid memilih diam dan membiarkan adiknya minum.
"Lo gila bener ya, Bid, loncat dari atas kek gak takut matii," kata Eldi yang tiba di bawah.
"Cari mati nih anak mah."
"Diem."
Tidak ada lagi yang berani menjawab.
Abid kembali memperhatikan adiknya. Belum selesai adiknya itu minum, Abid malah mengambil botol minum yang diminum Davina dan mengembalikan ke pemiliknya.
Abid Mengelap keringat dan mengelap tumpahan minum Davina menggunakan baju putihnya yang sudah dia lepas. Abis pakai baju double warna putih juga jadi badannya belum terekspos.
Semua kelakuan Abid sekarang dilihat banyak orang.
"Udah, kan? Sekarang jawab abang, Devina kenapa?!" tanya Abid mengulang pertanyaan.
"Devina diculik, bang."
"APA?! Kenapa lama banget kamu bilangnya?!" bentak Abid, Davina langsung menunduk ketakutan. "Abid! Jangan bentak adek lo begoo, kasian!"
Abid mengiraukannya. Ia sibuk mengatur nafas sembari berfikir dengan keras, "gak mungkin dia serang sekarang kan?" lirih Abid.
"Devina diculik kemana? Maksud abang ke arah mana?" tanya Abid. Davina menunjuk arah kanan.
"Kamu takut sama abang? Maafin abang tadi bentak kamu, abang lagi emosii," kata Abid menenangkan adiknya.
"Sekarang, kamu ikut abang. Kita cari Devina sama-sama," ajak Abid. Davina mengangguk. Abid pun langsung menggendongnya.
"Izinin gue dulu, abistu kalian nyusul."
Abid pun menuju motor dan pergi bersama Davina.
"Gue gak mah izin. Rang, lu aja ya yang izin."
"Kok jadi gue, asuu?!"
...----------------...
"Kanan atau kiri?" tanya Abid ketika di jalan.
"Kanan, bang," jawab Davina.
"Kamu pegangan."
Abid melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
Setelah lama diperjalanan, mereka tiba disuatu tempat terpencil hanya karena Abid mengikuti satu arahan dari Davina, 'kanan'.
"Bang, Avi takut..."
"Maafin abang karena udah bawa kamu kesini. Nanti ada temen abang yang tadi rambutnya dicat warna coklat, dia bakal anterin kamu pulang."
"Tapi Devi bang? Avi mau bantu abang," rengek Davina.
"Gak boleh yaa. Ini bahaya, abang gak mau kamu kenapa-kenapa."
Tiga menit berselang, ke-empat teman Abid datang.
"Tio, anterin adek gue pulang," perintah Abid.
"Siap, kapten! Mari pulang, anak cantikkk!"
Davina malah makin merapatkan diri dengan abangnya. "Avi pulang ya, abang mohon. Kalau kamu kenapa-kenapa, abang bakal dihukum sama ayah. Kamu mau abang dihukum?" tanya Abid, Davina menggeleng.
"Makanya kamu pulang ajaa yaa."
"Yaudah iyaa. Abang hati-hatiii," Abid tersenyum sekilas. Tio pun membawa Davina ke mobil lalu pergi.
"Bisa lembut juga lo?" tanya seseorang dari belakang.
"Johan?" Abid masih menebak suara ini, dirinyabelom berbalik. Sedangkan pria bernama Johan itu tersenyum sinis di belakang Abid.
"Udah gue duga ini pasti ulah lo, Johan sialan!" cibir Rangga kesal. Abid menatap Rangga, menyuruhnya untuk meredakan emosi.
"Mana adek gue?" tanya Abid setelah berbalik.
"Adek lo bukan disini, adek lo ditempat lain. Tempat rahasia," jawab Johan.
"Lo bilang kita mulai berantem nanti malam, kenapa malah sekarang?!" tanya Jefri.
"Kalian terlalu bergantung dengan info palsuu sih, jadinya di bodohin kann. Tapi gue akui, lu semua emang BODOH BANGET!"
"Sialan lo!" umpat Abid. Dirinya salto sambil menendang Johan. Abid paling gak bisa jika keluarga dan temannya dilukai ataupun dicacimaki.
Jika itu terjadi, dia tidak segan-segan mewujudkan semboyannya yaitu, 'Senggol Bacok!'
"Bilang sama gue sekarang! Adek gue dimanaaa bangsattt!" bentak Abid. Johan yang tersungkur masih bisa tersenyum sinis. Ia mengeluarkan ponselnya, dan menunjukkan muka Devina.
"Abang.. hiks.. hikss.. abang... Devina takut, bang... Devi takuuttt," rengek Devina sambil menangis. Abid menghiraukan perkataan Devina, ia memeriksa keadaan adiknya dengan tatapan tajam.
'Damn it! Bibirnya luka,' batin Abid.
Belum selesai Abid menatap sang adik, Johan sudah mematikan ponselnya. "Lepasin adek gue, dia gak salah. Ayo kita selesaikan sekarang tanpa libatkan orang lain," ajak Abid mencoba santai.
"Gak semudah itu, Abid."
"Mau lo apa sih, Jo? Kekanak-kanakan banget lo, mancing kita keluar aja pake culik Devina," cibir Eldi.
"Lo tanya mau gue? Mau gue gak banyak. Gue cuma mau salah satu ginjal kalian."
"Brengsek!!!" bentak Rangga. Dia ingin menghajar Johan, tapi gagal karena ditahan Abid. "Ambil ginjal gue, tapi balikin adek gue sekarang juga," ujar Abid mengalah.
"Abid lo jangan gilaaa!"
Abid memberi aba-aba pada Eldi dari tatapannya.
"Ginjal lo? Ginjal lo gak sehat," kata Johan. Abid menendang dada Johan sampai ia jatuh. Di kesempatan itu, Eldi mengambil ponselnya Johan. Mencari alamat tempat Devina berada.
Abid mengalihkan perhatian Johan sampai dia tidak sadar ponselnya telah dicuri. Eldi yang mudah melakukan pelacakan langsung menemukan dimana keberadaan Devina. Dia mengangguk kecil pada Abid lalu pergi bersama dengan Rangga, dan Jefri.
"One by one, sanggup?" tantang Abid.
"Biarin gue berdiri dulu, itu baru keadilan. Gue tau kapten Darah Hitam super duper adil," jawab Johan. Abid membiarkannya berdiri.
Saat Abid ingin menghajarnya tiba-tiba saja...
"Jangan bergerak!"
Polisi datang.
'Sialan! Gue dijebak,' umpat Abid dalam hati. Dirinya terpaksa mengangkat kedua tangan. Begitu pula dengan Johan. Polisi pun menghampiri mereka lalu memborgol tangan Abid dan Johan.
"Selamat mencoba penjara~~"
^^^—Revisi, ^^^
^^^Desember, 2021.^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Kyran Mounth
mulai seruuu
2021-10-31
0
Pengagummu⚘
senyuman hanya 5detik tp buat semua ciwi histeris wow bingit
2021-09-26
0
Puput🖤
wooooouuuu sengol bacok🤙
2020-08-16
2