365 Day
Langit mendung menggantung di atas mansion megah Alexander Romanov, seolah mencerminkan suasana dingin yang menyelimuti tempat itu. Elena menggenggam tas lusuhnya erat-erat, menatap gerbang besi hitam yang menjulang di depannya. Ia hampir mundur, tetapi suara ayahnya yang sakit terngiang di kepalanya: "Ini kesempatanmu, Elena. Jangan sia-siakan."
Dengan tarikan napas berat, ia menekan bel interkom. Suara berat dan tegas terdengar dari balik speaker.
"Nama?"
"Elena Moretti. Saya datang untuk bekerja," jawabnya, mencoba terdengar percaya diri.
Gerbang terbuka perlahan, mengungkapkan jalan panjang menuju mansion. Langkah kaki Elena terasa berat saat ia berjalan, matanya terpaku pada bangunan besar dengan arsitektur klasik yang tampak lebih seperti kastil daripada rumah. Pintu depan terbuka, dan seorang pria paruh baya dengan setelan rapi berdiri di sana.
"Ikuti saya," katanya tanpa basa-basi.
Elena dibawa ke ruang tamu besar dengan jendela tinggi yang memancarkan cahaya dingin. Di sana, Alexander Romanov duduk di kursi kulit hitam, tangannya menggenggam sebuah gelas kristal berisi anggur merah. Pria itu bahkan tidak menoleh ketika Elena masuk.
"Jadi, ini pelayan baru?" tanyanya tanpa emosi, suaranya rendah dan memotong.
"Iya, Tuan Romanov," jawab pria paruh baya itu.
Alexander akhirnya mengangkat pandangannya. Mata abu-abunya menatap Elena dengan intensitas yang hampir membuatnya mundur selangkah. Ia tampak seperti patung marmer hidup—sempurna, tetapi dingin dan tidak berperasaan.
"Kamu terlambat," katanya datar.
"Saya mohon maaf, Tuan," jawab Elena pelan, menundukkan kepala.
"Tidak ada maaf. Di sini, saya tidak mentolerir kesalahan. Jadwal saya adalah segalanya. Jika kamu ingin bekerja di rumah ini, pelajari itu baik-baik," katanya, nada suaranya seperti cambuk.
Elena menggigit bibirnya, menahan diri untuk tidak membalas. Ia membutuhkan pekerjaan ini lebih dari apa pun.
"Antonio, tunjukkan kamarnya," Alexander melambaikan tangannya, seolah bosan hanya dengan keberadaan Elena. "Dan pastikan dia tahu aturan rumah ini. Aku tidak ingin gangguan."
Saat Elena mengikuti Antonio keluar ruangan, ia mencuri pandang ke arah Alexander. Ada sesuatu di balik sikap dinginnya, sesuatu yang tampak rapuh di balik cangkang keras itu. Namun, ia segera mengalihkan pandangannya.
Ia tahu satu hal: pekerjaan ini akan jauh lebih sulit daripada yang ia bayangkan.
***
Hari pertama Elena di mansion Romanov adalah ujian berat. Sejak ia tiba, tidak ada satu momen pun di mana ia merasa santai. Para staf rumah tangga yang lain bekerja dalam keheningan yang hampir menakutkan, seolah takut akan bayang-bayang Alexander Romanov yang bisa muncul kapan saja.
Saat malam tiba, Elena sedang membantu membersihkan ruang makan ketika Antonio mendekatinya dengan tatapan serius.
"Tuan Romanov ingin makan malamnya diantar ke kamar," katanya singkat.
Elena mengangguk, meskipun jantungnya tiba-tiba berdebar lebih cepat. "Baik, apa yang harus saya lakukan?"
"Ikuti aturan: jangan bicara kecuali dia bertanya. Jangan tatap matanya terlalu lama. Letakkan makanannya, lalu keluar."
Instruksi itu terdengar berlebihan, tetapi dari pengalaman singkatnya, Elena tahu Alexander bukan pria biasa. Ia menghabiskan waktu beberapa menit memastikan nampan makan malamnya sempurna—steak yang dimasak medium-rare, anggur merah, dan roti segar yang tampak terlalu mahal untuk disentuh. Dengan hati-hati, ia membawa nampan itu menaiki tangga besar menuju kamar utama.
Pintu kamar terbuka setengah ketika ia sampai. Elena mengetuk perlahan, tetapi tidak ada jawaban. Setelah ragu sejenak, ia mendorong pintu dengan pelan.
Alexander sedang berdiri di depan jendela besar, punggungnya menghadap ke pintu. Ia mengenakan kemeja putih yang lengan panjangnya digulung hingga siku, menunjukkan lengannya yang kokoh. Cahaya bulan memantul di kaca jendela, membuat siluetnya tampak seperti bayangan patung.
"Taruh di meja," katanya tanpa menoleh, suaranya dalam dan tegas.
Elena berjalan perlahan ke meja di dekat sofa, meletakkan nampan dengan hati-hati agar tidak ada suara yang mengganggu. Hawa dingin di kamar itu bukan karena suhu, melainkan karena kehadiran Alexander yang terasa begitu mengintimidasi.
Saat ia selesai, ia melangkah mundur, berharap bisa segera keluar, tetapi langkahnya terhenti ketika Alexander akhirnya berbalik. Mata abu-abunya yang tajam menatapnya.
"Kenapa kamu di sini?" tanyanya tiba-tiba.
Elena bingung. "M-maaf, Tuan? Saya hanya mengantar makan malam Anda."
"Bukan itu maksudku," katanya dingin, mengambil langkah mendekat. "Kenapa kamu memilih bekerja di sini? Kamu tidak terlihat seperti orang yang cocok dengan tempat ini."
Elena menggenggam tangannya erat, mencoba mengendalikan rasa gugupnya. "Saya membutuhkan pekerjaan ini, Tuan."
Alexander menyipitkan mata, seolah mencoba membaca pikirannya. Tapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Sebaliknya, ia kembali ke jendela, seolah kehadiran Elena sudah tak lagi penting.
"Kamu boleh pergi."
Tanpa ragu, Elena berbalik dan pergi, menutup pintu dengan lembut di belakangnya. Saat ia berjalan kembali ke dapur, ia merasa napasnya tertahan sepanjang waktu di kamar itu. Alexander Romanov bukan hanya majikan yang dingin dan angkuh—dia adalah teka-teki yang rumit dan berbahaya.
Namun, satu hal yang Elena tahu pasti: malam itu hanyalah permulaan.
***
Elena berjalan menyusuri lorong panjang mansion dengan langkah pelan, mencoba meredakan degup jantungnya yang belum sepenuhnya tenang. Hawa dingin yang memenuhi kamar Alexander tadi seolah masih membekas di tubuhnya. Saat sampai di dapur, ia menurunkan nampan kosong dengan hati-hati, lalu duduk di kursi kecil di sudut ruangan.
Ia menghela napas panjang, mengusap wajahnya yang terasa panas karena tegang. Dalam hatinya, ia bergumam, Bagaimana mungkin orang-orang di sini betah bekerja untuk pria seperti dia?
Elena memperhatikan sekeliling dapur, tempat para pekerja sibuk dengan tugas masing-masing. Semuanya bergerak dengan kecepatan teratur, tanpa ada tanda-tanda keluhan atau pemberontakan. Antonio mengawasi mereka dengan sikap tenang namun tegas, seperti seorang jenderal di medan perang. Tidak ada yang berbicara kecuali benar-benar perlu.
Apa mereka tidak pernah merasa takut? pikir Elena. Atau mungkin mereka sudah terbiasa dengan tatapan dingin itu? Dengan suara yang terdengar seperti perintah mutlak?
Salah seorang pelayan wanita mendekat untuk mengambil piring kotor dari meja di depannya. Wanita itu, bernama Maria, tampak sedikit lebih ramah dibandingkan yang lain.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Maria, suaranya rendah agar tidak terdengar oleh yang lain.
Elena mengangguk pelan. "Ya, hanya sedikit... tegang."
Maria tersenyum kecil, seolah memahami. "Itu wajar. Hari pertama selalu seperti itu. Tapi kalau boleh aku beri saran, jangan terlalu memikirkan Tuan Romanov. Dia memang seperti itu."
"Seperti itu bagaimana?" Elena tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
Maria menatapnya sejenak, lalu melanjutkan pekerjaannya tanpa menjawab.
Jadi, mereka semua tahu, tapi tidak ada yang mau bicara? pikir Elena kesal. Baginya, Alexander bukan hanya seorang majikan yang sulit—ia adalah teka-teki yang tampaknya dijaga rapat oleh semua orang di mansion ini.
Ia menghela napas lagi. Mungkin aku harus belajar menerima saja. Tapi bagaimana caranya aku bisa betah bekerja di sini, kalau setiap kali melihatnya, rasanya seperti berjalan di atas es yang rapuh?
Malam itu, saat ia kembali ke kamarnya yang kecil di lantai bawah, Elena tidak bisa menghilangkan pikiran tentang Alexander. Sikapnya yang dingin, tatapan matanya yang tajam, dan suasana menekan di sekitarnya seolah menjadi misteri yang sulit dijelaskan.
Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang membuat Elena bertanya-tanya: Apakah ada alasan mengapa orang-orang di sini tetap tinggal? Apakah mungkin Alexander Romanov tidak sesederhana apa yang terlihat di luar?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
setetes tinta
saya mampir kk,mampir di karya saya juga ya😂
2024-12-26
1