Ketika pesta berakhir, Elena merasa lega sekaligus lelah. Sepanjang malam, ia berusaha keras menyesuaikan diri dengan dunia Alexander yang penuh dengan intrik dan formalitas. Tapi di balik senyum yang ia pasang, pikirannya terus bertanya-tanya: apa sebenarnya yang diinginkan Alexander darinya?
Mereka kembali ke mansion dengan mobil yang sama. Sepanjang perjalanan, Alexander hanya diam sambil melihat keluar jendela. Elena pun memilih untuk tidak berbicara, meskipun ada banyak hal yang ingin ia tanyakan.
Setibanya di mansion, Alexander membuka pintu mobil untuk Elena, sebuah tindakan yang mengejutkannya. Ia menatap Alexander sejenak sebelum melangkah keluar.
“Terima kasih,” gumam Elena pelan.
Alexander tidak menjawab, hanya melangkah masuk ke mansion lebih dulu.
Di Kamar Elena
Elena kembali ke kamarnya, melepas gaun merah anggur yang begitu membebaninya malam itu. Dia berdiri di depan cermin, menatap dirinya yang kembali sederhana dengan balutan piyama. Riasannya sudah hilang, dan rambutnya kini terurai seadanya.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.
“Masuk,” katanya, sedikit ragu.
Clara muncul dengan senyum kecil, membawa secangkir teh hangat.
“Nona Elena, Anda luar biasa malam ini,” kata Clara, menaruh cangkir di meja rias.
“Luar biasa? Atau hanya terlihat seperti boneka yang dipamerkan?” tanya Elena, suaranya terdengar lebih pahit dari yang ia maksudkan.
Clara terdiam sejenak, lalu mendekat. “Tuan Romanov bukan pria yang mudah dipahami. Tapi, percaya atau tidak, dia memperhatikan Anda lebih dari yang Anda kira.”
Elena mengernyit. “Apa maksudmu?”
“Saya hanya mengatakan apa yang saya lihat,” jawab Clara dengan bijak. “Istirahatlah, Nona. Anda pasti lelah.”
Setelah Clara pergi, Elena merenung di atas tempat tidurnya. Kata-kata Clara berputar di pikirannya. Alexander memperhatikannya? Bagaimana bisa?
Sementara itu, di Ruang Kerja Alexander
Alexander duduk di kursinya, menuangkan segelas brandy sambil memikirkan malam itu. Tatapan Elena, senyumnya yang dipaksakan, dan caranya menahan diri di depan para tamu—semuanya tidak luput dari perhatiannya.
Ia tahu Elena merasa tidak nyaman. Tapi ini adalah bagian dari kesepakatan mereka. Ia membutuhkan seorang istri untuk menampilkan citra yang sempurna, dan Elena memenuhinya dengan baik. Namun, ada sesuatu tentang Elena yang membuatnya resah.
Pikirannya terus kembali pada satu momen di pesta tadi—ketika Vincent, dengan candaan khasnya, memuji kecantikan Elena. Untuk alasan yang tak bisa ia jelaskan, Alexander merasa terganggu.
Keesokan Harinya
Elena terbangun dengan suara ketukan di pintunya. Kali ini bukan Clara, melainkan Alexander sendiri.
“Kita perlu bicara,” katanya tegas.
Elena mengangguk, meskipun hatinya kembali berdebar.
Di ruang kerja Alexander, suasana terasa lebih serius daripada sebelumnya. Alexander berdiri di dekat jendela, tangannya di saku, sementara Elena duduk di sofa, menunggunya berbicara.
“Aku tahu malam tadi tidak mudah untukmu,” katanya akhirnya, menatap Elena dengan sorot mata yang sulit dibaca.
“Itu bukan masalah,” jawab Elena pelan. “Aku hanya ingin memahami apa sebenarnya yang kau harapkan dariku, Alexander.”
Alexander menghela napas, lalu berjalan mendekat. Ia duduk di kursi di depannya, wajahnya sedikit melunak.
“Pernikahan kita adalah kesepakatan, Elena. Tapi itu tidak berarti aku ingin kau merasa seperti tawanan di rumah ini.”
Elena mengangkat alis. “Kalau begitu, apa yang kau inginkan dariku? Aku ingin tahu, karena sejauh ini aku merasa seperti pion dalam permainanmu.”
Alexander terdiam sejenak sebelum menjawab. “Aku ingin kau menjadi dirimu sendiri. Tapi di dunia ini, terkadang kau harus belajar memainkan peran. Bukan untukku, tapi untuk melindungi dirimu sendiri.”
***
Hari-Hari Berikutnya
Elena mulai memahami sifat Alexander lebih dalam. Ia bukan hanya pria ambisius, tetapi juga perfeksionis tanpa ampun. Di mansion, setiap orang bergerak dengan hati-hati, seolah takut membuat kesalahan. Para pelayan selalu memastikan setiap sudut bersih, setiap permintaan terpenuhi tepat waktu, dan setiap detail sempurna.
Alexander mengamati semuanya—dari menu makan malam hingga cara anggur dituangkan. Sekali saja ada sesuatu yang tidak sesuai dengan standarnya, dia akan menunjukkannya tanpa ragu, sering kali dengan komentar dingin yang membuat siapa pun terdiam.
Elena menyaksikan sisi ini dari suaminya dengan perasaan campur aduk. Ia menghormati dedikasi Alexander terhadap kesempurnaan, tetapi di sisi lain, sifat itu membuatnya merasa seperti hidup di bawah tekanan konstan.
Insiden di Ruang Makan
Sebuah insiden kecil terjadi saat makan malam suatu malam. Salah satu pelayan tidak sengaja menjatuhkan sendok perak ke lantai saat menyajikan hidangan penutup. Suara dentingan itu menggema di ruang makan yang hening, dan semua orang membeku.
Mata Alexander langsung terarah pada pelayan tersebut. Ia meletakkan garpu dengan perlahan, tetapi tatapannya tajam.
“Apa yang terjadi?” tanyanya dingin.
Pelayan itu menunduk, wajahnya memucat. “Ma-maafkan saya, Tuan Romanov. Saya tidak sengaja—”
“Tidak ada ruang untuk kesalahan di sini,” potong Alexander. “Jika tanganmu tidak stabil, maka kau tidak pantas berada di rumah ini.”
Pelayan itu hampir menangis, tetapi ia tetap membungkuk dalam-dalam, meminta maaf berulang kali. Elena yang menyaksikan kejadian itu merasa iba.
“Alexander, itu hanya sebuah sendok,” ucapnya tiba-tiba.
Ruangan menjadi semakin sunyi. Alexander menoleh padanya, alisnya sedikit terangkat.
“Hanya sebuah sendok, ya?” tanyanya, suaranya tetap tenang tetapi penuh ketegasan. “Kesalahan kecil seperti itu bisa menjadi awal dari masalah besar. Jika aku mentolerir ini, apa yang akan terjadi selanjutnya? Makanan yang kurang matang? Kesalahan fatal dalam dokumen bisnis?”
Elena menahan napas. “Tapi dia sudah meminta maaf.”
Alexander menatapnya sejenak sebelum akhirnya berdiri. “Meminta maaf tidak cukup. Dunia tidak peduli pada maaf, Elena. Dunia hanya peduli pada hasil.”
Ia melangkah keluar dari ruang makan tanpa menyentuh hidangan penutupnya, meninggalkan Elena dan pelayan yang masih terisak.
Konfrontasi di Kamar Alexander
Elena memutuskan untuk menemui Alexander di ruang kerjanya malam itu. Ia tidak bisa membiarkan suasana mencekam terus berlanjut.
“Alexander,” panggilnya saat masuk tanpa mengetuk.
Alexander sedang membaca dokumen, tetapi ia menutupnya perlahan dan menatap Elena. “Ada apa?”
“Kau terlalu keras pada mereka,” ujar Elena tegas. “Mereka hanya manusia. Mereka bisa membuat kesalahan.”
Alexander menyandarkan tubuhnya ke kursi, wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Dan aku hanya manusia, Elena. Tapi jika aku membuat kesalahan, semua yang aku bangun akan runtuh. Aku tidak bisa mengambil risiko itu.”
“Kau tidak sedang berbicara tentang pelayan tadi, kan?” Elena mendekat, mencoba membaca pikirannya. “Ini tentang dirimu sendiri.”
Alexander terdiam. Untuk pertama kalinya, Elena merasa berhasil menembus lapisan dinginnya.
“Aku tidak pernah mendapatkan apa pun tanpa kerja keras dan disiplin,” katanya akhirnya. “Aku mengendalikan segalanya karena jika tidak, semuanya akan lepas kendali. Aku tidak bisa menerima kegagalan, baik dari diriku sendiri maupun orang lain.”
Elena mendekat lebih jauh. “Tapi kau tidak bisa memaksa semua orang untuk hidup seperti itu. Mereka tidak seperti dirimu, Alexander. Dan kau tidak bisa menghukum mereka untuk sesuatu yang bahkan bukan kesalahan besar.”
Alexander menatapnya lama, lalu menghela napas. “Aku akan mempertimbangkan kata-katamu, Elena. Tapi jangan berharap aku berubah sepenuhnya.”
Elena tersenyum tipis. “Aku tidak meminta perubahan instan. Aku hanya ingin kau mencoba melihat sisi lain.”
Malam itu, meskipun Alexander tetap mempertahankan sikap dinginnya, Elena merasakan ada sedikit retakan dalam dinding yang mengelilinginya. Sifat Alexander mungkin tidak akan berubah, tetapi ia mulai membuka diri—meski hanya sedikit—kepada Elena.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments