Elena mencengkeram lengan Alex dengan erat, napasnya semakin cepat saat para pria itu mendekat. Alex merasa adrenalinnya mulai mengalir deras. Ia tahu tidak ada waktu untuk ragu. Ia menatap Elena dan berkata pelan, "Tetap di belakangku. Apa pun yang terjadi, jangan bergerak."
Salah satu pria, yang tampaknya pemimpin kelompok itu, melangkah lebih dekat sambil mengayunkan pisaunya dengan santai. "Hei, tenang saja. Kalau kalian menyerahkan barang-barang berharga kalian, kami mungkin membiarkan kalian pergi."
Alex tetap berdiri tegak, matanya tidak pernah lepas dari pemimpin itu. "Kami tidak punya apa-apa untuk diberikan. Biarkan kami pergi, dan ini akan berakhir dengan damai."
Pria itu menyeringai. "Sayang sekali. Aku rasa kita harus melakukan ini dengan cara yang sulit."
Saat pria itu melangkah lebih dekat, Alex bergerak cepat. Dengan refleks yang terlatih dari tahun-tahun menghabiskan waktu di gym dan belajar bela diri, ia menyambar pergelangan tangan pria itu, memelintirnya hingga pisau terjatuh ke tanah. Dalam sekejap, dua pria lain menyerbu, tetapi Alex menggunakan momentum mereka untuk menjatuhkan salah satunya dengan tendangan kuat ke lutut.
Namun, jumlah mereka membuat situasi semakin sulit. Pria ketiga berhasil memukul Alex di sisi wajahnya, membuatnya sedikit terhuyung. Elena menjerit kecil, tapi Alex segera bangkit kembali, meninju pria itu tepat di rahang, menjatuhkannya ke tanah.
Saat itu, suara sirene polisi terdengar dari kejauhan. Sepertinya seseorang di sekitar telah melaporkan keributan tersebut. Para pria itu mulai panik.
"Sial! Polisi!" teriak salah satu dari mereka sebelum mereka semua kabur ke arah gang gelap.
Alex terengah-engah, mencoba mengatur napasnya. Ia menoleh ke Elena, yang masih gemetar. "Kau baik-baik saja?"
Elena mengangguk lemah, tapi air mata mengalir di pipinya. "Aku... aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kau tidak datang."
Alex meraih tangannya dengan lembut. "Kita bicara nanti. Sekarang, kita harus keluar dari sini."
Mereka bergegas kembali ke mobil Alex. Saat mesin menyala dan mereka mulai menjauh dari kawasan itu, Elena menunduk, wajahnya dipenuhi rasa bersalah. "Maafkan aku, Alex. Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir."
Alex menatapnya sekilas sebelum fokus kembali ke jalan. "Kita bisa bicara soal ini nanti. Yang penting sekarang kau aman. Tapi aku ingin tahu... apa yang sebenarnya kau cari, Elena? Apa yang membuatmu pergi sejauh ini?"
Elena terdiam sejenak, sebelum menjawab dengan suara pelan, "Aku hanya ingin menemukan diriku sendiri. Tapi aku malah kehilangan arah."
Alex menggenggam tangan Elena dengan satu tangan, memberi tekanan lembut. "Kau tidak perlu melakukannya sendirian. Apa pun yang kau rasakan, aku di sini. Jangan pernah lupa itu."
Elena menatap Alex, matanya penuh emosi. Untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa sedikit tenang. Meskipun perjalanan mencari dirinya masih jauh, ia tahu satu hal: bersama Alex, ia tidak akan pernah benar-benar tersesat.
***
Mobil Alex melaju perlahan keluar dari kawasan gelap itu, menyusuri jalanan yang kini terasa lebih aman. Elena masih terdiam, tetapi ia memeluk dirinya sendiri seolah-olah mencoba meredakan guncangan yang dirasakannya. Alex sesekali meliriknya, merasa ada sesuatu yang belum diungkapkan oleh wanita itu.
Setelah beberapa menit dalam keheningan, Alex akhirnya berbicara. "Aku tahu ada lebih dari sekadar ingin waktu sendiri, Elena. Kau tidak pernah pergi sejauh ini hanya untuk berpikir. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Elena menggigit bibirnya, matanya masih menatap ke luar jendela. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana," katanya pelan. "Aku hanya merasa... tertekan. Seolah-olah aku sedang terjebak di tempat yang tidak aku mengerti."
Alex mengerutkan alisnya, tetapi ia tetap tenang. "Apa ini tentang kita? Tentang hubungan kita?"
Elena menggeleng cepat. "Bukan, bukan itu. Kau baik, Alex. Selalu baik. Tapi aku merasa seperti aku kehilangan kendali atas hidupku sendiri. Semua yang terjadi belakangan ini terasa begitu berat, dan aku merasa seperti tidak menjadi diriku yang dulu."
Alex terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-katanya. Ia tahu bahwa Elena sering menyembunyikan perasaannya, mencoba terlihat kuat, tetapi malam ini, ia bisa melihat betapa rapuhnya wanita itu.
"Aku mengerti," katanya akhirnya, suaranya lembut. "Kita semua pernah merasa seperti itu. Tapi, Elena, kau tidak harus menghadapi semua ini sendirian. Kalau kau merasa kehilangan arah, biarkan aku menemanimu. Kita bisa menemukan jalan bersama."
Elena menoleh padanya, matanya mulai berkaca-kaca lagi. "Tapi aku tidak ingin menjadi beban untukmu, Alex. Kau sudah cukup sibuk dengan pekerjaanmu."
Alex menghela napas, lalu berhenti di sisi jalan, mematikan mesin. Ia berbalik, menatap Elena dengan serius. "Dengar, kau bukan beban, dan kau tidak akan pernah menjadi beban. Kita adalah tim, Elena. "
Air mata akhirnya mengalir di pipi Elena. Ia memejamkan mata sejenak sebelum mengangguk. "Aku hanya takut, Alex. Takut bahwa aku akan mengecewakanmu."
Alex tersenyum tipis, menggenggam tangan Elena. "Kau tidak akan pernah mengecewakanku. Kau hanya manusia, sama seperti aku. Apa pun yang kau rasakan, kita bisa hadapi bersama. Oke?"
Elena mengangguk lagi, kali ini dengan keyakinan yang lebih besar. "Oke."
Alex menyalakan mesin mobil kembali, dan mereka melanjutkan perjalanan pulang. Meskipun malam itu penuh ketegangan dan emosi, mereka berdua tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Mereka tidak hanya selamat dari bahaya fisik, tetapi juga mulai memperbaiki jarak emosional yang selama ini membayangi hubungan mereka.
Saat mereka mendekati kota, Alex berkata sambil tersenyum kecil, mencoba meringankan suasana, "Besok pagi, kita sarapan bersama. Tapi aku yang pilih tempatnya. Tidak ada lagi petualangan tak terduga di malam hari, setuju?"
Elena tertawa kecil, suara yang sudah lama tidak terdengar. "Setuju. Tapi aku yang pilih menunya."
Dan untuk pertama kalinya malam itu, keduanya merasa lega, tahu bahwa mereka masih memiliki satu sama lain, apa pun yang terjadi.
***
Elena melirik Alex yang kembali fokus menyetir, wajahnya tampak tenang namun tetap serius, seperti biasa. Malam yang begitu menegangkan tadi masih terasa di dadanya, tetapi entah bagaimana, kehadiran Alex membuatnya merasa sedikit lebih aman. Ia tahu ia harus membentengi dirinya, menjaga jarak, mengingat perjanjian mereka: ini semua hanya sementara, sebuah kontrak yang akan berakhir.
Tapi malam ini, segalanya terasa berbeda. Ia melihat sisi Alex yang jarang muncul—sisi pria yang peduli, protektif, dan bersedia mempertaruhkan segalanya demi dirinya. Untuk sesaat, Elena melupakan alasan mengapa ia harus menjaga hati.
"Alex..." Elena memanggil pelan, mencoba mengalihkan pikirannya dari kebimbangan yang terus mengusiknya.
Alex menoleh sekilas, lalu kembali menatap jalan. "Ya?"
"Aku ingin berterima kasih," katanya pelan. "Untuk apa yang kau lakukan tadi. Kau bisa saja memilih untuk tidak mencariku, tapi kau tetap datang."
Alex menghela napas ringan, seperti menganggap ucapannya tidak perlu. "Kau tahu aku tidak akan membiarkanmu sendirian di tempat seperti itu, Elena. Kau mungkin lupa, tapi aku bertanggung jawab untukmu selama perjanjian ini berlangsung."
Kalimat itu seperti tamparan lembut bagi Elena. Tentu saja, ini hanya tanggung jawab. Bukan karena Alex memiliki perasaan yang lebih dari itu. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai kacau. Dia pria yang dingin, Elena. Jangan lupa.
Namun, suara hatinya yang lain berbisik, Tapi pria dingin itu adalah orang yang menyelamatkanmu malam ini.
"Aku tahu," jawab Elena akhirnya, mencoba menetralkan emosinya. "Tapi tetap saja, aku menghargainya."
Alex mengangguk singkat, tidak berkata apa-apa lagi. Keheningan kembali mengisi mobil, tetapi Elena merasa pikirannya penuh dengan suara. Ia mencoba mengingatkan dirinya tentang rencana awal: bertahan sampai kontrak selesai, lalu pergi tanpa membawa perasaan apa pun. Tapi mengapa rasanya semakin sulit?
Ketika mereka hampir sampai di mansion, Alex tiba-tiba berbicara, memecah lamunannya. "Besok, aku ingin kita bicara tentang apa yang kau rasakan. Aku tidak tahu banyak soal masalahmu, Elena, tapi aku ingin membantumu."
Elena terkejut mendengar nada serius dalam suaranya. Ia menoleh, melihat sekilas garis tegas di rahang Alex yang membuat pria itu terlihat semakin tampan. Hatinya berdegup lebih cepat, dan ia segera mengalihkan pandangan.
"Besok, ya?" jawab Elena pelan, tidak yakin apa yang harus ia katakan.
Alex mengangguk. "Ya. Tidak ada yang perlu kau sembunyikan dariku. Kalau kau butuh bantuan, kau hanya perlu mengatakannya."
Elena terdiam. Ia tahu ia harus menjaga jarak, tetapi malam ini, ia terlalu lelah untuk melawan perasaan yang mulai tumbuh di dalam hatinya. Mungkin, hanya untuk malam ini, ia bisa membiarkan dirinya merasa nyaman di dekat Alex. Besok adalah urusan lain.
Ketika mereka akhirnya tiba di mansion, Alex mematikan mesin dan menatap Elena. "Masuklah. Istirahat yang cukup. Kau butuh itu."
Elena tersenyum kecil, meskipun dalam hatinya masih ada perasaan yang bercampur aduk. "Kau juga, Alex. Terima kasih lagi."
Ia keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu, tetapi sebelum masuk, ia menoleh sekali lagi. Alex masih duduk di kursi pengemudi, menatapnya sebentar sebelum akhirnya melajukan mobilnya ke garasi.
Malam ini, Elena memutuskan untuk tidak memikirkan apa yang akan terjadi nanti. Pernikahan kontrak mereka, rencana ayahnya, atau bahkan benteng yang ia coba bangun di sekeliling hatinya. Yang penting baginya sekarang adalah bahwa ia merasa aman—dan untuk alasan yang sulit ia jelaskan, ia merasa bahagia. Bahkan jika itu hanya sesaat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments