Malam itu, Alex tiba di restoran mewah yang telah dipesan khusus untuk pertemuannya dengan kolega bisnisnya dari Vienna Group. Restoran itu dipenuhi cahaya temaram dan dekorasi elegan, menciptakan suasana yang hangat namun tetap formal.
Di meja sudut VIP, seorang pria paruh baya dengan jas mahal berdiri menyambut Alex. Namanya Mr. Karl, salah satu pemilik Vienna Group yang dikenal cerdas dan ambisius. Begitu Alex mendekat, mereka saling berjabat tangan dengan penuh keyakinan.
“Alexander, akhirnya kita bertemu. Saya sering mendengar nama Anda disebut-sebut dalam dunia bisnis. Pemuda yang tidak hanya tampan, tapi juga sangat sukses,” kata Mr. Karl sambil tersenyum lebar.
Alex hanya membalas dengan senyuman tipis, seperti biasanya. “Terima kasih, Mr. Karl. Saya juga banyak mendengar tentang reputasi Vienna Group. Suatu kehormatan bisa bekerja sama dengan Anda.”
Percakapan mereka berjalan lancar. Mereka membahas peluang kerja sama, target pasar, dan rencana strategis ke depan. Namun, di tengah pembicaraan, Mr. Karl tiba-tiba mengubah topik.
“Alex, Anda benar-benar pria yang luar biasa. Saya jarang bertemu seseorang dengan visi dan kemampuan seperti Anda di usia muda. Anda tahu, saya punya seorang putri yang cantik dan cerdas. Saya pikir Anda dan dia akan menjadi pasangan yang sempurna.”
Alex terdiam sejenak. Biasanya, ia akan mengalihkan pembicaraan seperti ini dengan mudah. Namun malam itu, ada sesuatu dalam dirinya yang ingin berkata jujur. Dengan nada tenang, ia menjawab, “Terima kasih atas tawarannya, Mr. Karl. Tapi saya harus mengatakan apa adanya—saya sudah menikah.”
Mr. Karl tampak terkejut, tapi kemudian tertawa hangat. “Oh, benar? Saya tidak tahu! Anda tidak pernah membicarakan istri Anda. Wanita yang berhasil mendapatkan Anda pasti sangat istimewa.”
Alex mengangguk kecil. “Ya, dia memang istimewa, meskipun hubungan kami tidak seperti kebanyakan pasangan. Tapi saya menghormatinya.”
Percakapan itu berlanjut tanpa banyak membahas soal pribadi lagi. Mr. Karl tampak menghormati jawaban Alex, meskipun terlihat sedikit kecewa karena rencananya menjodohkan Alex dengan putrinya tidak berjalan sesuai harapan.
Malam itu, saat perjalanan pulang, Alex merenung dalam mobilnya. Mengapa ia begitu spontan mengakui statusnya sebagai suami? Padahal ia bisa saja membiarkan hal itu berlalu tanpa penjelasan. Namun, di balik semua itu, ada perasaan yang sulit dijelaskan—seolah ia ingin memberikan tempat untuk Elena, meskipun hubungan mereka hanya sebatas kontrak.
***
Malam itu, saat Alex sampai di rumah, Elena sudah menunggunya di ruang depan, seperti biasanya. Namun, tidak ada sapaan ramah atau senyuman. Elena hanya mendekat dengan langkah tenang, mengambil tas kerja dan jas yang dikenakan Alex tanpa berkata apa-apa.
“Terima kasih,” gumam Alex singkat sambil melonggarkan dasinya.
Elena berjalan ke kamar mandi untuk menyiapkan air hangat dan pakaian santai untuknya. Dalam hati, ia masih merasa canggung dengan dinamika mereka, tetapi tanggung jawabnya sebagai "istri kontrak" membuatnya tetap menjalani perannya dengan baik.
Setelah memastikan semuanya siap, Elena kembali ke kamar Alex dan mengetuk pintu. “Air hangat sudah siap, dan ini pakaian santai Anda,” katanya sambil meletakkan pakaian itu di tempat tidur.
Namun, saat ia berbalik untuk pergi, matanya secara tidak sengaja menangkap pemandangan yang membuatnya terkejut. Alex berdiri di dekat lemari, dengan santainya melepaskan semua pakaiannya, hingga tubuhnya benar-benar polos. Ia tampak sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran Elena.
Mata Elena membelalak. Ia segera berusaha mengalihkan pandangannya, tetapi rasa malu sudah merambat ke seluruh wajahnya yang kini memerah. “Astaga,” gumamnya pelan, sambil menunduk tajam ke lantai untuk menutupi rasa malunya.
Alex, yang sedang mengambil handuk, menyadari sikap aneh Elena. Ia menoleh dengan ekspresi bingung. “Kenapa kamu menunduk seperti itu?” tanyanya dengan nada datar, meskipun sudut bibirnya tampak sedikit terangkat, seperti menahan tawa kecil.
Elena tidak berani menjawab, tetapi kegugupannya jelas terlihat. Ia menggerakkan tangan untuk melambai tanpa arah, mencoba memberi isyarat bahwa ia tidak mau membahasnya.
“Apakah ini pertama kalinya kamu melihat pria tanpa pakaian?” tanya Alex dengan nada yang setengah menggoda.
“Bukan urusan Anda!” balas Elena cepat, tapi suaranya bergetar.
Alex tertawa kecil, sesuatu yang jarang ia lakukan. “Kamu lucu,” katanya santai, lalu melilitkan handuk di pinggangnya. “Kamu bisa melihat ke atas sekarang. Tidak perlu terlalu kaku.”
Elena mengangkat wajahnya perlahan, tetapi matanya tetap menghindari Alex. “Lain kali beri tahu saya kalau Anda mau… begini,” katanya dengan gugup sebelum cepat-cepat keluar dari kamar, meninggalkan Alex yang masih tersenyum kecil.
Di luar kamar, Elena bersandar di dinding dan menghela napas panjang. "Astaga, kenapa dia harus begitu santai?" gumamnya pada diri sendiri, wajahnya masih terasa panas. Di sisi lain, Alex melanjutkan aktivitasnya dengan tenang, tetapi pikirannya terhibur oleh reaksi polos Elena.
***
Setelah kejadian tadi, Elena mencoba menenangkan dirinya di dapur. Ia merapikan beberapa piring yang sebenarnya tidak perlu disentuh, hanya untuk mengalihkan pikirannya. Namun, pikirannya masih berputar pada momen yang baru saja terjadi.
Sementara itu, Alex selesai mandi dan mengganti pakaian santainya. Ia turun ke ruang tengah, hanya untuk menemukan Elena masih sibuk sendiri di dapur. Tanpa banyak suara, ia berjalan mendekat, duduk di kursi bar dekat meja dapur.
“Kamu tidak perlu repot-repot menyiapkan apa pun untukku malam ini,” ucap Alex tiba-tiba, memecah keheningan.
Elena menoleh, sedikit terkejut dengan kehadirannya. “Oh... saya pikir Anda akan lapar.”
Alex menggeleng pelan. “Aku sudah makan malam dengan kolega bisnisku. Jadi, tidak ada makan malam untukku malam ini.”
“Oh, baiklah,” jawab Elena, sedikit gugup. Ia berusaha sibuk lagi dengan apa pun yang ada di depannya, meskipun sebenarnya tidak ada pekerjaan nyata yang perlu dilakukan.
Alex memperhatikan gerak-geriknya. Mata tajamnya menangkap setiap detail—dari cara Elena menghindari tatapan hingga raut wajahnya yang masih memerah samar.
“Kamu masih malu soal tadi?” tanya Alex tiba-tiba, membuat Elena berhenti di tempat.
Elena segera menggeleng. “Tidak… tentu saja tidak! Kenapa saya harus malu?” ucapnya, meski nada suaranya jelas tidak meyakinkan.
Alex menyandarkan punggungnya ke kursi, menatapnya dengan ekspresi datar namun sedikit menggoda. “Kamu tidak pandai berbohong, Elena.”
Elena mendesah panjang, akhirnya menyerah. “Baik, mungkin sedikit. Tapi Anda juga… bisakah lain kali tidak begitu santai?”
Alex tersenyum tipis, hampir tidak terlihat. “Itu rumahku, Elena. Aku berhak merasa santai. Lagipula, kamu harus mulai terbiasa. Kita ini pasangan, meskipun hanya di atas kertas.”
Kata-kata itu membuat Elena semakin bingung. Ia hanya mengangguk singkat, tidak ingin memperpanjang diskusi. Setelah itu, keheningan kembali menyelimuti mereka.
“Kalau tidak ada yang lain, saya akan ke kamar,” kata Elena akhirnya, mengambil langkah mundur.
Alex mengangguk tanpa berkata apa-apa, tetapi sebelum Elena pergi, ia menambahkan, “Elena.”
Elena berhenti, menoleh dengan sedikit ragu.
“Terima kasih untuk semuanya hari ini,” ucap Alex singkat. Suaranya tenang, tapi ada ketulusan yang tidak biasa terdengar darinya.
Elena tertegun sesaat sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Sama-sama.”
Ia kemudian berbalik, meninggalkan Alex yang masih duduk di sana, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Malam itu, ada sesuatu yang berbeda di antara mereka—sesuatu yang tidak mereka ucapkan, tetapi perlahan mulai terasa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments