Pagi itu, Alex dan Elena duduk di sebuah kafe kecil dengan suasana yang hangat. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar membuat suasana terasa nyaman, kontras dengan malam kelam yang mereka lalui sebelumnya. Alex memesan kopi hitam sementara Elena memesan teh chamomile, mencoba menenangkan dirinya setelah semua yang terjadi.
Alex menatap Elena dengan tenang, menunggu wanita itu berbicara. Ia tahu Elena membawa beban berat, dan ia ingin memberinya ruang untuk mengungkapkan semuanya.
Setelah beberapa tegukan teh, Elena akhirnya memulai. "Alex, aku ingin menceritakan sesuatu. Tapi... aku tidak tahu apakah kau akan mengerti."
Alex meletakkan cangkir kopinya, menatap Elena dengan serius. "Coba aku dulu. Aku akan mencoba mengerti, Elena. Katakan saja."
Elena menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Tadi malam... aku pergi karena aku habis bertemu dengan ayahku. Aku pikir mungkin, kali ini, aku bisa berbicara dengannya, membuat hubungan kami lebih baik. Tapi ternyata, dia masih sama seperti dulu." Suaranya mulai bergetar. "Dia membentakku, menyalahkanku untuk hal-hal yang bahkan tidak masuk akal. Dan... dia memukulku lagi."
Alex mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba menahan amarah yang mulai membara di dalam dirinya. "Dia memukulmu?" suaranya pelan tapi penuh dengan kemarahan yang terpendam.
Elena mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. "Dia selalu begitu, Alex. Sejak kecil. Aku pikir, mungkin, kalau aku mencoba lagi... dia akan berubah. Tapi ternyata aku salah. Aku terlalu naif untuk berpikir bahwa dia bisa menjadi ayah yang baik."
Alex menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan amarahnya. "Dan setelah itu, kau memutuskan pergi begitu saja? Tanpa memberitahu siapa pun?"
Elena menunduk, merasa bersalah. "Aku tidak tahu harus ke mana. Aku hanya berjalan tanpa tujuan, mencoba menenangkan pikiranku. Tapi malah berakhir di tempat yang tidak seharusnya."
Alex menatapnya dengan tajam, tetapi ada kelembutan di matanya. "Elena, aku tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi lagi. Kau tidak boleh kembali ke rumah itu sendirian. Kalau dia memukulmu lagi, aku tidak akan tinggal diam."
Elena tersenyum pahit. "Aku tahu kau ingin melindungiku, Alex. Tapi ini masalahku. Aku yang harus menghadapi ayahku. Aku hanya tidak tahu bagaimana caranya menyadarkan dia."
Alex menggeleng pelan. "Ini bukan hanya masalahmu, Elena. Kalau dia menyakitimu, itu juga masalahku. Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya sendiri. Ayahmu mungkin sulit dihadapi, tapi kau tidak sendirian."
Elena terdiam, merasa tersentuh oleh kata-kata Alex. Ia menatap pria itu, wajahnya yang dingin tampak begitu kokoh, seperti batu karang di tengah badai. Ia merasa lega, meskipun hanya sedikit, bahwa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya.
"Terima kasih, Alex," katanya pelan, suaranya dipenuhi dengan emosi. "Aku hanya ingin... aku hanya ingin dia tahu bahwa aku adalah anaknya, bukan musuhnya."
Alex mengangguk. "Kita akan cari cara. Tapi untuk sekarang, fokuslah pada dirimu sendiri. Kau butuh kekuatan untuk menghadapi ini, dan aku akan ada di sini untuk memastikan kau mendapatkannya."
Elena tersenyum kecil, meskipun matanya masih menunjukkan kesedihan. Pagi itu, mereka melanjutkan sarapan dalam keheningan, tetapi keheningan itu tidak kosong. Di dalamnya ada rasa saling pengertian, dan perlahan, Elena merasa bahwa meskipun jalannya sulit, ia tidak sepenuhnya sendirian. Alex adalah seseorang yang, tanpa ia sadari, mulai ia percayai lebih dari siapa pun.
***
Alex menyesap kopi hitamnya perlahan, tetapi tatapannya tetap fokus pada Elena. Ada kekhawatiran yang bercampur dengan nada serius saat ia akhirnya berbicara lagi.
"Elena," katanya dengan tenang namun tegas, "kenapa kau tidak berpamitan padaku saat ingin menemui ayahmu? Aku bisa mengatur bodyguard untuk menemanimu. Kalau sesuatu yang lebih buruk terjadi, aku tidak akan pernah memaafkan diriku."
Elena menghela napas, menunduk sejenak sambil memutar-mutar cangkir tehnya di atas meja. "Aku tidak ingin merepotkanmu, Alex," jawabnya pelan. "Lagipula, aku pikir aku bisa mengatasinya sendiri. Aku sudah terbiasa dengan sikap ayahku sejak kecil."
Alex mengerutkan alisnya, rasa kesalnya mulai terlihat. "Itu bukan alasan, Elena. Terbiasa tidak berarti kau harus menerima perlakuan seperti itu. Dan kau tidak merepotkanku. Aku punya tanggung jawab untuk memastikan kau aman, terutama selama perjanjian ini."
Elena terdiam, menatap luka kecil di lengannya yang tersembunyi di balik lengan panjang sweaternya. Luka itu masih terasa perih, bukan hanya karena fisiknya, tetapi juga karena hatinya yang terluka oleh kenyataan bahwa ayahnya tidak pernah berubah.
"Ini hanya luka kecil," gumamnya, mencoba meredakan ketegangan. "Tidak perlu khawatir berlebihan."
Alex mendesah, matanya menatap luka itu dengan intensitas yang membuat Elena merasa sedikit gelisah. "Luka kecil ini bisa menjadi luka besar kalau aku tidak datang tadi malam," katanya dingin. "Dan lebih dari itu, kau tidak seharusnya membiarkan dirimu diperlakukan seperti ini oleh siapa pun, bahkan oleh ayahmu."
Elena merasa hatinya bergetar mendengar nada tegas Alex. Ia tahu pria itu benar, tetapi ada bagian dari dirinya yang masih merasa bahwa ini adalah beban yang harus ia tanggung sendiri.
"Aku hanya tidak tahu harus bagaimana, Alex," akhirnya ia mengaku. "Setiap kali aku mencoba mendekatinya, selalu berakhir seperti ini. Aku ingin menyadarkan dia, tapi dia terlalu keras kepala. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan."
Alex terdiam sejenak, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Kalau kau ingin menyadarkan dia, kita akan cari caranya. Tapi mulai sekarang, Elena, jangan pergi sendirian. Jika kau ingin bertemu ayahmu lagi, aku akan mengatur segalanya. Kau tidak perlu menghadapi ini sendirian."
Elena menatap Alex, matanya dipenuhi campuran emosi. "Kau tidak perlu melakukan semua ini, Alex. Ini bukan tanggung jawabmu."
Alex tersenyum tipis, tetapi senyum itu penuh arti. "Mungkin tidak. Tapi aku memilih untuk peduli, Elena. Itu sudah cukup bagiku."
Elena tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata Alex begitu sederhana, tetapi masuk jauh ke dalam hatinya. Pagi itu, ia merasa bahwa Alex bukan hanya sekadar pria tampan berwajah dingin yang terikat kontrak dengannya. Ada sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang membuat Elena merasa bahwa, untuk pertama kalinya, ada seseorang yang benar-benar ingin melindunginya tanpa syarat.
Sementara itu, Alex, meskipun masih terlihat tenang, diam-diam berjanji pada dirinya sendiri. Apa pun yang terjadi, ia tidak akan membiarkan Elena terluka lagi, baik secara fisik maupun emosional. Ia tahu bahwa wanita ini mulai menyentuh hatinya, meskipun ia belum berani mengakuinya. Alex ingin memastikan kembali apa ia rasakan ini benar atau salah. Apalagi masalah bertambah lagi kala ayahnya menjodohkan dirinya dengan Sofia. Membuat kepala Alex rasanya mau pecah. Alex selama ini sudah hidup tenang. Tapi kenapa tiba-tiba ayahnya mengubungi nya. Atau sengaja ayahnya melakukan ini semua. Karena seorang Romanov tidak mungkin tidak tahu pergerakan anaknya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments