Keesokan harinya, Alex kembali berkumpul dengan teman-temannya di sebuah lounge mewah di pusat kota. Seperti biasa, Vincent dan teman-teman lainnya menciptakan suasana penuh tawa dan tantangan. Hari ini, mereka memutuskan untuk bermain sebuah permainan kartu sederhana, namun dengan taruhan yang tidak biasa.
“Baiklah, ini aturan mainnya,” ucap Vincent sambil mengocok kartu. “Siapa pun yang kalah, harus minum. Tapi kali ini, minumannya spesial—whisky campur ramuan rahasia!” katanya dengan nada menggoda, disambut tawa riuh teman-temannya.
Alex, yang biasanya tenang dan tak terlalu terpengaruh suasana, hanya mengangguk kecil. Namun, malam ini keberuntungannya benar-benar buruk. Ia kalah terus-menerus, dan setiap kali itu terjadi, Vincent dengan senang hati menuangkan whisky campuran itu untuknya.
“Ayo, Alex! Minum saja, jangan terlalu serius!” seru Vincent sambil tertawa.
Alex mengangkat gelasnya dan menenggak isinya tanpa ragu. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Ada sesuatu yang aneh dalam minuman itu—panas yang menjalar cepat ke seluruh tubuhnya, membuat pikirannya mulai kabur dan tubuhnya terasa tidak nyaman.
Setelah beberapa putaran lagi, Alex akhirnya mengangkat tangan. “Aku pulang dulu,” katanya singkat, suaranya terdengar berat.
“Ah, lemah sekali kau, Alex!” ejek Vincent. Tapi Alex mengabaikannya. Ia hanya ingin segera meninggalkan tempat itu.
Sesampainya di rumah, tubuh Alex terasa semakin tidak terkendali. Nafasnya memburu, suhu tubuhnya meningkat, dan pikirannya berkabut. Ia berjalan sempoyongan masuk ke dalam mansion, dan di ruang tengah, ia melihat Elena yang baru saja selesai membaca sebuah buku.
Elena segera bangkit, melihat keadaan Alex yang tidak seperti biasanya. “Alex? Kamu kenapa?” tanyanya dengan nada cemas, mendekat untuk membantunya.
Namun, Alex tidak menjawab. Pandangannya tajam, tapi kosong. Tanpa sadar, ia meraih pergelangan tangan Elena, menariknya mendekat.
“Alex, tunggu, ada apa denganmu?” tanya Elena lagi, mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman Alex terlalu kuat.
Nafas Alex semakin memburu. Panas di tubuhnya memuncak, dan tanpa bisa mengendalikan dirinya, ia menyeret Elena ke kamar. Elena yang polos tak mengerti apa yang terjadi hanya bisa kebingungan dan panik.
“Alex, hentikan! Kamu tidak sadar apa yang kamu lakukan!” serunya, tapi Alex tidak mendengarkan.
Dalam kabut pikirannya yang terganggu oleh pengaruh whisky dan obat perangsang, Alex mendekap Elena dengan erat, menenggelamkan dirinya dalam kehangatan wanita itu. Elena hanya bisa bergetar, antara takut dan bingung, saat tubuh mereka semakin dekat hingga batas yang tak pernah ia bayangkan.
Malam itu, Alex meniduri Elena, meski ia tidak sepenuhnya sadar akan apa yang dilakukannya. Elena yang polos dan belum pernah merasakan kedekatan seperti itu hanya bisa menahan malu dan perasaan yang bercampur aduk.
Ketika segalanya usai, Alex perlahan tersadar. Matanya melebar saat ia melihat Elena yang menangis dalam diam di sisinya.
“Elena…” gumam Alex, suara penuh penyesalan, tetapi kata-katanya terhenti di tenggorokan. Ia tahu bahwa malam ini akan mengubah segalanya di antara mereka.
***
Malam itu terasa begitu panjang bagi Elena. Entah berapa kali Alex meniduri dirinya dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar. Tubuh Alex yang dipengaruhi campuran alkohol dan obat perangsang membuatnya tak terkendali. Ia begitu kuat, berulang kali menuntut keintiman tanpa memberi Elena kesempatan untuk beristirahat.
Elena, yang sama sekali tidak berpengalaman dalam hal ini, hanya bisa pasrah. Awalnya ia berusaha menolak, mencoba menyadarkan Alex, tapi setiap kali ia melakukannya, Alex hanya semakin mendekapnya lebih erat.
“Alex... cukup... aku tidak bisa lagi,” bisik Elena dengan suara lirih, tubuhnya terasa lelah dan kewalahan. Namun, Alex seakan tidak mendengar.
Hingga menjelang subuh, Alex akhirnya berhenti. Tubuhnya jatuh di samping Elena, napasnya terengah-engah, dan akhirnya ia tertidur dengan lelap. Elena, di sisi lain, hanya bisa terbaring diam. Matanya memandang langit-langit kamar dengan air mata yang mengalir perlahan. Ia merasa tubuhnya lelah, tapi pikirannya lebih lelah lagi.
Perasaan campur aduk menyelimuti dirinya. Apakah ini kesalahan? Apakah Alex sadar dengan apa yang telah terjadi? Dan yang paling membingungkannya, mengapa ia tidak bisa benar-benar marah pada pria itu?
Saat cahaya pagi mulai masuk melalui celah tirai, Elena perlahan bangkit dari tempat tidur. Tubuhnya terasa berat, setiap langkah seperti menguras tenaganya. Ia menutupi dirinya dengan selimut, lalu berjalan keluar kamar, meninggalkan Alex yang masih tertidur lelap.
Di dapur, Elena duduk di kursi, memegang secangkir teh hangat yang hampir tidak ia sentuh. Pikirannya penuh dengan pertanyaan, namun tidak ada jawaban yang bisa ia temukan.
Sementara itu, di kamar, Alex perlahan terbangun. Kepalanya terasa berat, tubuhnya masih lelah, dan perlahan ia mulai mengingat apa yang terjadi semalam. Wajahnya berubah tegang. Ia menatap tempat tidur yang kini kosong di sampingnya.
“Elena…” gumamnya pelan. Perasaan bersalah mulai menghantui dirinya. Apa yang telah ia lakukan? Apa yang akan terjadi setelah ini?
Dengan cepat, Alex bangkit, mengenakan pakaian seadanya, lalu keluar kamar untuk mencari Elena. Ia tahu bahwa ia harus menghadapi konsekuensi dari apa yang telah terjadi, dan yang lebih penting, ia harus berbicara dengan Elena, meskipun itu tidak akan mudah.
***
Alex menemukan Elena di dapur, duduk di kursi dengan secangkir teh yang hampir tak tersentuh di depannya. Wajah Elena terlihat pucat, matanya sedikit bengkak akibat kurang tidur dan air mata yang semalam sempat mengalir.
“Elena,” panggil Alex dengan suara rendah.
Elena menoleh perlahan, ekspresinya kosong. “Apa yang Anda mau, Alex?” tanyanya tanpa emosi, tapi nada suaranya tidak bisa menyembunyikan kelelahan dan kebingungannya.
Alex menghela napas panjang. “Kita perlu bicara. Ikut aku ke ruang kerja.”
Elena ragu sejenak, tetapi akhirnya berdiri dan mengikuti Alex menuju ruang kerja yang sunyi. Setelah mereka masuk, Alex menutup pintu dan mengisyaratkan Elena untuk duduk di kursi di depan mejanya.
Alex berjalan ke belakang meja, berdiri dengan tangan bersandar di tepi meja. Ia menatap Elena, yang terlihat lebih kecil dan rapuh dibanding biasanya. Hening sejenak, sebelum akhirnya Alex berbicara.
“Elena, aku... aku ingin meminta maaf,” katanya, suaranya terdengar tulus meskipun berat. “Apa yang terjadi semalam… itu bukan sesuatu yang seharusnya terjadi seperti itu. Aku kehilangan kendali, dan aku tahu itu salahku.”
Elena tidak segera menjawab. Ia menunduk, menggenggam kedua tangannya di pangkuannya. Setelah beberapa saat, ia berkata pelan, “Saya tidak tahu harus berkata apa, Alex. Saya tidak marah... tapi saya juga tidak tahu bagaimana perasaan saya sekarang.”
Alex mengangguk pelan. “Aku mengerti. Aku hanya ingin memastikan satu hal, Elena. Jika—dan ini hanya kemungkinan—jika suatu hari nanti kau hamil karena apa yang terjadi semalam, aku ingin kau tahu bahwa aku akan bertanggung jawab penuh.”
Elena menatap Alex dengan mata terkejut. “Anda bicara tentang... anak?”
“Ya,” jawab Alex tegas. “Jika itu terjadi, aku tidak akan lari dari tanggung jawabku. Aku akan memastikan kau dan anak itu mendapatkan semua yang kalian butuhkan. Bukan hanya dalam hal materi, tapi juga perhatian dan perlindungan.”
Elena menggigit bibir bawahnya, merasa hatinya berdesir aneh mendengar kata-kata Alex. Ia tidak pernah membayangkan percakapan seperti ini akan terjadi, apalagi dengan pria yang awalnya hanya menjadi suaminya dalam perjanjian kontrak.
“Kenapa Anda berkata seperti itu, Alex? Bukankah kita hanya terikat dalam perjanjian? Anak... bukan bagian dari rencana ini,” ucap Elena dengan suara hampir berbisik.
Alex menghela napas lagi, kali ini lebih berat. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu bahwa hubungan kita sudah melewati batas perjanjian itu. Dan aku tidak akan mengabaikan konsekuensinya, Elena. Aku serius.”
Elena menatapnya dalam diam. Ia tidak tahu apakah ia harus merasa lega atau takut. Tapi di balik ketidakpastian itu, ada perasaan aneh yang mulai tumbuh—kepercayaan pada pria di depannya, meskipun hubungannya dengan Alex selalu penuh teka-teki.
“Baik,” jawab Elena akhirnya, suaranya nyaris tidak terdengar. “Kalau memang itu yang terjadi, saya akan mempercayai kata-kata Anda, Alex.”
Alex mengangguk, merasa sedikit lega. Namun, ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang. Dengan hubungan yang kini semakin rumit, mereka harus menghadapi banyak hal—bersama-sama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments