Elena merasa seperti hidup dalam sebuah rutinitas tanpa akhir. Setiap pagi, ia harus memastikan segala sesuatu sudah siap sebelum Alexander bangun. Sarapan harus tersaji di meja dengan sempurna—kopi hitam tanpa gula yang selalu harus panas, roti yang dipanggang dengan tingkat kecokelatan tertentu, dan koran bisnis yang sudah tertata rapi di sebelah piringnya.
Setelah itu, ia harus memastikan pakaian kerja Alexander sudah sesuai dengan jadwalnya. Jika ia menghadiri rapat dengan mitra bisnis, jas hitam klasik dipadukan dengan dasi biru tua adalah pilihannya. Jika ada makan malam formal, setelan tiga potong dengan sentuhan warna yang lebih elegan menjadi keharusan.
Alexander tidak pernah memintanya secara langsung, tetapi tekanannya begitu jelas. Segala sesuatunya harus sempurna, atau tatapan dingin Alexander akan menjadi pengingat bahwa ia tidak mentolerir kesalahan sekecil apa pun.
Sebuah Kesalahan Kecil
Suatu pagi, Elena terlambat bangun beberapa menit. Ketika ia turun ke ruang makan, ia melihat Alexander sudah duduk di kursinya, menatap meja kosong dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Elena,” panggilnya pelan namun penuh makna.
Elena merasa tubuhnya menegang. “Maafkan aku. Aku akan segera menyiapkan sarapanmu.”
Alexander menatapnya saat ia bergegas ke dapur. “Aku tidak suka menunggu,” ucapnya dingin.
Elena tidak mengatakan apa pun, tetapi dalam hatinya, ia merasa semakin terkikis. Sejak menikah, ia telah melakukan segalanya untuk memenuhi standar Alexander, tetapi tetap saja, satu kesalahan kecil sudah cukup untuk membuat pria itu menunjukkan ketidakpuasannya.
Saat ia meletakkan cangkir kopi di meja, tangannya sedikit gemetar. Alexander mengambil cangkir itu dan mencicipi kopinya. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi Elena tahu bahwa ia sedang menilai setiap detail—suhu, rasa, bahkan cara cangkir itu disajikan.
“Kau harus lebih memperhatikan waktu,” katanya akhirnya, sebelum melanjutkan membaca korannya.
Elena hanya mengangguk, menahan amarah yang mulai membara di dalam dirinya.
Percakapan dengan Clara
Clara, yang biasanya membantu Elena di mansion, memperhatikan kelelahan di wajahnya.
“Nona Elena,” kata Clara suatu hari saat mereka berada di dapur. “Anda tidak bisa terus hidup seperti ini. Anda butuh waktu untuk diri sendiri.”
Elena tersenyum pahit. “Aku sudah mencoba, Clara. Tapi Alexander memiliki standar yang tidak mungkin diturunkan. Jika aku membuat kesalahan, dia akan mengingatkanku. Kadang dengan kata-kata, kadang hanya dengan tatapannya. Tapi semuanya terasa seperti beban.”
Clara menatapnya dengan simpati. “Mungkin Anda harus berbicara dengannya. Katakan padanya bagaimana perasaan Anda.”
Elena tertawa kecil, tetapi tanpa humor. “Kau pikir Alexander Romanov peduli pada perasaan? Dia hanya peduli pada hasil.”
Konfrontasi Malam Hari
Malam itu, setelah memastikan Alexander sudah selesai makan malam, Elena memutuskan untuk berbicara. Ia menemukannya di ruang kerja, seperti biasa, sibuk dengan dokumen dan laptopnya.
“Alexander,” panggilnya sambil berdiri di depan mejanya.
Alexander mengangkat wajah, alisnya sedikit terangkat. “Ada apa?”
Elena menarik napas dalam-dalam. “Aku lelah. Aku merasa seperti pelayan di rumah ini, bukan istrimu.”
Alexander menutup laptopnya dengan tenang, lalu menatapnya. “Apa yang kau harapkan, Elena? Pernikahan kita adalah kesepakatan. Aku membutuhkan seseorang yang dapat menjaga semuanya tetap teratur, dan kau tahu itu sejak awal.”
“Tapi aku manusia, Alexander,” balas Elena dengan suara yang hampir bergetar. “Aku bisa membuat kesalahan. Dan aku butuh lebih dari sekadar menjadi ‘penjaga keteraturan’-mu. Aku butuh pengakuan, penghargaan, sesuatu yang membuatku merasa berarti.”
Alexander terdiam sejenak, sorot matanya yang biasanya dingin kini tampak sedikit melunak. “Kau ingin pengakuan? Baiklah. Aku mengakui bahwa kau telah melakukan pekerjaan yang luar biasa. Tapi dunia ini, Elena, tidak memberi ruang untuk kelemahan. Jika aku terlihat lemah, segalanya akan runtuh. Dan aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.”
“Tapi aku bukan dunia luar, Alexander,” kata Elena dengan suara pelan namun tegas. “Aku adalah istrimu.”
Alexander menatapnya lama, seolah sedang memikirkan sesuatu yang sulit untuk diucapkan. Akhirnya, ia berkata, “Aku akan mencoba. Tapi jangan berharap perubahan instan dariku.”
Elena hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. Mungkin Alexander memang tidak akan pernah berubah. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, ia melihat sisi yang lebih manusiawi dari pria dingin dan perfeksionis itu.
***
Pagi itu, Alexander memutuskan untuk berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Tanpa banyak basa-basi, ia meninggalkan rumah mewah yang kini terasa lebih sunyi. Tidak ada lagi obrolan singkat atau diskusi kecil dengan Elena, istri kontraknya. Setelah percakapan terakhir mereka yang tegang, Alex merasa jarak di antara mereka semakin lebar.
Sesampainya di kantor, Alex langsung disambut oleh suasana sibuk seperti biasa. Para karyawan tampak hilir mudik, membawa berkas atau sibuk berbicara di telepon. Asisten pribadinya, Clara, sudah menunggunya di depan pintu ruangannya dengan setumpuk dokumen di tangan.
“Selamat pagi, Pak Alex. Ini dokumen yang membutuhkan tanda tangan Anda, dan ini beberapa proposal kerja sama yang perlu Anda tinjau,” ucap Clara, menyerahkan berkas dengan cekatan.
Alex mengangguk singkat tanpa banyak bicara. Ia segera duduk di kursinya yang nyaman, membuka map pertama, dan mulai membaca. Di dalamnya ada kontrak-kontrak penting, laporan keuangan, dan beberapa undangan kerja sama dari perusahaan besar.
Salah satu dokumen menarik perhatiannya. Sebuah ajakan kerja sama dari perusahaan internasional yang berpotensi besar meningkatkan reputasi perusahaannya. Namun, Alex juga tahu bahwa langkah ini tidak bebas risiko. Ia memutuskan untuk menjadwalkan rapat dengan timnya agar mendapatkan analisis lebih mendalam.
Hari itu berlalu dengan cepat. Alex tenggelam dalam rutinitas membaca, menganalisis, dan menandatangani dokumen. Saat istirahat makan siang tiba, Clara sempat menyarankan agar ia makan sesuatu. Namun, Alex hanya menjawab dengan senyuman tipis dan melanjutkan pekerjaannya.
Kantornya mungkin penuh aktivitas, tapi di dalam dirinya, ada ruang kosong yang sulit diabaikan. Ruang itu semakin terasa saat ia mengingat Elena. Meski hubungannya dengannya hanyalah sebuah kesepakatan, Alex tidak bisa menyangkal bahwa ia merindukan kehadiran wanita itu.
Namun, ia segera mengesampingkan pikirannya dan kembali fokus pada pekerjaannya. Baginya, bisnis adalah prioritas, dan perasaan pribadi—apalagi yang bercampur aduk seperti itu—tidak boleh mengganggu.
Menjelang sore, setelah tanda tangan terakhir selesai, Alex menyandarkan punggungnya ke kursi. "Hari ini selesai," gumamnya pelan, meski ia tahu bahwa pekerjaan besok sudah menanti.
***
Clara mengetuk pintu ruang kerja Alex untuk kedua kalinya sore itu. Ia membawa sebuah tablet dan catatan kecil. “Pak Alex, jangan lupa, malam ini Anda masih ada jadwal meeting dengan kolega dari Vienna Group pukul delapan malam,” katanya dengan nada formal namun ramah.
Alex hanya mengangguk singkat tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia kembali menatap meja kerjanya, terlihat dingin seperti biasanya. Clara sudah terbiasa dengan sikap seperti itu. Ia pun meninggalkan ruangan dengan tenang.
Setelah Clara pergi, Alex merasa ada sedikit waktu luang di antara pekerjaannya. Ia mengambil MacBook yang ada di mejanya dan mengetikkan akses ke sistem CCTV mansionnya. Awalnya, ia hanya berniat mengecek keadaan rumah secara umum, memastikan semuanya aman. Namun, tanpa sadar, matanya mencari sosok Elena.
Layar laptop menunjukkan Elena di taman belakang mansion. Ia sedang berusaha memangkas ranting pohon kecil, meskipun terlihat jelas bahwa ia tidak memiliki banyak pengalaman berkebun. Beberapa kali Elena mencoba memotong dahan yang terlalu tinggi, hingga akhirnya menyerah dan memutuskan menggunakan bangku kecil untuk menjangkau lebih tinggi.
Namun, bangku itu tampak goyah. Elena hampir kehilangan keseimbangan dan dengan refleks melompat turun. Gerakannya begitu canggung, hingga ia terduduk di rumput sambil tertawa kecil pada dirinya sendiri. Di sampingnya, seekor kucing berbulu abu-abu—yang entah kapan ia adopsi—menghampirinya, seolah mengejek dengan mengibas-ngibaskan ekornya di wajah Elena.
Alex tanpa sadar menyunggingkan senyum tipis. Hampir tidak terlihat, tetapi cukup untuk menghangatkan dinginnya suasana hatinya. Ia jarang melihat sisi Elena yang seperti itu—santai, alami, dan tanpa kepura-puraan.
Senyum itu hanya berlangsung beberapa detik sebelum Alex mengembalikan ekspresi dinginnya. Ia mematikan CCTV dan menutup laptopnya. “Dia benar-benar aneh,” gumamnya pelan, meski ada nada hangat dalam suaranya yang jarang muncul.
Kembali ke pekerjaannya, Alex mencoba fokus, tetapi bayangan Elena yang tertawa sendiri di taman tetap saja terlintas di pikirannya. Untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa suasana hatinya sedikit lebih ringan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments