Alex berjalan dengan langkah mantap menuju ruang kerjanya, menyisakan Elena yang masih berdiri di ruang tamu. Wajahnya kembali ke ekspresi dingin dan tidak terbaca, seperti dinding yang tidak bisa ditembus. Ia membuka pintu ruang kerjanya, masuk, dan menutup pintu dengan sedikit tenaga lebih dari yang diperlukan. Di balik pintu itu, ia menghela napas panjang, mencoba mengusir segala kekacauan yang menghantui pikirannya.
Ia duduk di kursi kulit yang nyaman, menatap layar laptop di depannya tanpa benar-benar melihatnya. Cerita Elena tadi terus terngiang di kepalanya, menggali kenangan yang sudah lama ia coba kubur dalam-dalam. Luka-luka emosional dari masa lalunya, rasa kecewa terhadap keluarganya, dan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab tentang ibunya—semua itu mendesaknya seperti gelombang pasang.
"Kenapa aku masih memikirkan semua ini?" gumamnya, frustrasi. Ia memijat pelipisnya, mencoba mengalihkan pikirannya ke pekerjaan yang menumpuk. Tetapi kali ini, bahkan angka-angka dan laporan bisnis tidak bisa membantunya melupakan apa yang ia rasakan.
Di sisi lain rumah, Elena berjalan menuju dapur bersama salah satu pelayan, Via, yang sudah cukup lama bekerja di rumah itu. Elena merasa lebih nyaman bersama para pelayan, mungkin karena mereka lebih hangat dan terbuka dibandingkan Alex yang selalu kaku dan sulit ditebak.
"Bu Elena, mau teh hangat?" tanya Via dengan senyum ramah.
"Tentu, Via. Teh hangat sepertinya cocok untuk menghabiskan siang ini," jawab Elena dengan senyum lembut. Ia duduk di salah satu kursi dapur yang menghadap taman belakang. Beberapa pelayan lainnya juga mulai bergabung, mereka berbicara tentang hal-hal sederhana—menu makan malam, bunga di taman, atau kisah lucu dari hari-hari mereka bekerja di rumah itu.
Elena menikmati percakapan ringan ini. Di tengah semua kekacauan emosionalnya, momen-momen seperti ini membuatnya merasa lebih manusiawi. Ia tahu bahwa Alex tidak akan memahami betapa pentingnya hal-hal kecil ini bagi dirinya, tetapi Elena tidak terlalu memikirkannya. Ia hanya ingin menikmati waktu yang ada, mengalihkan pikirannya dari masalahnya sendiri.
Namun, di tengah tawa kecil mereka, Elena sesekali melirik ke arah ruang kerja Alex, tempat pria itu mengurung diri. Kenapa dia terlihat begitu murung tadi? pikir Elena. Meski Alex berusaha menyembunyikannya, Elena tahu ada sesuatu yang mengganggu pria itu.
Di ruang kerja, Alex membuka salah satu laci meja kerjanya dan mengeluarkan sebuah bingkai foto kecil yang sudah lama ia simpan. Foto itu adalah satu-satunya kenangan yang ia miliki bersama ibunya—wanita yang telah menghancurkan pernikahan orang lain, tetapi tetap ia cintai sebagai ibunya sendiri.
Ia menatap foto itu lama, perasaan campur aduk memenuhi hatinya. Kenapa kau membuatku tumbuh dalam kekacauan ini, Bu? pikirnya, matanya melembut sejenak. Tetapi kemudian ia mengeraskan hatinya kembali, meletakkan foto itu kembali ke laci, dan menutupnya rapat-rapat.
"Sudah cukup," gumam Alex. Ia memutuskan untuk mengalihkan perhatian sepenuhnya ke pekerjaannya, menekan semua emosi yang membanjiri pikirannya. Karena begitulah cara Alex bertahan selama ini: menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan, menciptakan jarak antara dirinya dan dunia yang menurutnya penuh dengan pengkhianatan.
***
Sore itu terasa panjang bagi Alex. Di ruang kerjanya, ia mencoba memfokuskan diri pada laporan yang menumpuk, tetapi pikirannya terus mengembara. Semua cerita Elena—tentang ayahnya, luka di lengannya, dan keputusasaan yang membawa wanita itu ke jalan yang berbahaya—membuat Alex kembali terjebak dalam kenangan yang seharusnya ia tinggalkan.
Ia akhirnya berdiri dari kursinya, berjalan menuju jendela besar yang menghadap taman belakang. Dari situ, ia melihat Elena sedang berbicara dengan para pelayan, tertawa kecil sambil menyeruput teh hangat. Pemandangan itu membuatnya berhenti sejenak, dadanya terasa aneh. Bagaimana dia bisa terlihat begitu tenang setelah semua yang dia alami? pikir Alex. Ia mengagumi kekuatan Elena, meskipun ia tidak pernah mengakuinya.
Namun, ada bagian dalam dirinya yang merasa takut. Takut bahwa semakin lama Elena berada di rumah ini, semakin besar kemungkinan dia akan mengetahui luka-luka tersembunyi yang Alex coba sembunyikan dari semua orang—bahkan dari dirinya sendiri.
Di taman belakang, Elena menyadari tatapan Alex dari jendela lantai atas. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi sulit. Ada sesuatu yang misterius dan menyedihkan tentang pria itu, sesuatu yang membuat Elena merasa ingin tahu, meskipun ia tahu Alex tidak akan mudah membiarkannya masuk ke dunianya.
Via menyadari Elena melamun. "Bu Elena, Anda baik-baik saja?" tanya Via, menatapnya dengan khawatir.
Elena tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja, Via. Hanya... memikirkan sesuatu."
Sofia mengangguk, tetapi ia tidak yakin. "Tuan Alex memang begitu, ya? Sulit ditebak," katanya dengan hati-hati.
Elena menghela napas panjang. "Iya. Dia seperti teka-teki yang sulit dipecahkan. Tapi aku rasa itu bukan urusanku."
Via tersenyum lembut. "Mungkin bukan urusan Anda, tapi Anda ada di sini sekarang. Siapa tahu, Bu Elena bisa menjadi orang yang membantu Tuan Alex membuka diri."
Elena tidak menjawab, hanya tersenyum samar. Membuka diri? pikirnya. Itu terdengar seperti misi yang mustahil. Alex adalah pria dengan dinding tinggi di sekeliling hatinya, dan Elena tidak yakin apakah ia ingin mencoba memanjatnya.
Malam mulai menjelang, dan Elena kembali ke kamarnya setelah makan malam bersama para pelayan. Alex tidak terlihat di meja makan, yang sudah biasa. Ia sering makan di ruang kerjanya atau bahkan melewatkan makan sepenuhnya.
Namun, ketika Elena membuka pintu kamarnya, ia dikejutkan oleh secangkir teh hangat dan sepiring kue kecil yang sudah diletakkan di meja kecil dekat jendela. Ada catatan kecil di sebelahnya, tulisan tangan Alex yang rapi tetapi tegas:
"Minumlah sebelum tidur. Luka di lenganmu akan terasa lebih baik jika kau istirahat cukup. -A"
Elena menatap catatan itu lama, dadanya terasa hangat. Alex yang dingin dan keras kepala bisa melakukan ini? pikirnya. Ia tidak tahu apakah ini hanya rasa tanggung jawab atau sesuatu yang lebih, tetapi ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya.
Sambil duduk di dekat jendela, ia menyeruput teh hangat itu perlahan, menatap ke arah ruang kerja Alex yang cahayanya masih menyala. Pria itu... mungkin tidak seburuk yang dia coba tunjukkan, pikir Elena. Tetapi ia tahu, perjalanan untuk memahami Alex masih sangat panjang.
***
Malam semakin larut, tetapi Alex belum juga meninggalkan ruang kerjanya. Ia tenggelam dalam dokumen-dokumen penting, tetapi pikirannya terus melayang ke arah Elena. Tanpa sadar, ia memikirkan senyuman wanita itu, cara dia berusaha tetap kuat meskipun jelas memiliki luka di hatinya. Itu mengingatkannya pada dirinya sendiri—berusaha bertahan dengan dunia yang keras, meskipun di dalam rapuh.
Namun, Alex segera menepis pikiran itu. Aku tidak boleh terlalu terlibat, pikirnya. Elena hanya bagian dari pernikahan kontrak ini, dan ketika semuanya selesai, mereka akan kembali menjalani hidup masing-masing. Itu sudah direncanakan sejak awal.
Di sisi lain, Elena meletakkan cangkir tehnya yang hampir kosong di meja. Ia memandang ke luar jendela, matanya terarah pada ruang kerja Alex yang cahayanya masih menyala. Dia tidak pernah berhenti bekerja, pikir Elena. Ada rasa ingin tahu yang mendalam dalam dirinya, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik dinding-dinding tinggi yang dibangun Alex.
Setelah beberapa saat, rasa gelisah di hati Elena semakin kuat. Aku harus berbicara dengannya, pikirnya, meskipun ia tidak yakin apa yang ingin ia katakan. Ia hanya merasa bahwa, entah bagaimana, Alex membutuhkan seseorang untuk mendengarkannya—meskipun Alex sendiri mungkin tidak akan mengakuinya.
Dengan langkah pelan, Elena berjalan menuju ruang kerja Alex. Ia mengetuk pintu dengan hati-hati.
"Masuk," suara Alex terdengar dari dalam, dingin dan tegas seperti biasa.
Elena membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Alex mengangkat wajahnya dari dokumen yang sedang ia baca, ekspresi terkejut sekilas terlihat di wajahnya sebelum digantikan oleh tatapan datar.
"Ada apa?" tanyanya.
Elena melangkah mendekat, duduk di kursi di depan meja kerjanya. "Kau belum tidur, Alex. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."
Alex menatapnya sejenak, kemudian menghela napas. "Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir."
"Tapi aku khawatir," kata Elena dengan nada lembut tetapi tegas. "Aku tahu kau tidak suka berbicara tentang dirimu sendiri, tetapi aku bisa melihat ada sesuatu yang mengganggumu."
Alex terdiam. Matanya memandang Elena dengan tajam, seolah mencoba membaca apa yang ada di pikirannya. "Kenapa kau peduli?" tanyanya akhirnya.
Elena tersenyum tipis. "Karena, meskipun kau berusaha terlihat kuat dan tidak peduli, aku tahu kau juga manusia. Dan manusia butuh seseorang untuk mendengarkan mereka."
Kata-kata itu menusuk Alex lebih dalam daripada yang ia harapkan. Ia ingin mengusir Elena, tetapi di saat yang sama, ada bagian kecil dalam dirinya yang ingin bicara. Tapi apakah aku bisa? pikirnya. Ia sudah terbiasa menyimpan semuanya sendiri, menanggung beban tanpa melibatkan orang lain.
Akhirnya, Alex menghela napas panjang. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana," katanya pelan, hampir seperti gumaman.
Elena menatapnya dengan lembut. "Mulai saja dari apa yang kau rasakan sekarang," katanya. "Kau tidak perlu menjelaskan semuanya, hanya apa yang ingin kau bagikan."
Alex terdiam lagi, tetapi kali ini ia tidak mengusir Elena. Ia memutuskan untuk mencoba. "Hidupku... tidak pernah sederhana, Elena," katanya akhirnya. "Aku tumbuh dalam kekacauan. Dan meskipun aku mencoba melupakan semuanya, bayangan itu selalu kembali, seperti luka yang tidak pernah sembuh."
Elena mendengarkan dengan sabar, tidak menyela. Ia tahu, ini adalah langkah besar bagi Alex, dan ia tidak ingin merusaknya.
"Sulit untuk percaya pada siapa pun," lanjut Alex. "Bahkan diriku sendiri terkadang. Karena orang-orang yang seharusnya aku percayai... mereka yang paling menyakitiku."
Kata-kata itu membuat dada Elena sesak. Ia tahu ada banyak hal yang Alex sembunyikan, tetapi mendengar pengakuannya secara langsung tetap membuatnya merasa pilu. "Aku mengerti," katanya pelan. "Tapi Alex, kau tidak perlu menanggung semuanya sendiri. Kadang, membiarkan orang lain masuk bisa membuat beban itu lebih ringan."
Alex menatapnya, matanya penuh dengan emosi yang sulit diartikan. "Dan kau pikir kau bisa masuk ke dalam duniaku, Elena?" tanyanya, suaranya terdengar seperti tantangan.
Elena tersenyum kecil, tetapi matanya serius. "Aku tidak tahu, Alex. Tapi aku ingin mencoba, jika kau mengizinkannya."
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments