Ketika Alex kembali ke Mansion setelah pertemuan dengan Sofia, pikirannya masih penuh dengan percakapan mereka. Namun, begitu ia membuka pintu, ia diingatkan akan kenyataan lain yang juga mengikatnya: Elena.
Di ruang tamu, Elena sedang duduk di sofa dengan sebuah buku di tangannya. Rambut cokelatnya yang tergerai menyentuh bahunya, dan wajahnya terlihat tenang, meskipun ada sedikit kelelahan di matanya. Saat mendengar pintu terbuka, ia menoleh dan memberikan senyum tipis yang dipaksakan.
“Kau pulang terlambat,” katanya lembut.
Alex melepas jasnya dan meletakkannya di gantungan. Ia berjalan mendekat tanpa menjawab, mengambil tempat di sofa yang berseberangan dengan Elena. Ia memandangnya sebentar, lalu berkata, “Aku punya urusan di rumah orang tuaku.”
Elena mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. Bukan urusannya untuk mencampuri kehidupan pribadi Alex, meskipun mereka berstatus suami-istri di atas kertas. Pernikahan ini hanyalah kontrak, kesepakatan yang dibuat atas dasar kebutuhan dan balas budi.
“Sudah makan malam?” tanya Alex, memecah keheningan.
“Sudah. Aku masak sendiri,” jawab Elena singkat. Ia tidak menambahkan bahwa ia sengaja menunggu Alex lebih lama sebelum akhirnya makan sendiri.
Alex mengangguk. Ia tahu Elena bukan tipe wanita yang akan mengeluh atau menuntut perhatian. Itu salah satu alasan mengapa ia setuju dengan perjanjian ini. Ia menghargai kesederhanaannya, meskipun ia tahu di balik itu semua, ada luka yang ia sembunyikan.
“Elena,” Alex akhirnya berbicara lagi, nada suaranya lebih serius, “Kau tidak harus melakukan semua ini, kau tahu? Aku sudah membayar hutang ayahmu dan biaya rumah sakitnya bukan untuk mengikatmu seperti ini.”
Elena tersenyum tipis, namun matanya berkaca-kaca. “Aku tahu. Tapi aku melakukannya bukan karena terpaksa. Aku hanya merasa ini adalah cara terbaik untuk membalasmu. Kau sudah menyelamatkan ayahku, Alex. Kalau bukan karena kau, mungkin aku sudah kehilangan satu-satunya keluarga yang kumiliki.”
Alex terdiam. Ia selalu merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar rasa syukur di balik tindakan Elena. Namun, ia tidak ingin bertanya terlalu jauh. Hubungan mereka, meskipun dekat secara fisik, tetap memiliki jarak yang tak terlihat.
Malam semakin larut, dan Alex memutuskan untuk mengakhiri harinya. Sebelum masuk ke kamarnya, ia berhenti sejenak di depan Elena yang masih membaca buku di sofa.
“Elena,” panggilnya pelan.
Wanita itu mengangkat wajahnya, menatapnya dengan mata yang lelah namun tetap lembut.
“Terima kasih,” kata Alex singkat, tanpa memberikan penjelasan lebih jauh.
Elena hanya mengangguk, senyumnya kembali menghiasi wajahnya yang sederhana namun memikat. Setelah Alex pergi, ia memejamkan mata sejenak. Dalam hatinya, ia tahu bahwa tugasnya sebagai istri kontrak ini lambat laun akan berakhir. Namun, apa yang akan terjadi setelahnya?
Meskipun awalnya ia berpikir hubungan ini hanyalah kewajiban, semakin hari ia merasa ada sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya. Tapi ia juga tahu, tempatnya bukan di hati Alex, terutama setelah mendengar kabar tentang perjodohan yang direncanakan untuk pria itu.
Elena menghela napas panjang. Untuk saat ini, ia hanya bisa menjalani hari demi hari, menunggu waktu yang akan menentukan nasib mereka berdua.
***
Setelah Alex masuk ke kamarnya, Elena tetap duduk di sofa. Buku di tangannya sudah tidak lagi menarik perhatian. Pikirannya melayang, terjebak dalam dilema yang terus menghantuinya sejak awal pernikahan kontrak ini.
Ia memandang ke arah pintu kamar Alex, lalu menghela napas panjang. Dalam keheningan malam, ia mulai berbicara pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
“Elena,” bisiknya, “jangan bodoh. Ingat kenapa kau ada di sini. Ini hanya kontrak, dan kau hanya menjalankan kewajibanmu. Jangan sampai kau jatuh cinta.”
Matanya mulai berkaca-kaca, tetapi ia buru-buru menghapus air mata yang nyaris jatuh. Ia tahu posisi dirinya—bukan seorang istri dalam arti yang sesungguhnya, hanya seseorang yang membayar utang budi kepada pria yang telah menyelamatkan keluarganya.
“Alex tidak pernah menjanjikan apa-apa,” lanjutnya, suaranya bergetar. “Dia baik, ya, tapi itu tidak berarti dia mencintaimu. Dia punya hidupnya sendiri, rencananya sendiri. Kau tahu tentang perjodohan itu, bukan? Itu adalah dunia yang dia pilih, dunia yang tidak ada tempat untukmu.”
Elena menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikiran yang mengganggu. Ia tidak ingin mengakuinya, tapi setiap perhatian kecil dari Alex—pertanyaan sederhana seperti apakah ia sudah makan atau ucapan terima kasih yang tulus—selalu mengguncang hatinya.
Ia bangkit dari sofa, berjalan menuju jendela ruang tamu. Melihat ke luar, ia menyaksikan lampu-lampu kota yang berkilauan, sebuah pemandangan yang selalu memberinya ketenangan.
“Elena,” katanya lagi, suaranya lebih tegas, “kau tahu kau tidak bisa berada di sini selamanya. Saat kontrak ini berakhir, kau akan pergi. Tidak ada ruang untuk perasaan di sini. Jaga hatimu.”
Namun, meskipun ia terus meyakinkan dirinya sendiri, hatinya tidak semudah itu diatur. Bayangan Alex, dengan tatapan serius dan sikap tenangnya, selalu muncul di benaknya. Ia tahu ia harus berhati-hati, tetapi semakin ia mencoba menjaga jarak, semakin sulit baginya untuk tidak peduli.
Malam itu, Elena kembali ke kamarnya lebih awal. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Ia tahu, perasaan yang mulai tumbuh ini harus segera dihentikan. Ia tidak bisa membiarkan dirinya jatuh cinta pada pria yang tidak mungkin membalas perasaannya.
Namun, di dalam hatinya, ia bertanya-tanya: apakah benar cinta itu bisa diatur? Ataukah, pada akhirnya, ia hanya akan terluka oleh perasaannya sendiri?
***
Hari-hari berikutnya berlalu dengan suasana yang canggung namun tetap terkendali. Elena menjalani rutinitasnya seperti biasa—menyiapkan sarapan, merapikan rumah, dan memastikan semua berjalan sesuai perannya sebagai istri kontrak. Di sisi lain, Alex tetap sibuk dengan pekerjaannya, sering pulang larut malam atau pergi untuk urusan keluarga.
Namun, meskipun keduanya menjaga jarak emosional, percakapan kecil dan kebersamaan tak terduga membuat tembok yang Elena coba bangun perlahan mulai retak.
Suatu sore, Elena sedang merapikan rak buku di ruang kerja Alex ketika pria itu tiba-tiba masuk. Ia tampak lelah, dasinya longgar, dan rambutnya sedikit berantakan.
“Elena,” panggil Alex, membuatnya tersentak.
Elena buru-buru menoleh. “Kau sudah pulang? Aku hanya... merapikan sedikit.”
Alex mengangguk sambil melepaskan jasnya dan melemparkannya ke sofa. “Terima kasih. Kau tidak perlu melakukan semua ini, kau tahu.”
Elena tersenyum tipis. “Aku hanya ingin membantu. Lagipula, bukankah itu bagian dari tugasku?”
Alex memandangnya sejenak, lalu duduk di kursi kerjanya. “Tugas. Ya, aku tahu kita sepakat soal itu. Tapi, kau terlalu keras pada dirimu sendiri. Kau bisa beristirahat, Elena.”
Elena merasa jantungnya berdegup lebih cepat mendengar nada lembut Alex. Ia tahu pria itu hanya berusaha bersikap sopan, tetapi ada sesuatu dalam cara Alex memandangnya yang membuatnya merasa dihargai.
“Bagaimana denganmu?” Elena bertanya, mencoba mengalihkan pikirannya. “Kau terlihat sangat lelah belakangan ini.”
Alex menghela napas. “Banyak yang harus kupikirkan. Termasuk soal makan malam dengan keluarga Petrov minggu depan.”
Nama itu, Sofia, langsung terlintas di pikiran Elena. Hatinya terasa perih, tetapi ia menutupinya dengan senyum. “Kudengar Sofia adalah wanita yang luar biasa. Kau pasti senang bertemu dengannya.”
Alex menatap Elena, mencoba mencari tahu apakah ada sesuatu di balik kata-katanya. Tapi Elena begitu pandai menyembunyikan perasaannya.
“Dia memang luar biasa,” jawab Alex akhirnya. “Tapi aku tidak yakin apakah semua ini adalah keputusan yang tepat. Kadang, aku merasa seperti hidupku sudah diatur tanpa aku benar-benar memiliki pilihan.”
Kata-kata itu menyentuh hati Elena. Ia ingin berkata bahwa Alex masih memiliki pilihan, bahwa ia tidak perlu menjalani hidup yang tidak ia inginkan. Tetapi siapa dirinya untuk mengatakan itu? Mereka hanya terikat kontrak, dan ia tidak berhak mencampuri hidup Alex.
“Kadang, kita hanya perlu mengikuti arus,” kata Elena pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Alex. “Mungkin, pada akhirnya, semuanya akan baik-baik saja.”
Alex tersenyum kecil. “Kau selalu punya cara untuk membuat segalanya terdengar lebih ringan, Elena.”
Malam itu, Elena kembali ke kamarnya dengan perasaan campur aduk. Alex mungkin tidak menyadari dampak dari kata-katanya, tetapi bagi Elena, setiap momen bersama pria itu terasa semakin sulit diabaikan.
Ia duduk di tepi ranjang, memandang bayangannya di cermin. “Elena,” gumamnya, “kau harus ingat siapa dirimu. Kau tidak boleh berharap lebih. Kau hanya bagian kecil dari hidupnya, sementara dia memiliki dunianya sendiri.”
Namun, semakin ia mencoba meyakinkan dirinya, semakin sulit rasanya untuk mengabaikan apa yang ia rasakan. Ia tahu bahwa jatuh cinta pada Alex adalah sebuah kesalahan, tetapi perasaan itu, seperti air yang mengalir, terus memenuhi hatinya, perlahan tapi pasti.
Dan di suatu tempat di hati kecilnya, Elena mulai bertanya-tanya: apakah mungkin Alex juga merasakan hal yang sama?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments