Pagi berikutnya, alarm tua di kamar kecil Elena berbunyi nyaring, memaksanya bangun sebelum fajar. Ia merapikan dirinya dengan cepat, menyeka wajahnya dengan air dingin agar tetap segar. Ini hari kedua, pikirnya. Hari yang pasti akan lebih berat dari kemarin.
Tugas pertama Elena hari ini adalah menyiapkan semua kebutuhan Alexander Romanov untuk rapat penting di kantornya. Pintu kamar tuan besar itu masih tertutup rapat saat Elena sampai di lantai atas. Antonio, kepala pelayan yang selalu tampak tegas dan dingin, sudah berdiri di sana, memberinya panduan singkat.
“Siapkan sarapan ringan di meja kerja beliau. Pastikan setelan jas sudah disiapkan di lemari gantung. Sepatunya harus mengkilap sempurna. Dan jangan lupa, meja harus bersih dari kertas-kertas lama,” perintah Antonio dengan nada tanpa kompromi.
Elena hanya mengangguk, mencatat semuanya di dalam kepala. Ia tidak ingin membuat kesalahan—terutama tidak di depan pria yang tatapannya saja bisa membuat bulu kuduknya berdiri.
Dia memulai dengan membawa nampan sarapan sederhana ke ruang kerja Alexander, yang terletak di sayap timur mansion. Ruangan itu besar dan dipenuhi dengan rak buku tinggi serta meja kayu mahoni yang besar. Ia menyusun kopi, roti panggang, dan beberapa potong buah dengan hati-hati. Namun, setiap langkah kecil yang diambilnya terasa berat, seolah-olah ia berada di bawah pengawasan yang tak terlihat.
Selanjutnya, Elena menuju lemari pakaian di kamar Alexander. Ia membuka pintu besar itu dan terpukau sejenak oleh koleksi jas mahal yang tertata rapi di dalamnya. Semua berwarna netral—hitam, abu-abu, biru gelap—tampak begitu sempurna. Setelah memilih jas biru tua dengan dasi sutra perak yang senada, ia menggantungnya di lemari gantung dekat kamar mandi.
Langkah terakhirnya adalah menyemir sepatu hitam Alexander. Sepatu kulit itu terlihat sudah bersih, tapi Antonio mengingatkan bahwa Alexander sangat memperhatikan detail kecil. Dengan penuh perhatian, Elena memoles sepatu itu hingga berkilau, lalu meletakkannya di dekat pintu.
Ketika semua tugas selesai, Elena merasa lega. Namun, saat ia hendak kembali ke dapur, suara pintu kamar Alexander terbuka membuatnya berhenti di tempat. Alexander keluar, mengenakan pakaian santai dengan rambut yang sedikit berantakan. Tatapannya tajam seperti biasa, membuat Elena menahan napas.
“Kamu yang menyiapkan semuanya?” tanyanya, suaranya rendah tapi tegas.
Elena menelan ludah sebelum menjawab. “I-iya, Tuan.”
Alexander berjalan melewati meja kerja, memperhatikan nampan sarapan, lalu melirik jas yang sudah digantung. Ia mengangguk pelan. “Cukup baik. Jangan lupa setrika lipatan di dasi sebelum saya pakai.”
Ia tidak menunggu jawaban Elena dan langsung menuju kamar mandi. Elena berdiri terpaku, mencoba mencerna perintah tambahan yang baru saja diberikan. Setelah beberapa detik, ia segera mengambil dasi itu dan menyempurnakannya.
Saat Alexander akhirnya siap berangkat, ia terlihat seperti pria yang sempurna—dari rambutnya yang tersisir rapi hingga kilauan sepatunya. Namun, ekspresinya tetap tak terbaca, meninggalkan Elena dengan pertanyaan yang terus berputar di kepalanya: Bagaimana pria seperti ini bisa begitu sempurna, tapi terasa begitu... kosong?
Hari itu, Elena mulai memahami satu hal. Alexander Romanov adalah teka-teki yang lebih rumit dari yang ia bayangkan. Tapi, apa yang sebenarnya ia sembunyikan di balik tatapan dingin itu?
***
Ruang pesta di hotel mewah itu dipenuhi lampu kristal yang berkilauan dan musik lembut yang mengiringi percakapan para tamu. Alexander Romanov duduk di salah satu sofa kulit di lounge eksklusif bersama teman-temannya, para pengusaha sukses dari berbagai belahan dunia. Gelas kristal di tangannya berisi anggur merah yang nyaris tak tersentuh, sementara senyum tipis menghiasi wajahnya yang dingin.
Percakapan mereka malam itu ringan, tapi penuh dengan canda tawa khas orang-orang yang merasa berkuasa. Hingga akhirnya, Vincent, seorang pengusaha flamboyan asal Italia, mengusulkan sesuatu yang di luar dugaan.
"Kalian tahu, hidup ini terkadang terlalu serius. Bagaimana kalau kita buat permainan malam ini? Sebuah taruhan kecil untuk menghidupkan suasana," ujarnya sambil meneguk minumannya.
"Apa yang kau maksud dengan taruhan?" tanya Alexander, nadanya datar, tapi sorot matanya menunjukkan ketertarikan.
Vincent tersenyum lebar. "Sederhana. Kita akan bermain permainan klasik—truth or dare. Tapi, bagi yang kalah, taruhannya adalah menikahi salah satu pembantu di rumah mereka selama... katakanlah, setahun penuh."
Ruang itu langsung dipenuhi dengan tawa dan sorakan dari yang lain. Bagi mereka, ini hanya lelucon, sebuah hiburan di tengah kehidupan mereka yang penuh tekanan.
"Tentu saja, kita tidak bicara soal cinta," tambah Vincent dengan nada menggoda. "Hanya formalitas. Tapi, bayangkan! Hidup selama setahun dengan seseorang dari dunia yang sama sekali berbeda. Bukankah itu akan... menarik?"
Beberapa di antara mereka langsung setuju, melihat ini sebagai permainan yang seru. Namun, Alexander tetap diam, memutar gelasnya perlahan sambil menatap Vincent.
"Bagaimana kalau aku menolak?" tanya Alexander akhirnya.
Vincent terkekeh. "Kau, menolak tantangan? Romanov, kau dikenal tidak pernah mundur dari taruhan."
Tatapan Alexander semakin tajam, tapi bibirnya melengkung dalam senyum kecil yang hampir tak terlihat. "Baiklah. Aku ikut. Tapi jangan berharap aku kalah."
Permainan dimulai, dan suasana menjadi lebih tegang sekaligus penuh tawa. Putaran demi putaran berlangsung, dan setiap pemain berusaha untuk tidak menjadi yang terakhir kalah. Namun, di babak akhir, keberuntungan tampaknya berpaling dari Alexander. Sebuah tantangan sederhana yang gagal ia selesaikan membuatnya dinyatakan kalah.
Sorakan menggema di ruangan itu ketika Vincent berdiri, memberikan tepuk tangan keras. "Romanov, ini benar-benar tak terduga! Jadi, siapa yang akan menjadi istrimu selama setahun?"
Alexander menatapnya dingin, tapi tidak ada jalan keluar. "Aku akan memilih sendiri," jawabnya singkat, dengan nada yang menandakan bahwa ia tidak akan mentolerir komentar lebih lanjut.
Namun, di dalam hatinya, Alexander tahu bahwa ini lebih dari sekadar permainan. Permainan ini telah menyeretnya ke dalam situasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Saat ia kembali ke mansion malam itu, pikirannya hanya tertuju pada satu hal: siapa yang akan ia pilih?
Tanpa sadar, bayangan wajah Elena—pembantu baru yang penuh keberanian namun canggung—muncul dalam benaknya. Ia menggeleng pelan, mencoba menepis pikiran itu. Namun, semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin kuat bayangan itu muncul.
Taruhan ini mungkin dimulai sebagai lelucon, tapi Alexander tahu, konsekuensinya bisa jauh lebih rumit daripada yang ia duga.
***
Pagi itu, Elena sedang sibuk di dapur, menyiapkan teh untuk Alexander seperti biasa. Ia mencoba menjalani hari dengan tenang, meskipun suasana di mansion selalu terasa seperti berjalan di atas lapisan tipis es. Namun, ketenangan itu hancur ketika Antonio, kepala pelayan, muncul di pintu dapur dengan ekspresi serius.
“Elena, ada sesuatu yang perlu kubicarakan denganmu,” katanya tanpa basa-basi.
Elena berhenti menuang teh, menatap Antonio dengan bingung. “Apa ada sesuatu yang salah?”
Antonio menghela napas pelan, tampak seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Bukan salah. Tapi… sesuatu yang tidak biasa. Tuan Romanov memutuskan untuk menikah denganmu.”
Kata-kata itu terasa seperti guntur di siang bolong. Elena hampir menjatuhkan teko yang dipegangnya. “Apa? Apa maksud Anda menikah?”
“Itu adalah keputusan yang diambil oleh Tuan Romanov. Pernikahan ini hanya akan tercatat secara resmi di negara, bukan sebuah acara besar. Tapi, tetap saja, kau akan menjadi istrinya selama setahun,” jelas Antonio dengan nada netral.
Elena menggeleng, mencoba mencerna ucapan itu. “Tapi… kenapa? Apa yang terjadi? Mengapa saya?”
“Itu bukan urusanku untuk menjelaskan,” balas Antonio tegas. “Tapi ini sudah diputuskan, dan pernikahan itu akan berlangsung dalam beberapa hari ke depan.”
Elena merasa darahnya berdesir cepat. “Ini tidak masuk akal. Saya tidak tahu apa-apa tentang ini. Saya bahkan tidak kenal dia dengan baik.”
“Tuan Romanov tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan. Kau hanya perlu menerima ini dan menjalankan tugasmu. Lagipula, ini hanya setahun,” ujar Antonio, mencoba meredakan kegelisahan Elena meskipun suaranya terdengar kaku.
Elena terduduk di kursi, wajahnya pucat. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Alexander Romanov, pria yang nyaris tidak pernah berbicara padanya kecuali untuk memberi perintah, tiba-tiba memutuskan untuk menikahinya? Dan apa yang dimaksud dengan “hanya setahun”?
Dalam kebingungannya, ia teringat interaksi-interaksi kecil mereka selama ini. Alexander selalu dingin, tapi ada momen-momen tertentu di mana ia merasa tatapan pria itu tertuju padanya lebih lama dari seharusnya. Apakah itu ada hubungannya? Atau ini hanyalah permainan konyol dari orang-orang kaya seperti dirinya?
“Elena,” suara Antonio memotong lamunannya, “aku tahu ini sulit diterima. Tapi percayalah, kau hanya perlu menjalani peranmu selama setahun. Setelah itu, semuanya akan kembali seperti biasa.”
Namun, kata-kata itu tidak banyak membantu. Elena tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah ini. Dan yang lebih menakutkan, ia tidak tahu apa yang menunggunya di depan. Alexander Romanov adalah teka-teki, dan sekarang, ia menjadi bagian dari permainan itu—suka atau tidak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments