Setelah pertarungan sengit di desa Goblin, Ash dan para gadis mulai mengumpulkan batu sihir hasil dari pertempuran. Tiga di antaranya terlihat berbeda, yaitu dua batu sihir milik Goblin Champion dan satu dari Goblin Shaman, yang jelas lebih kuat. Di samping itu, mereka juga berhasil mendapatkan senjata para Goblin yang terbuat dari besi, sesuatu yang Ash anggap cukup berharga.
Ash memandangi besi-besi itu dengan ekspresi berpikir. “Aku bisa meleburkannya nanti, tapi tak ada tempat yang cocok di sini,” gumamnya pelan. Meskipun Ash memiliki kemampuan untuk membuat tungku peleburan, saat ini ia tak berniat melakukannya. Fokus utamanya adalah melanjutkan perjalanan ke kota, terutama setelah mengumpulkan cukup tanaman herbal dan batu sihir. Job miliknya juga sudah hampir mencapai level empat, yang memberi dorongan tambahan pada keinginannya untuk pergi ke kota.
Sambil tersenyum tipis, Ash berdiri dan berkata, “Semuanya, kemasi barang-barang kalian.”
Para gadis, yang masih kelelahan usai pertempuran, menatap Ash dengan tatapan bingung. “Kenapa tiba-tiba?” tanya Luna dengan dahi berkerut, mewakili pertanyaan di kepala mereka.
“Kita akan ke kota,” jawab Ash singkat, membuat mata para gadis membelalak penuh semangat.
“Serius?! Kita akhirnya bisa pergi ke kota?” seru Koharu dengan nada tak sabar, wajahnya memancarkan kegembiraan yang sulit ditutupi. Hidup di hutan, bertahan dengan makanan seadanya, dan tidur di tanah sudah membuat mereka merindukan kehidupan yang lebih nyaman.
“Iya, jadi lekas siapkan barang-barang kalian,” kata Ash sambil tersenyum lebar.
Para gadis segera bergerak cepat, mengemasi barang-barang mereka dengan riang. Sebagian besar barang dimasukkan ke dalam kantung sihir milik Azusa, Risa, dan Luna. Kantung sihir itu, meskipun hanya bisa memuat sepuluh barang dengan berat di bawah sepuluh kilogram, sangat berguna dalam situasi seperti ini.
Setelah semuanya siap, mereka memulai perjalanan. Ash memimpin di depan, membawa peta yang menunjukkan arah ke kota Ranvel. Kota itu adalah tujuan akhir mereka, namun ada dua desa yang akan dilewati di sepanjang jalan. Ash merencanakan untuk singgah di salah satu desa guna mengumpulkan informasi dan menjual batu sihir yang mereka peroleh dari Goblin biasa. Ia juga berniat mencari toko pandai besi dengan tungku peleburan, berharap bisa membuat senjata besi yang lebih kuat daripada senjata batu yang ia gunakan sebelumnya.
Perjalanan itu berlangsung dengan tenang. Tak ada gangguan dari monster atau bandit, dan matahari yang mulai turun di ufuk barat menandakan mereka sudah mendekati desa pertama. Saat mereka memasuki desa, suasana yang hangat dan damai langsung terasa. Warga desa hidup dengan penuh kedamaian, menebar senyum di wajah mereka.
“Ayo kita cari penginapan dulu,” kata Ash saat melihat para gadis tampak kelelahan. “Setelah itu, kalian bebas beristirahat. Aku juga ingin mencari informasi dan menjual hasil jarahan kita dari hutan.”
Para gadis menyetujui rencana itu dengan semangat, terutama setelah mengetahui bahwa mereka akan segera beristirahat di tempat yang lebih nyaman daripada tenda dan alas tidur di tanah. Mereka berjalan melalui desa dan menemukan satu-satunya penginapan di sana, sebuah bangunan sederhana dua lantai. Lantai pertama menjadi bar kecil, sementara lantai dua terdiri dari sepuluh kamar sederhana. Setelah mengatur kamar dan menaruh barang-barang mereka, Ash keluar untuk berkeliling desa.
Berjalan menyusuri jalanan desa, Ash menyadari bahwa desa ini tidak memiliki guild petualang atau toko senjata. Hanya ada toko kelontong dan beberapa kios makanan. Namun, di pinggir desa, ia melihat kerumunan orang berkumpul di sekitar sebuah karavan pedagang yang sedang bersiap-siap untuk pergi. Ash hendak mendekati rombongan itu, tapi langkahnya terhenti saat pandangannya tertuju pada seorang elf perempuan yang duduk di atas dahan pohon, mengawasi keramaian.
Rasanya jantung Ash berhenti sejenak. “Kurasa aku akan kembali ke penginapan saja,” gumamnya sambil berbalik arah, menyadari siapa sosok elf itu.
...---...
Di atas dahan pohon, gadis elf itu memperhatikan Ash yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Bukankah itu...?” gumamnya, matanya sedikit membelalak. Namun, ia segera menggeleng. “Tidak, mustahil…”
Rekannya, seorang pria berambut cokelat, melihat ekspresi terkejut di wajah elf itu. “Ada apa?” tanyanya dengan nada penuh keingintahuan.
“Bukan apa-apa,” jawab gadis itu sambil melompat turun dari dahan pohon. “Kita harus bersiap. Rombongan kita akan segera berangkat ke desa berikutnya sebelum matahari terbenam.”
...---...
Di penginapan, Ash duduk di kamarnya dengan perasaan tak karuan. Di meja depannya terdapat berbagai ramuan dan alat kayu yang ia buat sepanjang malam. Wajahnya tampak tegang, seolah ada sesuatu yang mengusiknya.
Elf itu… Dia benar-benar di sini... Ash mengepalkan tangannya erat. Pikirannya berkecamuk. Itu adalah salah satu dari banyak hal yang membuatnya sadar bahwa dunia fantasi ini memang dunia yang sama dengan tempat pertama kali dia dipanggil. Rasa marah dan benci yang lama terkubur mulai muncul kembali. Ash tahu ia harus bertindak hati-hati, namun amarahnya adalah bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Dengan nafas berat, Ash membuka peta yang ia bawa. Ia memandangi nama-nama tempat yang asing baginya, mencoba mencari jawaban. Ia sadar bahwa ada banyak hal yang belum ia ketahui tentang dunia ini, termasuk seberapa jauh waktu telah bergerak sejak ia terakhir kali berada di sini.
Malam berlalu dengan cepat, dan ketika pagi tiba, Ash dan para gadis sudah siap melanjutkan perjalanan. Ash tampak lesu dan sering menguap sepanjang pagi.
“Apa kamu tidak tidur semalam?” tanya Luna dengan khawatir, melihat wajah Ash yang terlihat kurang tidur.
Ash tersenyum tipis. “Aku terlalu bersemangat membuat ramuan dan alat-alat. Tak terasa malam sudah habis.” Meski sebagian besar dari jawabannya benar, Ash menutupi alasan sebenarnya; pikirannya terlalu terganggu oleh ingatan tentang elf itu.
Dengan sedikit percakapan di antara mereka, perjalanan menuju kota Ranvel pun dilanjutkan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Perjalanan menuju kota Ranvel berlangsung dengan lancar, tak ada hambatan berarti yang menghadang kelompok Ash. Saat mereka melewati desa kedua, suasana tetap damai. Matahari mulai terik di atas kepala ketika mereka memutuskan untuk beristirahat di pinggir jalan, di bawah naungan pohon yang rimbun.
Di kejauhan, dua kereta kuda yang dijaga oleh empat petualang melintas. Kereta-kereta itu membawa berbagai barang dagangan, membuat Ash menduga.
"Apa mereka pedagang keliling?" gumamnya pelan sambil mengunyah roti yang dibeli di desa sebelumnya.
Matanya mengamati rombongan pedagang itu dengan seksama. Ada sesuatu yang terasa janggal, seolah intuisi petualangnya mengatakan bahwa kejadian klise akan terjadi, seperti dalam novel isekai yang sering ia baca.
Setelah cukup beristirahat, kelompok Ash melanjutkan perjalanan mereka. Hutan di sekeliling jalan mulai lebih tebal, menciptakan bayangan gelap yang merayap. Hanya beberapa saat kemudian, terdengar suara gaduh dari arah depan—teriakan seseorang dan dentingan logam yang beradu.
"Suara pertempuran..." gumam Ash dengan ekspresi yang tiba-tiba berubah serius.
Tiba-tiba, seekor kuda muncul dari kejauhan, berlari kencang ke arah mereka, tampak panik. Tanpa ragu, Ash segera maju ke depan.
Seperti yang kuduga... pikirnya, perasaan déjà vu menyelimutinya. Dengan cepat, Ash meraih tali kekang kuda yang berlari tak terkendali itu. Dalam satu gerakan halus, ia melompat naik ke atas kuda dan menarik tali kekangnya dengan kuat, menenangkannya.
"Tenanglah... tenang..." bisiknya sambil memegang erat tali itu, berusaha menenangkan kuda yang ketakutan.
Luna dan yang lainnya memandang Ash dengan penuh keheranan, tetapi mereka sudah terbiasa dengan reaksinya yang cepat dan tepat. Melihat situasi ini, Ash tak bisa tinggal diam.
"Aku akan memeriksa ke sana duluan!" teriaknya sambil memutar arah kuda dan memacunya ke tempat suara pertarungan berasal.
"Jangan terlalu gegabah, Ash!" teriak Luna, meskipun ia tahu Ash tidak akan mendengarkan.
Sementara Ash melaju dengan cepat, para gadis bersiap-siap menyusul di belakangnya. Suasana semakin tegang, dan adrenalin mulai mengalir deras di tubuh mereka. Mereka tahu, apa pun yang menunggu di depan sana, pasti akan membawa bahaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
story
Jangan² rekan MC dulu ini.
2025-01-02
1
Frando Wijaya
next Thor 😃
2024-08-27
2
Frando Wijaya
ternyata rekan lama
2024-08-27
0