Malam telah berlalu dan fajar pun tiba. Ash membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa sedikit kaku setelah begadang hingga larut. Ia menggeser posisi ke duduk, lalu menarik napas panjang sebelum melakukan peregangan ringan.
"Selamat pagi, Ash. Apa kamu sudah bangun?" Suara lembut Luna terdengar dari balik pintu gubuk. Cahaya matahari pagi yang masuk menyorot wajahnya, membuat senyum hangatnya semakin terlihat cerah.
Ash tersenyum kecil. "Pagi, Luna."
"Sarapan sudah siap. Cepatlah berkumpul bersama yang lain," ujar Luna dengan ramah sebelum pergi meninggalkan pintu, kembali ke kelompok mereka.
Keluar dari gubuk, Ash merasakan kehangatan sinar matahari pagi menyentuh kulitnya. Ia menatap sekeliling, melihat pemandangan yang selalu menyenangkan di pagi hari—langit yang biru bersih, udara segar yang membawa aroma dedaunan, dan bau harum masakan yang berasal dari dapur sementara mereka. Perutnya mulai berbunyi pelan, merespons aroma lezat yang menyebar.
Saat Ash berjalan mendekat ke tempat sarapan, pandangannya menangkap Azusa yang sedang memasak dengan wajahnya yang serius dan dingin. Bayangan peristiwa semalam tiba-tiba muncul di pikirannya.
Azusa... tadi malam dia berbeda, batin Ash sambil mengernyit. Kenapa aku masih memikirkannya?
Ia duduk di atas batang kayu yang digunakan sebagai bangku sementara. Tidak lama kemudian, Azusa datang menghampirinya dengan semangkuk sup di tangannya.
"Ini sarapanmu," ucap Azusa singkat tanpa ekspresi, seperti biasa.
"I-ya, terima kasih." Ash mengulurkan tangan untuk mengambil mangkuk itu, tetapi ketika tangan mereka bersentuhan, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Azusa, yang biasanya begitu tenang, tiba-tiba menarik tangannya dengan cepat, tak sengaja menumpahkan sup ke pangkuan Ash.
"Ah! Pa-panas!" teriak Ash kaget sambil melompat berdiri. Wajahnya meringis saat merasakan panas dari sup yang mengenai kulitnya.
Azusa tampak panik untuk pertama kalinya, wajahnya merah padam, dan ia dengan cepat mengeluarkan sapu tangan dari sakunya. "Ma-maaf! Aku benar-benar tak sengaja!" ucapnya terburu-buru sambil mencoba menghapus sup yang menempel di pakaian Ash.
Namun, Ash langsung menghentikannya. "Tidak, tak perlu. Aku bisa membersihkannya sendiri nanti di sungai," katanya, meskipun masih merasakan panas di kulitnya. Senyumnya tipis, mencoba menenangkan Azusa yang terlihat begitu gelisah.
"Tapi aku benar-benar merasa bersalah..." Azusa tampak sangat tak nyaman, wajahnya masih terlihat merah, mungkin karena malu.
Dari kejauhan, Risa dan Tama yang sedang mengamati kejadian tersebut saling melirik satu sama lain.
"Jarang sekali aku melihat Azusa panik seperti itu," komentar Risa sambil tertawa kecil.
"Iya, dia biasanya sangat tenang dan anggun. Apa mungkin sesuatu terjadi antara mereka?" tanya Tama dengan nada ingin tahu.
Risa hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum misterius. "Mungkin saja."
...---...
Ash kemudian pergi ke sungai untuk membersihkan bajunya yang kotor, meninggalkan Azusa sendirian dengan pikiran yang berkecamuk. Di tepi sungai, dia memandangi air jernih yang mengalir dengan tenang, mencoba meredakan kegelisahannya.
Kenapa aku jadi aneh seperti ini? Kenapa aku begitu gugup? batin Azusa gelisah, tak bisa berhenti memikirkan peristiwa semalam dan tadi pagi. Ia tak pernah punya pengalaman dekat dengan laki-laki, apalagi sampai menyentuh tangan mereka.
Di tengah lamunannya, suara lembut Risa terdengar, memanggilnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Azu-sa!"
Azusa tersentak dan menoleh ke arah Luna yang datang menghampirinya. "A-Ada apa, Risa?"
"Kebalik, harusnya aku yang bertanya begitu," balas Risa dengan senyum penuh makna. "Azusa, kamu kelihatan berbeda hari ini. Apa terjadi sesuatu dengan Ash?"
Wajah Azusa langsung berubah merah. Ia memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Ti-tidak... tidak ada yang terjadi," jawabnya cepat, meski suaranya sedikit gemetar.
Risa tertawa pelan, lalu merangkul Azusa dengan lembut. "Jangan bohong, Azusa. Kami semua bisa melihatnya. Kamu bisa cerita pada kami kapan saja, kamu tahu?"
Sebelum Azusa bisa menjawab, tiba-tiba Koharu muncul dengan ceria. "Eh? Apa yang terjadi di sini? Wah, wajah Azusa merah sekali!" Koharu berseru, seolah baru saja menemukan sesuatu yang sangat menarik.
Risa hanya tertawa lebih keras, sementara Azusa tampak semakin malu. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, tidak mampu menahan rasa malunya yang terus bertambah. Koharu, di sisi lain, tampak bersemangat. "Kamu pasti jatuh cinta pada Ash, ya?"
Azusa terkejut dan menatap Koharu dengan mata membelalak. "Ja-jangan bicara sembarangan, Koharu! Bukan seperti itu!"
Namun, dalam hatinya, Azusa tahu ada sesuatu yang mulai tumbuh—perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
...---...
Di tepi sungai, Ash merenung sambil mencuci bajunya yang kotor. Pikirannya kembali pada kejadian pagi tadi dan bagaimana Azusa bertingkah aneh sejak semalam. "Apa mungkin... ada sesuatu yang tidak kuketahui?" gumamnya pelan, menatap air yang mengalir dengan tenang. Meski begitu, ia tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana Azusa yang biasanya dingin tiba-tiba menjadi begitu canggung di dekatnya.
Sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya, namun ia cepat-cepat menghapusnya. "Mungkin aku hanya terlalu memikirkannya."
Tak lama setelah itu...
Ash menatap air terjun di depannya dengan penuh rasa penasaran. Gemuruh air yang jatuh ke bawah memenuhi udara, memberikan rasa tenang.
Hmmm... biasanya ada goa di balik air terjun, kan? batinnya bertanya-tanya sambil memandangi tebing di belakang tirai air yang deras.
Tanpa berpikir panjang, Ash keluar dari sungai dengan pakaian basahnya dan mulai merayap di sepanjang tebing, menempel pada dinding yang licin. Perlahan, ia mendekati air terjun, berharap menemukan sesuatu yang tersembunyi di balik derasnya air.
Namun, setelah melihat lebih dekat, Ash hanya bisa tertawa kecut. "Benar, tak ada goa di sini," keluhnya sambil menghela napas panjang. "Sepertinya aku terlalu berharap."
Dengan kecewa, Ash kembali ke tempat perkemahan dengan pakaian yang masih basah, duduk di depan api unggun untuk mengeringkan dirinya. Aroma hangat dari sup yang mendidih di atas api memenuhi udara, menggoda perutnya yang mulai lapar. Tanpa berkata apa-apa, Ash meraih semangkuk sup yang telah disiapkan, lalu duduk di dekat api, membiarkan kehangatannya merambat ke tubuhnya yang basah.
Tiba-tiba, suara lembut terdengar dari belakangnya. "Ash, apa aku boleh duduk di sebelahmu?" tanya Luna dengan senyum manis menghiasi wajahnya.
Ash menoleh dan tersenyum kecil. "Tentu, tapi jangan terlalu dekat. Takutnya pakaian basahku bisa membuatmu ikut basah," jawabnya sambil tertawa kecil.
Luna duduk di dekatnya, matanya tertuju pada nyala api. Setelah beberapa saat dalam diam, ia bertanya dengan nada pelan, "Hei, berapa lama kita akan berada di dunia ini?"
Ash terdiam sejenak, menatap api yang berkobar di depannya. "Ntahlah," jawabnya datar, suaranya terdengar sedikit jauh. "Jika kalian serius berlatih dan menjadi kuat, mungkin dalam waktu satu tahun kalian bisa mengalahkan Raja Iblis dan kembali ke Bumi."
Luna mengernyitkan dahi, heran mendengar jawaban Ash yang tampak acuh tak acuh. "Kau sendiri, tidak ingin kembali ke Bumi?" tanyanya, menatap Ash yang tampak tak tertarik.
Ash menghela napas panjang, pandangannya tertuju pada api. "Aku tak punya alasan untuk kembali... tak ada yang menungguku di sana," jawabnya, nada suaranya terdengar sendu, seperti menyembunyikan sesuatu. Kemudian ia berdiri, membersihkan mangkuknya, meninggalkan Luna yang terdiam, menatap api unggun dengan ekspresi bingung.
Sambil berjalan ke sungai untuk mencuci mangkuknya, Ash menoleh ke belakang, memperhatikan Luna yang masih duduk sendirian di depan api unggun.
Maaf, Luna... Tapi aku benar-benar tak tertarik untuk kembali ke Bumi. batinnya berbicara.
Setelah selesai mencuci mangkuk, Ash kembali menghampiri Luna. Ia berdiri di hadapannya, kali ini wajahnya lebih serius. "Luna... apa kau benar-benar ingin kembali ke Bumi?" tanyanya dengan nada lembut.
Luna mengangguk pelan. Wajahnya mencerminkan kerinduan yang dalam, namun juga kebimbangan. "Aku rindu keluargaku... dan teman-temanku," jawabnya pelan.
Ash menutup matanya sebentar, menyilangkan kedua tangannya di dada, lalu mengangguk pelan. "Baiklah," ucapnya dengan senyum kecil yang menggoda. "Jika itu yang kalian inginkan, aku akan membantu kalian untuk mengalahkan Raja Iblis dan kembali ke Bumi."
Luna menatap Ash dengan kaget, tak menyangka mendengar kata-kata penuh tekad dari pria yang biasanya cuek itu. Wajahnya pun perlahan berubah, senyum cerah menghiasi wajahnya. "Terima kasih, Ash," ucapnya penuh kelegaan.
Ash tertawa kecil dan menepuk bahu Luna. "Bagus! Kalau begitu, panggil yang lain. Kita akan mulai berlatih dari sekarang!"
Tak lama kemudian, seluruh gadis berkumpul di depan api unggun, wajah mereka penuh dengan tanda tanya. Risa yang berdiri dengan tangan terlipat tampak paling bingung dari semuanya. "Ada apa, Ash? Kenapa kau memanggil kami semua pagi-pagi begini?" tanyanya dengan nada tajam.
Ash tersenyum penuh percaya diri. "Kalian akan kulatih agar menjadi kuat!" serunya, suaranya bergema di udara pagi.
"Hah? Kau melatih kami?" Risa menatap Ash dengan skeptis, mengangkat satu alis. "Orang yang hanya memilih skill sehari-hari, ingin melatih kami yang memiliki kemampuan sihir?" lanjutnya, suaranya penuh dengan ketidakpercayaan.
Ash tidak terpengaruh. Dengan tenang, ia menjawab, "Ya, tentu saja."
Risa terdiam, bingung mendengar kepercayaan diri Ash yang tidak tergoyahkan. Wajahnya tampak ragu, namun tidak berkata apa-apa lagi.
Setelah itu, Ash mulai memberikan penjelasan tentang dasar-dasar sihir. Dia berbicara tentang elemen-elemen dasar, cara merasakan mana yang mengalir dalam tubuh, serta pentingnya fokus dan imajinasi dalam mengendalikan kekuatan sihir. Penjelasannya memakan waktu sekitar setengah jam, dan para gadis mendengarkan dengan penuh perhatian meskipun beberapa dari mereka tampak bingung.
Setelah selesai menjelaskan, Ash berdiri di depan mereka, menatap dengan tatapan penuh keyakinan. "Sekarang, aku akan menunjukkan bagaimana caranya," ucapnya dengan senyum percaya diri.
Risa mendengus. "Aku ingin melihat ini," gumamnya pelan.
Ash menutup matanya, membiarkan pikirannya terfokus pada elemen api. Ia merasakan aliran mana dalam tubuhnya, mengalir melalui urat-urat nadinya menuju telapak tangan kanannya. Dengan lembut, ia memanggil energi itu, memvisualisasikan bola api dalam imajinasinya.
"Fireball," ucapnya pelan.
Seketika, bola api kecil muncul melayang di atas telapak tangan Ash, menerangi wajahnya dan membuat para gadis menatap dengan terperangah. Risa, yang tadinya meremehkan, sekarang menatap Ash dengan mata membelalak, begitu pula dengan yang lainnya.
Bagaimana dia bisa menggunakan sihir? Padahal dia tak punya skill atau job sihir, batin para gadis bertanya-tanya.
Ash memadamkan bola api itu dan menatap mereka dengan senyum penuh kemenangan. "Sudahi bengongnya, mari kita mulai latihan kalian," ucapnya santai, namun penuh semangat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Frando Wijaya
oh? gk tertarik bumi lg huh...
2024-08-20
1