“Hei..!! Ini aku...!” teriak Kapten Batara ketika memasuki rumah yang disinggahi. Ia ingat apa yang diperintahkan kepada perempuan yang barusan ditolongnya. Untuk menembak siapa saja yang masuk ke rumah.
Mendengar teriakan itu, dokter Anastasya tersenyum lega. Wajah yang tadi putih memucat kembali berangsur memerah. Darah perlahan mulai menggantinya. Pistol yang tadi dilepas kunci pelatuknya kembali dikunci lagi. Perlahan ia menurunkan tanganya. Tidak sadar ia berlari memeluk Kapten Batara.
“Weleh… weleh…,” ucap Kapten Batara kaget dengan tesipu – sipu. Seumur – umur baru kali ini ia dipeluk oleh seorang wanita. Dan, tidak dikenalnya lagi. Selama hidupnya di usia remaja ini, Kapten Batara bukanlah seperti pemuda pada umumnya. Hidupnya hanya diisi dengan tugas, misi, tugas, misi, dan tugas serta misi. Tanpa bisa menikmati kehidupan pribadi di masa mudanya. Istilah masa muda adalah masa penuh dinamika dan romansa, tidak berlaku di Kapten Batara. Ia belum pernah merasakan apa yang namanya cinta. Rindu. Ataupun kasih sayang. Kecuali kasih sayang yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Ibu dan bapak.
“Hhmmm…” Serda Bajang berdehem.
Dokter Anastasya tersentak. Baru sadar apa yang diperbuatnya. Ia tersipu malu sambil melepaskan pelukannya. Ia sangat gembira, sang dewa penolong yang ditunggunya telah datang. Saking gembiranya ia spontan memeluk Kapten Batara. Dengan kehadiran Kapten Batara di depannya, doa yang dipanjatkan terkabulkan. Semenjak memasuki rumah ini, ia menunggu dengan rasa harap – harap cemas akan keberhasilan Kapten Batara.
“Eh.., eh, maaf…, maaf…” katanya gugup dengan pipi merona merah. “Aku hanya gembira melihatmu kembali…”
“Tidak apa – apa…” kata Kapten Batara menenangkan.
“Oh ya, namaku Batara.” Ujarnya lagi sambil mengulurkan tangannya. “Ini Bajang,” sambil menunjuk Serda Bajang yang cengar cengir di belakang Kapten Batara.
“Dan itu, Pak Hans Jatmiko,” lanjutnya sambil menunjuk orang yang tengah terlelap tidur.
“Aku…, Anastasya,” jawabnya sambil menyambut uluran tangan Kapten Batara. Bersalaman. Kemudian berganti mengulurkan tangannya ke Serda Bajang, yang disambut oleh Serda Bajang.
“Kenapa kamu dikejar – kejar tentara REON itu?” Tanya Kapten Batara setelah ketiganya sudah duduk saling berhadapan di kursi yang ada di sebuah ruangan. Sepertinya ruangan itu adalah ruang tamu. Sambil diterangi lampu flash comunicator yang dijadikan lampu senter. Ketiganya berbincang akrab.
“Aku orang Indonesia. Keluargaku tinggal di Jakarta. Ibukota lama. Sampai di REON ini aku diculik oleh mereka.” Dokter Anastasya memulai ceritanya.
Kapten Batara dan Serda Bajang tekun mendengarkan. Mereka tahu, ibukota Negara Republik Indonesia sudah pindah ke Kalimantan Timur. Penajam Passer Utara.
“Sudah hampir delapan bulan aku berada di Randcios City ini,” lanjutnya lagi. “Sebelumnya aku adalah Kepala Labarotorium Pharma Industries di Pulau Galang.”
“Apakah perusahaan kamu tidak lapor ke pihak berwajib?” tanya Kapten Batara keheranan.
Anastasya diam sejenak. Ia menghela nafas. Perlahan ia menggeleng pelan.
“Saya rasa sampai sejauh ini tidak dilakukan. Bahkan mungkin mencaripun tidak. Buktinya, aku dibiarkan saja…”
“Kamu pernah komunikasi dengan manajemen?” Serda Bajang memotong.
“Gimana bisa berkomunikasi. Telponpun kagak ada…” jawabnya dengan dialek Betawi yang medok.
“Oh.., iya ya…he..he..he…” Serda Bajang terkekeh. Kapten Batara ikut nyengir.
“Dengan perusahaan aku tak perduli. Yang aku khawatirkan adalah mamaku. Sudah delapan bulan ini aku tidak menghubungi mama.”
Ucapan Anastasya, membuat Kapten Batara tercekat. Selama ini ia sangat jarang menghubungi mamanya. Bahkan kedua orang tuanya. Apalagi ketika lagi menjalankan misi. Standar Operasional Prosedur atau SOPnya melarang berkomunikasi dengan siapapun. Tidak perduli kerabat, keluarga ataupun orangtuanya. Semua diharamkan. Hubungan komunikasi putus total. Dilarang keras. Meski hanya sekedar menyapa say.., hello, atau hanya sekedar bertukar kabar. Sebab, dikhawatirkan akan mengganggu konsentrasi atau mengganggu misi yang dijalankan.
“Maafkan aku buk…” ucapnya dalam hati. Kapten Batara teringat akan ibunya yang sudah lama ia tinggalkan. “Doakan anakmu ini segera kembali pulang.” Tiba – tiba ia rindu kepada ibunya. Rindu akan dekapan dan belaian kasih sayangnya…
“Besok kita cari HP, hubungin mamamu,” kata Kapten Batara. “Jangan buat mamamu khawatir akan dirimu. Dan jangan buat susah hati beliau.”
Dokter Anastasya hanya mengangguk.
Kemudian dokter Anastasya mulai menceritakan semua kejadian yang dialaminya. Dimulai bagaimana awalnya ia diculik. Dibawa pergi ke REON. Sampai ia diperkerjakan untuk melanjutkan penelitian dari hasil disertasi yang ditulisnya sewaktu masih meraih gelar doktoral di Stanford University dulu.
“Virus itu masih tahapan identifikasi,” katanya menjelaskan. “Ibarat buah masih sangat muda. Bahasa jawanya ‘penthil’. Belum bisa dikatakan akan jadi. Masih perlu pengembangan lebih lanjut, dan membutuhkan senyawa ‘mexocarboneferat’. Yaitu sejenis perpaduan nano karbon dan nano ferum.”
“Ekstrasi ferum ke tahapan nano, sangat sulit untuk dibuat masal. Banyak kendala yang menghambatnya. Padahal untuk mendapatkan komposisi yang tepat, perlu proporsi yang cukup besar. Sementara setiap ekstrasi hanya mendapatkan 0,01 pico atau sepersepuluh triliun gram. Sangat kecil sekali…”
“Virus?!” tanya Serda Bajang keheranan.
“Iya. Kami menyebutnya virus Q...”
“Apa itu?” tanya Kapten Batara menyela.
“Sejenis virus yang digunakan sebagai maximum antibodi. Atau juga disebut virus genetika biomolukeler imunity. Ketika disuntikkan, tubuh tidak hanya kebal terhadap penyakit saja, namun juga kebal terhadap senjata tajam maupun peluru…”
Dua orang yang mendengar penjelasan Dokter Anastasya ternganga. Bibir mulutnya membentuk huruf ‘o’. Seperti tidak percaya terhadap apa yang diomongkan dokter itu. Penjelasan itu sama seperti yang diomongkan oleh Hans Jatmiko tempo hari.
“Di dalam peperangan, rumah sakit tidak dibutuhkan lagi setelah adanya virus ini...,” guman Kapten Batara.
“Iya… Sayangnya dampak negatif yang ditimbulkan juga sangat mengerikan…”
Dokter Anastasya diam sebentar. Ada raut kegalauan di wajahnya.
“Ketika orang itu tidak mampu mengendalikan dirinya, orang yang terkena virus Q akan berubah menjadi monster. Sisi kemanusiaannya akan hilang. Berubah menjadi jiwa iblis yang menguasainya. Dan dalam tempo 24 jam, jiwa itu akan mati.”
Kembali Dokter Anastasya menghela nafas panjang. Sementara Kapten Batara dan Serda Bajang bergidik ngeri, membayangkan apa yang akan terjadi jika terpapar virus Q itu.
“Efek itulah yang belum berhasil aku netralisir. Sudah berkali – kali aku mencobanya selalu gagal. Semua berakhir dengan kematian. Berapa banyak hewan percobaan yang mengalami nasib seperti itu. Terakhir sudah ada 3 manusia yang dijadikan kelinci percobaan. Nasibnyapun tidak beda dengan tikus – tikus itu. Mati mengenaskan.”
“Hmm… Terus apa rencanamu, Tas..?” tanya Kapten Batara tiba – tiba.
“Panggil aku Ana..” dokter Anastasya menukas. “Kedengarannya lucu dipanggil ‘Tas’, kayak jinjingan aja..”
“Ups, sori…” Kapten Batara nyengir. “Okey An..”
“Nah, gitu kan bagus..” kata Dokter Anastasya ikutan nyengir.
“Entahlah…,” lanjutnya lagi. “Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya khawatir ketika virus Q itu dipakai sebelum siap untuk digunakan…”
“Hei.., artinya kamu setuju dipakai kalau virusmu itu berhasil kamu sempurnakan..?!” Kapten Batara bertanya menelisik.
“Sebuah kebanggaan bagi seorang peneliti, bila temuaanya bisa diaplikasikan di dunia nyata…” jawab Dokter Anastasya seperti tidak perduli dengan apa yang akan ditimbulkan oleh hasil risetnya. “Terlalu naif rasanya jika keberhasilan yang diraih tidak membuatnya bangga. Walau sebenarnya itu bertentangan dengan nuraninya…”
“Kamu tahu apa akibatnya jika virus itu berhasil kamu buat?” tanya Kapten Batara lagi penuh keheranan.
Dokter Anastasya mengangguk.
“Kok…?!” Wajah Kapten Batara penuh dengan ketidakmengertian. Seperti sebuah kontradiksi antara ucapan dan perbuatan dokter cantik ini. Di satu sisi menolak tapi di sisi lain menyetujui.
“Hal itulah yang membuatku dilematis… Bagiku penggunaan virus itu ‘not recommended’. Namun sebagai seorang profesional aku pengin tahu akhir dari virus Q. Aku pengin melihat keberhasilan virus itu.”
“Tapi kamu tahu dampaknya kan?” lagi -lagi Kapten Batara menimpali.
“Iya aku tahu,” jawab dokter Anastasya. “Dengan adanya keberadaan virus Q, aku yakin, tatanan dunia akan berubah. Nuklir, bom hidrogen, dan senjata pemusnah masal lainnya, akan menjadi tidak berguna. Semua akan digantikan dengan tentara yang kebal terhadap segalanya…”
“Bukan itu yang aku maksud An. Dengarkan dulu. Negara – negara lain akan memburumu. Ada tiga kemungkinan yang akan terjadi bila virus Q berhasil kamu ciptakan. Pertama, orang mencarimu untuk membuatmu memberikan formula virus itu. Kedua, orang akan membunuhmu untuk menghentikan hasil risetmu. Dan ketiga, orang mencarimu memaksa kamu menyerahkan formula itu setelahnya akan membunuhmu… Itu dampak terhadap dirimu.”
“Diluar dirimu, banyak efek yang ditimbulkan. Seperti katamu tadi, tatanan dunia akan berubah. Betul. Tapi, tidak sesederhana pemikiranmu. Karena, berhasil menciptakan pasukan yang tak terkalahkan, Presiden Sularso akan bertindak di luar batas pemikiranmu.”
Dokter Anastasya hanya diam mendengarkan. Wajahnya berubah – ubah mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh Kapten Batara.
“Pemikiranku tidak sampai kesitu,” ucapnya kemudian polos. “Lantas aku harus bagaimana?”
Kapten Batara terdiam mendengar pertanyaan dokter Anastasya. Matanya menatap Serda Bajang. Seperti minta pendapat. Merasa diperhatikan, Serda Bajang hanya mengangkat kedua bahunya.
“Kita kembali ke lab mu…” kata Kapten Batara tiba – tiba.
Dokter Anastasya dan Serda Bajang terbelalak mendengar omongan Kapten Batara. Tidak disangka sang Kapten mempunyai ide gila seperti itu. Kembali ke laboratorium adalah perbuatan konyol dan tidak masuk akal. Barusan Dokter itu kabur dari sana kenapa harus kembali lagi disana? Mau setor nyawa apa?
“Kita harus hancurkan hasil risetmu. Atau kita musnahkan virus itu..”
Lagi – lagi keduanya terpana mendengar omongan itu. Apalagi dokter Anastasya. Hidungnya turun naik mendengarnya.
“Dengan musnahnya virus itu, setidak – tidaknya kita bisa menghambat rencana Presiden g**a itu. Syukur – syukur bisa membatalkannya. Ini adalah jalan satu – satunya untuk membuyarkan keinginan Presiden Sularso.”
“Kamu yakin Ndan?!” tanya Serda Bajang penuh keraguan. Matanya melirik dokter Anastasya yang masih kebingungan.
“Iya.” Jawab Kapten Batara mantap. Matanya juga menatap dokter Anastasya. Tak lama kemudian ia menepuk pundak dokter cantik itu.
“Percayalah, ini juga untuk kebaikan kamu An.” Katanya pasti. Meyakinkan keraguan dokter itu.
💗💗💗💗💗💗💗💗💗💗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Siti Munfarida
ku kira virus corona
2021-07-18
0
anggita
Virus Q
2021-04-04
1