" Hah, apa gak tambah mengada para warga. Dengan semakin kaya apa nggk di kira nganut aliran sesat gitu, atau ya minimal punya pesugihan?" Asumsi Djiwa usai mendengar cerita.
"Kau tahu Abah mu itu punya masjid, haji pula, mana bisa dikira nyupang, pokoknya warga bungkam weh." Timpal Ujang.
"Tuhkan, harusnya aku ini tergolong anak juragan desa tidak sih? Kenapa sempat-sempatnya ingin di beri santunan karena tak punya ibu, cih dongkol sekali aku, sompret, bengal di beri tahu." Dumal Djiwa.
"Heyy, kau pandai mengumpat sekarang." Ujang tak mengira Djiwa sudah berani menyerapahi manusia lainnya.
"Apa mengumpat harus mengunggu dewasa? Ku pikir banyak anak kecil lebih berani daripada aku untuk berkata demikian." Djiwa merasa ucapannya masih taraf sopan.
"Ah iya, memang keluarga Boti terkenal kaya ya dari dulu?" Djiwa penasaran, pasalnya terlihat jelas kesenjangan perekonomian keluarga yang ia tumpangi.
"Kalau lahan memang luas, tapi tak menjamin panen bagus, tapi semenjak punya kau, semua berjalan mulus. Kata orang tinggal lempar benih, besok benihnya panen sendiri. Meski hama dan kemarau melanda, tanah kita subur sendiri." Papar Ujang, dia saja keheranan, namun sekarang terbiasa.
"Hah, kenapa ajaib sekali?" Di benak Djiwa yang cerdik, hal itu amat mustahil.
"Karena pesugihan bayi, meski tak terdengar langsung, bisik warga kadang kita tahu. Kata mereka kau adalah sosok jelmaan pesugihan itu. Kau lihat sendiri, keluarga Bowan dan Botu juga bisa di bilang jadi kaya raya di kampung bukan?" Ujang, ingat dulu meski tak begitu miskin, tapi mereka kerap mengeluh karena pancaroba dan sistem panen selalu gagal.
"Hem, mungkin aku memang pembawa berkah, makanya Boti harus baik-baik mengurus ku." Canda Djiwa.
"Memang sejak kapan aku tak serius mengurus mu, aku sendiri belum punya anak tapi dengan adanya kau, aku seolah tak butuh menikah dan punya anak lagi." Gumam Ujang.
"Jangan sampai begitu, pokoknya harus nikah Boti, udah mah bentar lagi kepala empat kan?" Segenap kemampuan di lakukan, tapi Djiwa selalu gagal menjadi anak comblang.
"Baiklah-baiklah, yasudah sekarang kau ku antar ke rumah Bowan." Tawar Ujang, sebab di tengah cerita tadi Yanto pamit pulang ada pembeli sapi ternaknya.
"Tak perlu aku bisa sendiri." Tolak Djiwa, dia tahu Ujang lelah.
"Tak takut dengan cerita ku barusan? Siapa tahu si botak muncul lagi." Waspada Ujang.
"Kalau muncul lagi harusnya sudah dari jauh hari dong, Djiwa sudah remaja dan tak sekalipun melihat orang mencurigakan itu." Seingat Djiwa demikian.
"Hah, tetap saja aku harus mengantar mu. Tak bisa tidak, kalau sampai kau pulang sendiri, esok hari aku di penggal om Jarwo." Ujang pernah sekali saking lelahnya tak bisa mengantar Djiwa, besoknya tak diizinkan bertamu Djiwa, tak di beri kesempatan Djiwa tidur di rumahnya, di keluarkan dari grup keluarga.
"Cih berlebihan sekali." Ejek Djiwa.
Jalan berdampingan, mengenakan sendal jepit idaman, saling bergandeng tangan, dan bersenandung riang. Djiwa suka kepribadian Ujang yang satu ini, meski tua tapi jiwa mudanya paling menggelora. Akhir-akhir ini, Djiwa kesepian, selain semua sibuk dengan pekerjaan yang menjerit minta diselesaikan, Botu Dayat sibuk dengan janda kampung sebelah. Meski demikian, sudah di pastikan semua hubungannya akan gagal. Tak sekali dua kali mencoba, mungkin puluhan tapi cintanya tak sampai pelaminan.
Benar, keluarga ketiga pemuda yang menolong Djiwa menjadi kaya raya. Semua aspek kehidupan desa mereka yang menguasai. Tapi, perihal jodoh tak mengimbangi. Yanto nyaris menyerah dengan Tasya si bidan desa. Meski saling cinta, ada restu di depan mata, tapi hubungan tak mulus, selalu ada permasalahan hingga keluarga Tasya memutuskan untuk menjodohkan Tasya dengan seorang polisi. Ujang apalagi, tak satu dua gadis yang sudah di lamar, tapi seolah kabur setelah mendekati pernikahan. Itulah sebab mereka jauh dari para wanita. Hanya Dayat yang belum menyerah sejauh ini.
"Assalamualaikum, kakek nenek Djiwa pulang." Teriak Djiwa santar.
"Waalaikumsalam." Rini berlari ke pintu utama.
Ceklekkk
"Loh kok malem banget pulangnya, kirain mau minep lagi di tempat Boti." Rini baru saja mau tidur.
"Maaf nenek, habisnya keasyikan ngobrol sama Boti." Jelas Djiwa.
"Pamit dulu ya bi, mau tidur dulu ntar malem jatah ronda." Sebenarnya Ujang berniat kabur, sebelum kena omel.
"Oh yaudah, hati-hati...eh tunggu dulu Jang." Rini ingat, ada sesuatu yang harus di titipkan.
"Apa bi?" Ujang penasaran, karena Rini bergegas masuk rumah tanpa repot memintanya untuk ikut masuk.
"Hahah, emang gitu nenek suka seenaknya, sabar ya Boti, aku masuk dulu mau mandi lagi."Pamit Djiwa.
"Yeuhh, enak aja tunggu sebentar atuh, ntar Boti kaya orang ilang disini." Larang Ujang.
Rini muncul dengan satu nampan yang berisikan sayur dan lauk pauk. "Nih di bawa."
"Apalagi ini bi, semur jengkol aja belum abis loh, ini apa?" Berhubung di tutupi tudung, Ujang tak bisa menilik isinya.
"Sayur daur ulang, sama ada sambel ikan tongkol kesukaan mu, dah sana bawa pulang." Pinta Rini.
"Ya ampun, segala genjer di bawa, tongkolnya aja yang di bawa ya bi." Tawar Ujang.
"Ih, sayur kesukaan Mayang itu, sana kasih ibu mu. Dah malem mau tutup ini pintu rumah." Usir Rini.
Jeglekk
"Djiwa tadi bahas apa aja sama ayah Ujang?" Interogasi di mulai Rini.
"Pesugihan bayi." Sahut Djiwa singkat.
"Hah maksudnya?" Rini butuh penjelasan akurat.
"Ya katanya keluarga kita di gosipkan penganut pesugihan bayi nek." Djiwa ingin tahu, bagaimana Rini menanggapi perihal ini.
"Ayok duduk dulu, biar nenek ceritakan betapa dongkolnya nenek kala belanja di pasar waktu itu." Ajak Rini.
"Tapikan nenek udah mau tidur, Djiwa takut nanti mengganggu jam tidur nenek." Tolak Djiwa halus, aslinya dia sudah tidak ingin dengar cerita. Neneknya kalau sudah cerita bisa sampai ke presiden pun jadi bahan.
"Tak penting tidur mah, ayok duduk dulu sambil nyetel tv."
Djiwa mulai hanyut dalam cerita Rini. Wanita itu menggebu-gebu mengisahkan masa lampau. Djiwa sampai pegal ingin rebahan, tapi tahu diri tak sopan jika di lakukan. Benar dia makhluk paling dimanja, tapi etika harus tetap di jaga. Kala orangtua bercerita sudah sepatutnya mendengar tanpa mencela.
"Ceu Rini, mau mampir ngebakso nggk ya?" Mayang ngiler saat melintasi warung bakso haji Ruslan.
Rini mengendus, memang aroma bakso Ruslan tiada dusta. "Hayuk lah, gas aja."
"Atuh Ceu Mayang sama Ceu Rini nggak kenyang dari tadi, kita udah makan soto, udah makan cenil, ngerujak, ini masih mau nambah bakso lagi." Yanti tak kuasa mengikuti lambung mereka.
"Ya kan kita belum sarapan, wajar jajan dulu." Mayangmenimpali.
"Kok bisa belum sarapan, ari tadi teh apa?" Yanti tak habis pikir.
"Eh Ceu Yanti, kalau belum makan nasi mah, belum sarapan atuh ah." Rini mendukung Mayang.
"Gini aja deh, Ceu Yanti teh mau ikut ngebakso ngga?" Rini bertanya.
"Yaudah atuh ah, daripada pulang sendiri, paur di di culik." Akhirnya Yanti setuju, dalam hati dia akan pesan setengah porsi saja, tanpa mie dan perintilannya.
Mereka hendak masuk warung bakso haji Ruslan. Tapi belum sempat menyibak tirainya terdengar ocehan warga mengenai keluarga mereka. Jadilah ketiganya mencuri dengar, kadang kita perlu ocehan orang lain untuk berbenah bukan. Tapi kalau fitnah, harus di bumi hanguskan nantinya.
"Ya ampun Ceu, makin gaya aja itu emak para trio beban desa. Apalagi Ceu Rini, beuh sementang dulunya orang Jakarta, gayanya selangit banget."
"Jangan Ceu Rini atuh ah, liat itu si Mayang sama Yanti gadis desa yang dulunya cuma jual wajah dempul di nikahi sama orang berada di kampung kita, sekarang sombong banget."
"Atuhlah, saya pernah negor eh dia melengos gitu aja, gak ada ramah-tamah sesama warga."
"Eh tapi dengar-dengar ya sebenernya mereka itu..."
"Mereka kunaon teh, jangan dijeda."
"Iya ih bikin penasaran aja."
"Emang kalian belum ada yang dengar, saya takut mau ngomong nya, takut jadi tumbal berikutnya."
"Astaghfirullah, amit-amit."
"Iya ceu, amit-amit pisan, kok tega ya keluarga mereka begitu, nganut ilmu buat pesugihan bayi."
"Dengar-dengar cucu yang nemu itu aslinya anak jin yang mereka junjung tau."
"Alah teh itu mah rahasia umum, yang parah katanya kalau malam-malam tertentu itu mereka bertiga di gilir buat di gagahi sama demit junjungan mereka."
"Astaghfirullah, ihh serem dengernya ge, untung udah selesai makan, rasanya saya teh pengen muntah, ngebayangin nya mual."
"Kang, baksonya masih ada?" Rini tak kuat langsung masuk dan pura-pura menanyakan bakso.
"Oh ada teh, ini masih banyak." Sahut pegawai kedai.
"Ada seratus porsi nggk ya kang?" Mayang membuntuti.
"Waduh kalau seratus porsi mah kurang teh."
"Seadanya aja di bungkus kang." Pinta Rini.
"Oh ya kang, hitung dulu semuanya berapa, sekalian punya ibu-ibu itu yang lagi pada makan, biar di bayar sekalian." Pinta Yanti.
"Eh, mereka ngebungkus juga teh, dihitung juga?" Tanya si pegawai.
"Hitung semua kang, sekalian. Oh iya nanti baksonya di bagiin ke tukang parkir, sama tukang ojek pangkalan, terus nenek-nenek dan sekiranya orang membutuhkan ya." Tukas Rini.
"Siap teh."
Tiba-tiba salah satu ibu penggosip tadi mendekati Rini. "Hatur nuhun ya Bu haji, semoga rezekinya lancar gangsar."
Rini menggerakkan tangan. "Tak usah di doakan, doa dari tukang ghibah gak tambus langit."
"Ehh, hampura Bu haji, kita mah nggak ngegibah kok."
"Hayuk Rini Mayang kita pulang, aroma manusia pemakan daging saudaranya ngalahin aroma bakso haji Ruslan, haduhh mual jadinya." Sindir Yanti.
Kepergian Rini cs membuat ibu-ibu penggosip langsung mendekat ke arah temannya. "Gawat kayaknya mereka denger deh."
"Aduh gimana ini, bisa di cabut bantuan santunan buat keluarga kita dari mereka."
"Celaka ini mah, ah eceu sih."
"Udah jangan saling menyalahkan, emang mulut ibu-ibu aja nggk bisa di rem, segala nuduh Bu haji, padahal baiknya nggk ketulungan." Komentar kang bakso.
"Ish, si akang yang salah, udah tahu ada mereka bukannya kasih kode malah diem aja"
"Ya biar seru aja." Timpal pegawai
"Seru gundul mu mirip bakso."
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Ney Maniez
nahh kann,,, mulut mu harimau mu...
jgn bnyk gosip mak emak...
banyakin mah gosok di rumahh
2024-08-11
0
Ney Maniez
alasan km djiwaaa😂😂😂
2024-08-11
0
Ney Maniez
gantii bkn mak comblang...
ank comblang 😂😂😂
2024-08-11
0