“Kenapa tidak mungkin?” tanya Umminya Zahra bingung, begitupun yang lain yang terlihat penasaran dengan jawaban Zahra maupun gus Afkar.
“I–itu…” ucap Zahra terbata.
“Zahra kemarin baru test pack Ummi.”
Zahra menoleh ke arah suaminya dengan mengangkat alisnya, ‘Hah?’
Ia bingung bagaimana suaminya itu bisa membuat alasan seperti itu.
Lelaki itu tersenyum sambil mendesah lirih kemudian membalik badan Zahra menghadap keluarganya.
“Apa kau mau mereka curiga?” bisik suaminya itu sedikit menekannya sambil memegang kedua bahunya.
Zahra meringis lirih.
“Iya Ummi, masa kemarin baru test pack sekarang sudah ada saja,” ucap Zahra menegaskan.
“Lho siapa tahu, kan bisa aja test pack itu salah,” ucap Umminya Zahra.
“Iya, gimana kalau Ummi antar kamu periksa ke dokter, biar tahu hasilnya akurat,” tambah Ummi Aminah.
Zahra dan suaminya kembali saling memandang dengan meringis cemas.
“Ummi ini gimana? Kasihan toh Zahra, apalagi ia juga masih sakit, masa’ malah diajak ke dokter malam-malam begini, kan besok bisa,” ucap Kyai Amir memberi saran yang justru malah menambah panik Zahra.
“Ini masih ada Gus, suaminya Zahra Lho, apa tidak dimintain pendapat, lagi pula Gus masih bisa kalau hanya mengantar istrinya ke dokter.”
Seisi ruangan dibuat terkekeh bahagia dengan pernyataan Gus Afkar.
“Astagfirullah Iya, maaf Gus, Ummi lupa kalau anaknya umi Ini sudah sangat dewasa.” ucap Ummi Aminah.
“Gini ini kalau Umi sudah sangat sayang sama putranya, di luar wibawanya luar biasa di dalam rumah sudah, hanya jadi anaknya Ummi saja. Maaf ya Nduk,” jawab Kyai Amir bijaksana.
Zahra menggelengkan kepala, sambil tersenyum ia berkata,” tidak apa Aba Yai, selamanya Gus Afkar adalah putra Ummi Aminah, dan saya bersyukur bisa menjadi putri Ummi Aminah juga.”
Gus Afkar terlihat menatapnya dengan hangat, sementara Ummi Aminah segera memeluknya sambil berbisik lirih, “ Ummi juga bangga dan bersyukur punya putri lagi seperti kamu, Nduk.”
“Ya sudah, antar istrimu itu tidur di tempatnya Alfiyah saja, tadi Alfiyah bilang mau tidur di rumah temannya. Kasihan pasti istrimu itu lemas. Disini lama-lama malah diajak ngobrol sama Ummi-ummimu ini” ujar Kyai Amir menengahi.
“Kamu juga Gus, tungguin istrimu itu sakit. Sudah nanti makannya di kamar saja sama istrimu. Nggak usah pergi-pergi lagi,” nasehat Ummi Aminah terdengar sedikit menekan.
“Baik, siap Ummi, permisi ya Ummi Abi, Gus pamit ngantar Zahra ke kamar. Maaf tidak bisa menemani makan,” ucap Gus Afkar meminta izin pada mertuanya itu.
Kedua orang tua Zahra terlihat mengangguk dan mempersilahkan keduanya untuk beristirahat terlebih dahulu.
Zahra menyalami orang tuanya itu dan memeluk mereka kemudian pamit
Ia berjalan ke kamar dibopong oleh Gus Afkar.
“Apa kau tidak punya alasan yang lebih baik, Gus? misal aku sedang haid atau apa,” bisik Zahra bertanya sambil meliriknya dengan sedikit kesal.
“Menurutmu? kamu dari kemarin kan shalat di masjid, apa tidak aneh kalau aku bilang kamu sedang haid?” Tanya balik Gus Afkar.
Zahra menoleh, menatap suaminya dengan meringis malu.
Keduanya kemudian masuk ke dalam kamar Alfiyah.
“Tadi harusnya kita pulang saja, Gus.”
“Sudah jangan banyak komplain, istirahat saja! kamu kan sedang sakit,” pinta Gus Afkar dengan lembut.
Tanpa Zahra sadari ia terlihat akrab bersama suaminya tersebut, seakan keduanya tidak pernah bertengkar sebelumnya.
Lelaki itu tampak membenahi bantal dan bed cover ranjang Alfiyah, dan mempersilahkan istrinya itu tidur.
“Kamu tadi harusnya bilang ke WA, kan nggak sulit, jadi aku tahu kalau orang tuamu mau datang. Untung Ummi Aminah wa Gus,” keluh Gus Afkar.
Mendengar hal itu, seketika Zahra teringat kalau dia tadi sedang marahan dengan suaminya.
Ia kemudian bangkit dari ranjangnya dengan wajah kesal.
“Loh kenapa?” tanya suaminya itu terlihat heran dengan perubahan sikap Zahra yang tiba-tiba.
Zahra memandang tajam ke arah suaminya, “menurut Gus, apa Zahra itu akan dengan mudahnya memaafkan Gus, padahal jelas-jelas Gus itu pulang bersama Nayla dan mengabaikan pesan Zahra.”
“Sudah sudah, Gus tahu Gus salah. Kita istirahat ya, Gus juga capek,” ucap Gus Afkar mengalah sambil kemudian mengambil tidur di sebelah Zahra.
Namun Zahra yang masih marah dan gengsi segera berdiri dan mengambil bantalnya.
“Kau mau ke mana?” tanya Gus Afkar sambil langsung bangkit dan menyabet bantal Zahra, kemudian menaruhnya di tempatnya semula.
“Kamu tidur di sini saja, biar Gus Afkar yang tidur di lantai, oke,” lanjut lelaki itu menenangkan.
Dia kemudian terlihat membuka lemari adiknya dan mencari selimut.
Dia menggelar selimut itu sebagai alas tidur dan mengambil bantal.
Gus Afkar terlihat menatap dalam ke arah Zahra kemudian bergegas berbaring. Sebentar saja dia sudah terpejam.
Zahra yang masih menatap balik suaminya, tersenyum hangat.
Tiba-tiba lelaki itu bergumam, “Aku tahu aku sangat tampan, tapi kau tidak usah menatapku segitunya, tidurlah!”
“Narsis!”
Lelaki itu tampak tersenyum dalam tidurnya mendengar ucapan Zahra tersebut.
Zahra segera membalikkan badan ke arah lain dengan kesal.
“Makasih, Gus” gumam zahra dalam hati lalu memejamkan matanya.
******
“Gus, Zahra sudah hampir shubuh, ayo bangun!”
“Iya Ummi.”
Terdengar suara Gus Afkar yang setengah menguap menjawab panggilan Umminya tersebut.
Zahra menggeliat malas, badannya masih terasa lemas dan kurang fit.
“Sebentar lagi,” gumamnya lirih, kemudian tertidur kembali.
Karena tidak lelap, ia bisa merasakan geliat Gus Afkar yang terlihat bangkit dan berjalan.
Lelaki itu terdengar membuka pintu, dan menyalakan shower.
Gemericik airnya begitu berisik, tapi tak mampu membangkitkan Zahra untuk bangun.
Suara shollah-shollah juga mulai terdengar dari pengeras suara masjid.
“Gus, Zahra, Ayo bangun kita ke masjid bareng.”
Terdengar suara Ummi Aminah memanggil sambil mengetuk pintu.
Zahra akhirnya bangkit, ia menutup mulutnya yang menguap dan menggaruk-nggaruk rambutnya sambil berjalan menuju pintu.
Ia meraih gagang pintu itu dan mengayunya dengan mata setengah mengatup, tapi anehnya pintu itubtak mau tak terbuka.
Ia akhirnya memperhatikan gagang pintu itu.
‘Ya Allah Zahra, ini pasti terkunci’ pikirnya kemudian meraih kunci pintu tersebut dan memutarnya.
Ceklek
Ceklek
Ia kemudian membuka pintu tersebut sedikit, “Nggih Ummi sebentar,” ucapnya setengah sadar.
Ummi Aminah terlihat tersenyum.
Zahra kemudian berbalik dan berjalan gontai tanpa menutup pintu itu kembali.
Tiba-tiba pintu kamar mandi terdengar terbuka, Zahra sontak menoleh dengan malas.
Gus Afkar keluar dengan dada terbuka dan hanya memakai celana panjang.
Dia terlihat menilik keluar dan panik.
Zahra yang melihatnya setengah telanjang dengan handuk di bahunya juga mulai tersadar dan terperanjat diam di tempatnya.
Matanya membelalak.
Tapi bukannya menghindar, lelaki itu justru berlari hendak menarik alas tidurnya ke atas ranjang. Tapi karena ia tergesa-gesa kakinya terpeleset ujung selimut yang mau diambilnya tersebut.
Alhasil, ia terpelanting dan tanpa sengaja menarik gamis Zahra untuk pegangan.
Keduanya terjatuh bersamaan di atas ranjang dengan Zahra berada di atas Gus Afkar.
“Astaghfirullah.”
Terdengar gumaman Ummi Aminah.
Sontak Gus Afkar terlihat membelalak, Zahra merengut malu, dia memberanikan diri menoleh.
Terlihat ibu mertuanya itu menutup mata dan berbalik, lalu tergesa-gesa keluar dan menutup pintu.
Brak
Zahra menutup mata dengan malu, kemudian menoleh kembali kepada suaminya itu yang kini terlihat tersenyum.
“Apa kau masih tetap mau berada di atasku?”
Zahra sontak tersadar dan bangun mendengar ucapan suaminya itu.
“Dasar pencari kesempatan!” ucap Zahra kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments