“Maaf ...” Gumam Andi.
Maya yang sudah merebahkan badannya di samping Andi saat ini, mengangguk pelan sambil menatap wajah suaminya yang juga sedang merebahkan badannya, saling berhadapan.
“Mas—“ Bisik Maya ragu. Ia ingin bertanya perihal Devina, tapi, hatinya ragu.
“Kenapa May?”
“A-Aku, boleh tanya soal Devina?” Tanya nya ragu.
Andi menatap dalam-dalam mata istrinya itu. Sambil tersenyum, ia mengangguk lalu mengangkat tubuhnya, merubah posisinya menjadi duduk sekarang.
Maya mengikuti suaminya, ia menyandarkan punggungnya pada dada suaminya. Bukan tanpa alasan, ia ingin mendengar jawaban Andi sambil mendengar degup jantungnya. Barangkali dengan cara ini, Maya bisa tahu apakah Andi menjawab semua pertanyaan Maya dengan jujur atau, bohong.
“Kamu—Sudah pernah ketemu Devina?” Tanya Maya pelan.
Andi mengangguk, tangannya membelai rambut istrinya yang saat ini menyandarkan kepalanya pada dada nya yang bidang.
Belum ada debar yang begitu kencang, Maya merasa jawaban Andi jujur.
“Apa benar, kamu ingin menikahinya mas?” Tanya Maya lagi.
Kali ini, Andi menghela nafasnya pelan. Perlahan, degup jantungnya mulai berlari. Meningkat seiring dengan deru nafasnya yang menyapu wajah Maya.
“Aku, belum tahu.” Jawab Andi pelan.
Maya terdiam sebentar, sudah tidak ada lagi tangan Andi yang semula membelai rambutnya. Maya memutuskan untuk mengangkat kepalanya. Ia menegakan duduknya, dan menyandarkan punggungnya pada ujung ranjang di samping Andi. “Mas, aku minta maaf. Aku tahu aku tidak sempurna. Aku belum bisa kasih kamu keturunan dari rahim ku sendiri ...” Ucap Maya sambil memegang tangan Andi. “Tapi, aku janji aku akan selalu menjadi istri yang menuruti semua keinginan suami. Kita bisa memulai semua nya dari awal dengan Aisya.”
Andi terdiam, ia melemparkan pandangannya dari Maya.
Maya tahu, ada keraguan di sorot mata suaminya ini. “Mas, Kalau kamu benar ingin menikahi Devina, maka ceraikan aku.” Ucap Maya pelan.
Andi mengembuskan nafasnya pelan. Ia melepas genggaman tangan Maya. Tanpa menjawab pertanyaan Maya, Andi turun dari kasur dan pergi keluar kamar. Meninggalkan Maya yang terdiam di atas kasur.
Dering ponsel menyadarkan lamunan singkat Maya. Setidaknya ia hampir lupa kalau dirinya masih punya ponsel yang di simpan untuk menghubungi semua orang di pondok pesantren.
Sampai saat ini, Maya belum memberikan kabar kepada Raga ataupun ustadz Fajar.
"Assalamualaikum... Mbak Maya." Suara lembut dari pemuda santun yang menemukan Maya pertama kali di pondok pesantren itu, menyapa telinga Maya melalui ponselnya.
"Wa'Alaikum Salam mas Raga." Jawab Maya pelan. "Mohon maaf saya lupa mengabari pondok, saat ini saya dan Aisya ada dirumah saya. Saya tidak jadi mengantar Aisya ke paman dan bibi nya, karena ..." Kalimat nya terhenti. Maya menarik nafasnya pelan. "Saya rasa paman dan bibi nya punya maksud kurang baik terhadap Aisya." lanjut Maya.
"Oh begitu mbak. Saya hanya khawatir karena tidak ada kabar dari mbak Maya dan Aisya." Jawab Raga pelan.
"Alhamdulillah kami berdua baik-baik saja." Maya berdiri dari kasurnya dan berjalan menuju kaca riasnya. Entah kenapa ia ingin melihat wajahnya sendiri ketika menerima telepon dari pemuda yang usia nya jauh lebih muda itu. "Mas Raga, saya minta tolong untuk sampaikan berita ini ke ustadz Fajar. Kami berdua memutuskan untuk kembali ke rumah. Saya akan segera urus surat-surat adopsi untuk Aisya. Saya dan Suami saya bersedia mengangkat Aisya sebagai anak saya."
"Syukur Alhamdulillah, baik mbak saya akan sampaikan ke ustadz Fajar." Suara Raga terdengar lemas saat menjawab pernyataan Maya barusan. "Berarti, mbak Maya dan Aisya tidak kembali ke pondok lagi?" Tanyanya ragu.
"Soal itu, kemungkinan saya akan menetap kembali di rumah ini mas." Jawab Maya sambil melirik ke arah pintu kamar.
Andi kembali masuk ke dalam kamar sembari memperhatikan Maya yang sedang menerima telepon.
"Tapi, saya pasti sempatkan main ke pondok bersama Aisya, kapan-kapan." Ucap Maya lagi.
Setelah percakapan terakhir dari Maya. Raga segera berpamitan dan menutup teleponnya. Maya merasa lirikan mata suaminya kurang begitu bersahabat saat melihat dirinya menerima telepon.
"Siapa?" Tanya Andi sambil kembali menjatuhkan badannya di kasur.
"Mas Raga, dari pondok pesantren, dia menanyakan perihal Aisya." Jawab Maya yang ikut duduk kembali di samping Andi di atas kasur.
Andi mengangguk sambil berusaha menutupi wajah curiga nya.
Keduanya menutup malam ini dengan tanpa obrolan lagi. Setelah Maya mematikan lampu kamarnya, keduanya lelap dalam dekap malam.
...****************...
"Mas, jangan pergi aku mohon." Maya yang terisak, menengadahkan tangannya mencoba meraih Andi yang berdiri beberapa meter di depannya.
Mimpi, dalam mimpinya, Maya melihat Andi yang sudah mengenakan jas hitam yang digunakan saat mereka menikah. Rumahnya sudah di dekor sedemikian rupa, seperti sebuah acara hajat besar dengan beberapa ornamen bunga berwarna putih di sana sini.
Maya melihat dengan mata kepalanya sendiri, Andi yang bahagia tersenyum berdampingan dengan seorang gadis muda di depan penghulu. Di saksikan hampir seluruh keluarga, tetangga dan orang-orang terdekat.
"Mas!"
Maya terbangun dari mimpi buruknya. Entahlah kenapa sampai ia bermimpi seperti ini. Mungkin hanya terbawa pikiran dari obrolan semalam dengan mertua nya.
Sambil mengusap matanya, ia membangunkan badannya dan mencari handphonenya.
Pukul empat, hampir subuh.
Maya memutuskan untuk segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, mengambil wudhu dan solat subuh.
Ting ...
Telinga nya jelas mendengar suara notifikasi handphone dari meja sudut di samping Andi. Notifikasi dari handphone Andi.
Awalnya, Maya tidak ingin memperdulikan. Karena memang selama pernikahan nya yang sudah sepuluh tahun ini, Maya tidak pernah sekalipun membuka barang yang menjadi privasi Andi. Maya benar-benar percaya kalau Andi tidak pernah melakukan perselingkuhan selama mereka berumah tangga.
Tapi, mimpi barusan, di tambah cerita soal Devina, akhirnya mendorong Maya untuk melihat notifikasi siapa yang masuk ke ponsel suami nya ini.
Pelan sekali tangannya mencoba mengambil handphone Andi di meja sudut. Ia tidak ingin membangunkan suaminya.
Tentunya layar handphone Andi terkunci. Tapi dari layarnya jelas menampilkan sebuah nama, yang mengirimkan pesan chat sepagi ini ke suami nya. 'Devina'
Sayangnya, Maya tidak bisa membuka chat tersebut. Ia hanya melihat notifikasi di layar yang terkunci saja.
Dengan perasaan yang coba di buat Maya setenang mungkin, akhirnya ia kembali menaruh ponsel Andi ke posisi semula.
Maya memutuskan untuk pergi ke kamar mandi, kembali ke rencana awal saat ia baru bangun tadi. Mandi, wudhu dan solat subuh.
...****************...
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments