Andi pulang kerja dengan tubuh yang lelah dan pikiran yang lelah. Hari ini, rapat di kantor sangat melelahkan, ditambah dengan kemacetan lalu lintas yang membuat perjalanannya pulang terasa semakin panjang.
Saat memasuki rumah, suasana yang sepi menyambutnya. Biasanya, Maya akan berada di ruang tamu atau dapur, menyambutnya dengan senyuman hangat. Tapi kali ini, rumah terasa kosong dan dingin.
Andi meletakkan tas kerjanya di sofa dan berjalan menuju kamar. Saat membuka pintu kamar, matanya tertuju pada sebuah kertas yang tergeletak di atas kasur. Dengan perasaan penasaran dan sedikit khawatir, Andi mengambil kertas itu dan mulai membacanya.
Andi tertegun. Kata-kata dalam surat itu menghantamnya seperti pukulan keras. Selama ini, dia menganggap ancaman dan ultimatumnya hanya sebagai cara untuk menekan Maya, berharap istrinya akan berubah dan mereka bisa kembali seperti dulu. Tapi sekarang, Maya benar-benar pergi.
Dengan cepat, Andi meraih ponselnya dan mencoba menelepon Maya terlebih dahulu.
Sayangnya, Maya memang sengaja mematikan handphone dan berencana untuk mengganti nomor teleponnya.
Andi mulai sedikit panik, akhirnya ia menelepon ibu nya. Suara ibunya yang akrab terdengar dari seberang.
“Ya, Andi. Ada apa?”
“Bu, Maya pergi. Dia meninggalkan surat dan pergi dari rumah,” jawab Andi dengan suara tegang.
Di luar dugaan, suara ibunya terdengar tenang dan bahkan sedikit gembira. “Syukurlah. Sudah saatnya kamu mencari wanita lain yang lebih baik dan bisa memberikan keturunan, Andi. Sebenarnya, Ibu sudah punya calon yang baik untukmu. Anak teman Ibu. Dia cantik, sopan, dan dari keluarga baik-baik.”
Andi merasa hatinya semakin kacau. Ibunya sudah merencanakan perjodohan bahkan sebelum dia sempat mencerna kepergian Maya. Namun, di balik semua itu, ada rasa bersalah yang semakin menguat dalam dirinya. Dia tahu, meskipun sering bersikap keras pada Maya, di dalam hatinya, dia masih mencintai Maya.
“Ibu, saya tidak bisa memikirkan itu sekarang. Saya harus mencari Maya,” kata Andi dengan suara yang tegas.
Ibunya mendesah. “Jangan bodoh. Maya sudah pergi, dan itu mungkin yang terbaik. Kamu tidak perlu mencarinya. Fokus saja pada pekerjaan dan hidupmu.”
Andi mengembuskan nafasnya kasar, tanpa berpamitan, ia menutup telepon ibunya dan segera mencari petunjuk tentang keberadaan Maya. Dia memeriksa kamar, mencari tanda-tanda ke mana Maya bisa pergi. Tapi tidak ada petunjuk yang jelas. Maya telah pergi tanpa meninggalkan jejak.
Andi duduk di tepi kasur, memandangi surat itu sekali lagi. Di balik sikap kerasnya, dia merasa sangat bersalah atas apa yang telah terjadi. Pada saat seperti ini, Dia mengingat semua kenangan indah bersama Maya, semua momen kebahagiaan yang mereka bagi. Dalam hatinya, Andi tahu bahwa dia telah salah memperlakukan Maya.
“Maafkan aku, Maya,” bisik Andi dengan suara penuh penyesalan. “Aku akan menemukanmu dan memperbaiki semuanya, apapun yang terjadi."
...****************...
Maya terbangun oleh suara azan subuh yang menggema dari pengeras suara masjid. Suara merdu itu membawa seberkas ketenangan dalam hatinya yang gundah. Maya mengusap matanya yang sembab dan melihat sekeliling. Masjid ini masih sama seperti yang diingatnya, sederhana namun penuh kedamaian. Kenangan masa kecilnya saat mondok di sini perlahan-lahan kembali, memberikan secercah harapan di tengah kesedihan yang melanda.
Maya melipat mukena yang dipakainya untuk tidur dan memutuskan untuk menunaikan salat subuh. Setelah berwudhu, dia mengambil posisi di barisan belakang, merasakan ketenangan yang perlahan meresap ke dalam hatinya.
Selesai salat, Maya duduk di serambi masjid, menunggu langit yang masih gelap berubah menjadi terang. Pikirannya melayang pada masa-masa indah di pondok ini. Tiba-tiba, suara lembut seorang pria mengagetkannya.
“Assalamu'alaikum, mbak. Apa mbak tamu di sini?” tanya seorang pria muda dengan wajah ramah.
Maya menoleh dan melihat seorang pria muda, dengan raut wajah tegas namun meneduhkan. Dari mukanya, mungkin usianya sekitar 25 tahun. Tubuhnya yang tinggi dan gagah, membuat pria itu harus berdiri setengah menunduk di depan Maya saat menyapa Maya yang tengah melamun.
Wajahnya terlihat tenang dan penuh wibawa, mengenakan baju koko putih dan sarung hijau tua.
“Wa'alaikumsalam. Iya, maaf mas, apa saya mengganggu?." Maya segera berdiri menunduk. "Nama saya Maya. Saya dulu pernah mondok di sini saat masih SMP. Saya datang kemari karena ... saya tidak punya tempat lain untuk pergi,” jawab Maya dengan suara pelan.
Pria itu tersenyum hangat. “Nama saya Raga, saya pengelola pondok pesantren ini. Alhamdulillah, kami senang menyambut kembali santri lama." Raga. Nama pria dengan wajah yang tegas namun meneduhkan itu adalah Ragantara Dewa Syuhada, atau Raga. "Jangan khawatir, insya Allah, kamu aman di sini. Silakan tinggal di sini selama yang kamu butuhkan.”
Maya merasa sedikit lega mendengar kata-kata Raga. “Terima kasih, Mas Raga.”
Raga mengangguk sembari tersenyum, wajahnya berkali-kali menunduk dan tidak berani menatap wajah Maya lebih dari sedetik. "Panggil saya Raga saja mbak."
Maya mengangguk, ia sadar, kalau dirinya memang belum rutin menggunakan hijab. "Maaf mas- eh maksud saya Raga. Saya boleh minta di antarkan ketemu pak kyai." ucap Maya sambil cepat-cepat memakai kembali mukena nya supaya auratnya tertutup.
Raga terdiam sebentar. "Maaf mbak, kalau yang dimaksud adalah kyai sepuh pemilik pondok ini, beliau sudah meninggal tiga tahun lalu saat saya baru datang ke sini."
"Innalilahi wainnailaihi rojiun ... " Bisik Maya, matanya berkaca-kaca saat mengingat Pak Kyai. “Jadi, Pak Kyai sudah meninggal, lalu siapa yang meneruskan pondok pesantren ini?"
Raga mengangguk. “Benar, beliau sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Sekarang pondok ini dikelola oleh anak beliau, Ustaz Fajar, yang juga sahabat sekaligus guru saya.”
Maya merasa sedikit terhibur mendengar ada orang yang masih mengenang Pak Kyai dengan baik. “Bolehkah saya bertemu dengan Ustaz Fajar?”
“Tentu saja. Tapi mungkin nanti setelah matahari terbit. Saat ini, saya akan menyiapkan tempat untuk kamu beristirahat. Ada kamar tamu di pondok yang bisa kamu gunakan sementara.”
Maya merasa sangat berterima kasih dan mengikuti Raga menuju pondok. Di sana, dia bertemu dengan beberapa santri lain yang menyambutnya dengan senyuman dan salam. Kamar tamu yang disediakan sederhana namun bersih dan nyaman. Maya merasa sedikit lebih tenang berada di tempat yang familiar ini.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Noeng Faiq
maya suruh berubah yg bagaimana maksudnya,
2024-11-17
0
✿🅼🅴🅳🆄🆂🅰✿
hadirr thorrrrr....semangat/Determined/
2024-08-05
0