“Arin… sekretaris Arin.”
“Huh? Apa?”
Ekspresi kebingungan sempat terpancar dari wajah Arin. Gadis itu sempat termenung sesaat sebelum kesadarannya mengambil alih.
“Sekretaris Arin, aku bertanya apa kamu sudah mengecek apa yang saya serahkan?”
“Huh? Ah iya, saya sudah mengeceknya.”
Baskara cukup terkejut dengan wajah Arin yang tampak pucat.
“Apa kamu baik-baik saja?”
Arin langsung menempelkan tanganya ke pipi. “Aku? Aku baik-baik saja.”
“Kamu berkeringat dingin. Kamu bisa saja pingsan jika memaksakan diri.”
Arin langsung tersenyum tipis untuk memastikan dirinya baik-baik saja.
“Mungkin aku hanya kurang tidur. Aku akan membeli kopi saat istirahat nanti.”
“Tidak hanya kopi, makanlah sesuatu. Jika Pak Mavendra tahu, beliau akan khawatir.”
“Aku tak akan membuatnya khawatir, tenang saja.”
Sudah jam makan siang saat Arin menyelesaikan pekerjaannya. Arin menghela napas panjang lelah sebelum mengambil ponselnya untuk melihat apakah ada pesan dari Liam dan rupanya nihil. Tidak ada satupun pesan dari Liam. Arin langsung mengirim pesan pada seseorang. Seseorang itu bukan Liam melainkan Naura. Dia akan bertukar pendapat dengan Naura yang sialnya ternyata wanita itu sudah berada di kafe dekat kantornya.
Arin langsung saja pergi menemui Naura. Sengaja Arin memperlambat jalannya, berharap berpapasan dengan Liam. Tapi sepertinya nasib baik belum berpihak padanya. Arin meneruskan langkahnya menuju ke lift. Rupanya nasib buruknya tidak berhenti sampai di sini. Lagi-lagi Arin harus berpapasan dengan Rena yang langsung tersenyum lebar saat melihatnya.
Arin mengeluh sulit sekali membenci wanita yang tersenyum ramah seperti ini.
...…...
Arin langsung mencari-cari keberadaan Naura saat dia sudah sampai di salah satu kafe langgannya. Tempat tidak terlalu jauh dari kantornya. Hanya sepuluh menit jika berjalan kaki.
“Apa? Jadi apa dia benar-benar menjalin hubungan dengannya?”
“Ya, ternyata benar. Buktinya dia langsung menghindar sampai detik ini saat aku bertanya hubungannya bersama wanita itu.”
“Aku sudah menduganya. Wanita itu memang seorang rubah. Jadi apa kalian putus?” Tanya Naura.
“Aku tidak tahu. Tidak ada kata putus dari kami berdua.”
“Lalu apa keputusanmu? Apakah kamu akan seperti ini? Kamu harus bersikap tegas. Mana Arin yang aku kenal?”
Arin menghela napas panjangnya. Sepanjang hari sudah ribuan kali Arin menghela napas panjang seakan dunianya benar-benar sedang tidak baik-baik saja.
“Aku benar-benar bodoh kan? Aku tahu dia punya wanita lain tapi aku tidak bisa putus dengannya.”
“Tidak. Aku mengerti dan paham bagaimana pun tidak mudah untuk langsung putus dengan seseorang yang sudah beberapa tahun menemanimu.”
Arin langsung menatap Naura dengan sungguh-sungguh.
“Naura. Sejujurnya, aku diam-diam mempersiapan untuk baik-baik saja jika aku putus dengannya sambil berharap dia tidak akan pergi. Aku benar-benar tidak memikirkan perasaannya. Tanpa aku sadari. Aku meremehkan perannya. Aku benar-benar wanita jahat ya?”
Naura langsung menggeleng dengan cepat. “Tidak. Kamu adalah orang yang baik yang pernah aku kenal”
Percakapan mereka terpotong karena ponsel Arin berbunyi. Arin menerimanya dan berbicara dengan cepat sebelum mematikan sambungan teleponnya.
“Naura, terima kasih sudah mau mendengarkan ceritaku. Aku masih ingin kamu mendengarkan ceritaku tapi aku harus menemui asisten Baskara. Tiba-tiba sekali, Mavendra mengamuk.”
“Ya, hati-hati menangani pak direktur .”
...…...
Arin langsung saja menuju ke lantai atas. Setibanya di sana, dia sudah disambut oleh Baskara yang menyuruhnya agar segera menemui Mavendra. Arin hanya bisa menurut tanpa tahu apa yang akan terjadi di dalam. Dia hanya bisa bersikap profesional.
“Pak Direktur, saya akan memulai briefing siang ini. Sore ini anda akan meninjau rencana pencapaian promosi untuk kuartal ini dan mengikuti rapat dengan setiap kepala departemen setelah itu anda akan mengunjungi kantor cabang dan terakhir anda akan menandatangani…”
“Ari Louery. Kalian sudah putus apa belum?”
“Apa? Apa maksud anda?” Tanya Arin sambil menatap Mavendra.
Mavendra langsung berdiri dari kursinya dengan angkuh sambil berkacak pinggang.
“Apa kamu bertanya karena tidak tahu?”
Mavendra langsung membuang mukanya dengan kesal.
“Ah lagi-lagi sorot matamu seperti itu dan raut wajahmu menyiratkan seolah-olah aku bukan siapa-siapa. Aku merasa seperti orang yang tidak penting saat berada di sampingmu. Itu membuat harga diriku terluka.”
Mavendra kembali menatap Arin seperti ingin membunuh gadis itu.
“Jangan mulai jadi orang yang menyebalkan lagi!” Arin mengancam.
“Kamu yang menyebalkan!”
Suara Mavendra benar-benar mendominasi. Membuat ruangan itu penuh dengan gemuruh amarah milik Mavendra.
“Kamu.”
Mavendra menunjuk jari ke wajah Arin yang tampak pucat. Wajahnya memang tak sepucat tadi tapi bukan berarti dia sudah baik-baik saja. Mavendra menghela napas guna untuk menurunkan kadar emosi yang ada dalam dirinya.
Dia mencoba segalanya agar tidak meledak lagi di depan Arin.
“Aku akan membuat perhitungan di depannya.”
...…...
Jalanan yang lenggang malam ini membuat perjalanan pulang ke apartemennya menjadi sangat singkat. Tidak sampai tiga puluh menit, dia sudah berada di depan gedung apartemennya.
“Ternyata udaranya lebih dingin dari yang aku kira.”
“Arin.”
Suara Liam menghentikan langkahnya. Ekspresinya mendadak kaku saat dia bersitatap dengan Liam.
“Seharusnya aku tidak bersikap kekanakkan. Maafkan aku. Seharusnya kita bicara sampai selesai tapi aku malah pergi.”
Liam meraih tangan Arin dan membawanya ke bibir lalu mencium pelan sebelum memeluknya dengan erat.
“Ayo pulang. Aku akan mengantarmu.”
“Tapi aku sudah sampai di apartemenku.”
“Ah benar, kalau begitu kita pergi ke supermarket sebelum mampir ke apartemenmu.”
Mereka pun pergi ke supermarket yang dekat dengan apartemen Arin. Liam membeli banyak kopi kaleng dan makanan-makanan ringan. Sementara Arin memasukkan cokelat batang dan matcha bubuk favoritnya di dalam troly yang sedang di dorong Liam.
“Kamu berencana bermalam di apartemenku?”
“Tentu saja,” ucap Liam.
Liam membayar semua belanjaan mereka. Dengan satu tangan membawa kantong belanjaan, Liam tidak sabar dan menarik tangan Arin. Arin menatap tangan Liam yang besar sedang melingkupi tangannya. Liam baru baru saja melepaskannya begitu sudah masuk ke dalam apartemen Arin.
Tiga hari sudah Liam tidak singgah di apartemen Arin. Rasanya dia tidak ingin keluar dari sini. Berhatap tangan Arin mencegahnya untuk pergi. Tapi apa? Setelah menonton film di netflix, Arin menyuruhnya untuk segera pulang karena sudah larut malam. Padahal Liam ingin bermalam di sana sampai besok pagi.
“Dia mencintaiku atau tidak hah!”
Bayang-bayang akan kehilangan Arin membuat Liam dibendung rasa takut. Takut akan kehilangan maka dari itu, Liam buru-buru meminta maaf atas kesalahanya. Dia tidak bisa jauh-jauh dari Arin. Senyum, tawa bahkan omelan Arin terus berputar-putar di pikirannya.
Liam menyesal tak bisa menahan amarahnya kemarin. Dia mengutuk dirinya sendiri jika hubungannya merenggang.
“Bagaimana jika Arin tak benar-benar memaafkanku?”
Memikirkannya saja sudah membuat kepala Liam pusing.
“Tidak! Dia sudah memaafkanku. Aku yakin dia sudah memaafkanku.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Dewi Payang
Kamu bakal benar2 kehilangan Arin saat tdk bs tegass pada Rena
2024-11-01
0
Lee
Arin knapa kmu gk tegesss ih..gemeeezzzzz 😤😤
2024-10-24
0
Quenby Unna
1 vote untuk kakak authorrr
2024-09-24
0