Suara berisik membuat Arin terbangun. Arin merenggangkan otot-ototnya yang kaku. Mencari-cari dimana ponselnya. Tiba-tiba Mavendra datang dengan segelas kopi yang aromanya menyebar ke seluruh ruangan. Arin terperangah menatap Mavendra.
Mavendra memungut ponsel Arin yang berada di lantai yang terus berdering sedari tadi. Pria itu langsung mematikan ponselnya lalu melemparkan ponsel itu ke Arin.
Arin langsung terkejut dan mengecek siapa si penelepon. Arin langsung marah dan menatap Mavendra yang saat ini duduk di sofa sambil menyesapnya. Wanita itu mendengus dan langsung memainkan ponselnya untuk menelepon seseorang.
“Iya, halo. Tadi aku tidak sengaja…” tiba-tiba tatapan Arin tertuju ke arah Mavendra.
“Iya, aku tidak apa-apa. Hmmm. Aku akan berangkat sendiri, kamu tidak perlu menjemputku. Baik, aku juga mencintaimu.”
Mendengar ucapan terakhir Arin membuat kobaran api timbul di hati Mavendra. Pria itu langsung meletakkan cangkirnya dengan kasar.
“Kenapa harus Liam?”
Mavendra beranjak dari duduknya dan menuju ke tepi ranjang di samping nakas. Mendaratkan pantatnya di sana.
“Beri aku satu alasan kenapa kamu begitu mencintai pria itu?”
Arin menatap pria itu, dan menemukan raut kesedihan di wajahnya.
“Apakah kamu pernah mengalami masa-masa sulit? Lalu siapa yang membantumu melewati masa itu?”
“Aku tidak tahu. Aku tidak punya waktu untuk mengingat.”
“Lalu apakah kamu mempunyai idola?”
“Aku tidak menyukai hal seperti itu.”
Arin menghela napasnya panjang. “Sudah aku duga.” Arin menundukkan kepalanya dan melanjutkan, “Liam, dia adalah orang pertama yang masuk dalam hidupku yang biasa-biasa saja. Aku yang tidak pernah dicintai sebelumnya, dipanggil cantik dan menggemaskan. Berkat dia, aku merasa hidupku pernah warna. Aku mencintainya dengan tulus dan sepenuh hati. Aku senang karena aku melakukan itu.”
Mavendra tiba-tiba mendekatkan tubuhnya ke arah Arin. Sontak, Arin memundurkan wajahnya yang terlalu dekat dengan wajah Mavendra.
“Apa hal sama terjadi jika aku yang bertemu denganmu lebih dulu dan bilang bahwa kamu cantik dan menggemaskan?”
Arin langsung melebarkan pupil matanya. Sementara Mavendra sudah berdiri dari tempatnya.
“Aku sudah buatkan sarapan. Ini obatmu,jangan lupa diminum.” Mavendra mengambil beberapa kantong obat yang ada dia atas nakas.
Mavendra mendaratkan sebuah kecupan singkat di kening Arin.
“Apa sebegitu buruknya diriku di matamu? Sampai aku tak pantas masuk ke dalam hidup.”
Mavendra lalu meninggalkan Arin dengan sejuta pertanyaan di kepalanya. Mavendra baru saja hendak menutup pintu kamar Arin, pria itu sedikit menolehkan kepalanya.
“Hari ini kamu istirahat saja, jangan masuk kerja.”
Suara pintu tertutup adalah bunyi terakhir yang terdengar. Kini ruangan itu sunyi dan sepi. Arin menatap pintu yang sudah tertutup itu. Ada rasa yang tak bisa dia jabarkan. Seakan ada sesuatu yang mengangganjal di hatinya.
Arin bangun dari ranjangnya, menuju ke kamar mandi. Kalau saja ada air dingin yang mengguyur kepalanya bisa membuat pikirannya menjadi lebih jernih.
...…...
Matahari mulai berdiri, memperlihatkan betapa indahnya pancaran sinarnya. Tak berselang lama, warna jingga menjemput. Liam duduk termenung seperti kelelahan. Hari ini, dia ingin segera pulang dan menemui kekasihnya namun pekerjaan yang banyak dan mengharuskannya lembur di depan matanya.
“Aku ingin segera pulang. Sekarang sudah pukul 18.30. Bagaimana kalau aku langsung pulang saja? Kenapa ya, pekerjaanku akhir-akhir ini semakin banyak. Aku juga jarang menemui Arin.”
“Halo, Liam.”
Liam terjingkat begitu ada suara yang datang memanggilnya.
“Oh, Rena.”
“Kamu lembur juga?”
“Ya, akhir-akhir ini pekerjaan rasanya memuakkan.”
Rena menatap rambut Liam yang menarik perhatiannya. Di sana ada kertas kecil yang bersarang nyaman.
“Oh, Liam. Ada daun di kepalamu.”
“Apa? Di sini? Aku tadi habis pergi ke taman kantor sebentar.” Liam meraba-raba rambutnya untuk mengambil kertas yang dimaksud Rena.
“Bukan sebelah kiri, sedikit lebih ke belakang lagi. Bukan di situ.”
Tangan Rena dengan berani terulur untuk mengambilnya namun dengan refleks Liam langsung menjauhkan tubuhnya dan langsung mengacak-acak rambutnya dengan brutal.
“Sekarang sudah tidak ada kan? Oh iya, aku akan membeli kopi dulu. Hari ini aku bekerja lembur,” ucap Liam dan langsung pergi. Dia sengaja kabur dari Rena karena dia sempat merasakan hal yang tak terduga.
Rena mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum tertawa kecil atas reaksi Liam yang diberikannya.
“Kenapa dia tiba-tiba seperti itu? Apa dia malu?”
Di tempat lain, Mavendra langsung meninggalkan mejanya dan segera pulang. Saat di lorong kantor, dia melihat kedekatan Liam dan juga Rena. Seringaian tampak di wajah tampannya. Setelah melirik sekilas pria itu lantas pergi.
Mobil yang dikendarai Mavendra sudah sampai di apartemennya. Setelah memarkirkannya, dia langsung menuju unit apartemen Arin. Layaknya seperti tuan rumah sendiri, Mavendra dengan leluasa menekan tombol sandi di apartemen itu namun yang dia dapatkan suara tolakan yang menandakan bahwa sandi yang dia masukkan salah.
“Apa dia mengubah sandinya?” Dahi Mavendra berkeryit.
Mavendra sekali lagi mencoba untuk memasukkan kode sandi yang sama namun lagi-lagi pintu itu tidak mau terbuka. Marah akan tindakan impulsif Arin, pria itu segera menelepon Arin dengan berkacak pinggang.
“Kamu mengubah sandi apartemenmu?” Tanya Mavendra begitu panggilannya terjawab.
“Ya, aku takut ada maling yang masuk.”
“Arin, bagaimana jika sesuatu terjadi padamu seperti kemarin? Hanya aku yang bisa membantumu. Cepat, katakan sandi barumu!”
“Kenapa aku harus memberitahumu?”
“Arin, kamu tidak memperbolehkan aku masuk ke dalam hatimu dan sekarang apa kamu juga tidak akan memperbolehkanku masuk ke dalam apartemenmu? Jadi beritahu aku kode sandimu yang baru.”
Terdapat jeda di sana dan suara helaan napas panjang sebelum Arin menyebutkan sandi baru apartemnya. Senyum tipid langsung tecipta di wajah tampan Mavendra. Segera dia memasukkan kode sandi yang baru saja dia dapatkan. Tak butuh berapa lama, pintu itu langsung terbuka.
“Kamu sudah minum obat?” Tanya Mavendra setelah berhasil masuk ke dalam apartemen Arin. Pria itu lantas duduk di samping Arin yang saat ini sedang menonton drama. Arin hanya meliriknya sekilas lalu memfokuskan kembali pandangannya ke layar lebar persegi panjang di depannya.
“Sudah dan terima kasih.”
Mendengar kata terima kasih dari Arin yang tampak tulus membuat senyum Mavendra mengembang sempurna.
Arin menguap lalu berdiri. Dia menaikkan kedua tangannya ke atas mencoba merenggangkan otot-ototnya yang kaku. Membuat crop tee Arin terangkat dan menunjukkan perut Arin yang rata dengan pinggangnya yang begitu ramping. Membuat Mavendra harus menahan hasratnya. Arin yang begitu mungil begitu pas berada di dekapnya.
“Oh, apa itu?” Tanya Arin begitu melihat sebuah kantong keresek tergeletak di samping Mavendra.
Mavendra tersadar, dia menundukkan kepalanya untuk mengambil barangnya. “Makanlah, aku tahu kamu belum makan.”
Arin langsung mengambil kresek itu dan melihat apa saja yang ada di dalamnya. Semuanya adalah makanan favoritnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Dewi Payang
5🌹buat Arin🫰
2024-10-24
0
Dewi Payang
Dih maksaaaaaa
2024-10-24
0
Dewi Payang
Wuah murka ini klo begini😄
2024-10-24
0