Bab 8

Liam segera melepaskan jasnya dan membungnya saja ke sofa. Dia langsung limbung ke kasurnya. Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Mendadak dia harus pergi keluar kota untuk urusan kerjaan. Liam sangat kesal karena akhir-akhir ini dia beri tugas yang banyak.

Liam langsung merogoh ponselnya, tidak ada balasan satu pesanpun yang dia terima dari Arin. Liam menghela napasnya dengan dalam. Liam langsung menelepon gadis itu namun mendadak nomor Arin tidak bisa dihubungi. Liam jelas mengenal Arin. Dia sama sekali tidak pernah susah dihubungi dan akan membalas pesannya meskipun dia sibuk. Namun hari ini sangat berbeda.

“Ini aneh. Kenapa dia tidak menghubungiku? Pesanku tidak dibalas. Telepon juga tidak bisa. Arin, kenapa kamu tiba-tiba seperti ini?”

Beberapa menit kemudian, ponselnya langsung berbunyi. Itu adalah panggilan dari Arin. Tanpa menunggu dia langsung menggeser layar hijaunya.

“Halo Arin.”

“Halo, kamu belum tidur?”

“Bagaimana aku bisa tidur. Kamu tidak membalas satu pesanpun dariku? Bahkan aku tidak bisa menghubungimu.”

“Pesan apa? Aku tidak meneria pesan apa pun.”

“Bagaimana bisa? Jangan-jangan ada orang yang diam-diam menyentuh ponselmu dan sengaja menghapus pesanku.”

“Apa? Ah masuk akal juga, karena tiba-tiba nomormu berada dalam nomor yang aku block,” jawab Arin di seberang.

Liam tiba-tiba berdiri. Dia merasakan kekesalan di sepanjang kulitnya.

“Sayang, aku kan sudah bilang kunci ponselmu.”

“Tapi ponselnya sudah aku kunci kok.”

“Pola kuncinya itu L kan?”

“Kok bisa tahu?”

“Arin, padahal aku hanya asal sebut dan itu memang pola yang kamu pakai. Siapa yang menyentuh ponsemu? Apa Mavendra?”

“Tidak mungkin.”

“Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus bertemu dengannya secepatnya.”

Setelah memutuskan sambungan ponselnya. Liam langsung meraih kembali jasnya. Dia ingin bertemu dengan Mavendra untuk memberi pelajarannya padanya.

Di tengah perjalanan ada sebuah wanita yang melambaikan tangannya di pinggir jalan. Kebetulan Liam mengenalnya dan mobil pun berhenti. Liam menurunkan kaca jendelanya saat sebuah ketukan terdengar di sana.

“Rena.”

“Liam, bolehkah aku masuk?”

Liam langsung memperbolehkan Rena untuk masuk ke dalam mobilnya. Wanita itu terlihat setengah sadar. Liam meliriknya dan menghela napas. Padahal dia baru saja pulang dari pekerjaannya kenapa harus mampir untuk minum.

“Dimana rumahmu?” Tanya Liam tanpa melihat ke arah Rena.

“Kamu ingin mengantarku?”

“Ya,” ucap Liam singkat.

Rena langsung menunduk. “Ah, betapa beruntungnya Arin punya pacar sepertimu.”

“Bukan Arin yang beruntung tapi akulah yang beruntung bisa mendapatkan Arin.”

Rena langsung terdiam dan tetap menunduk. Tanpa terasa dia sudah berada di sekitar kawasan rumahnya.

“Kita sudah sampai,” ucap Liam.

Rena masih tertunduk dan tiba-tiba airmatanya jatuh menetes ke pipi. Liam yang melihatnya langsung tergagap bingung tidak mengerti.

“Kamu kenapa?”

Rena tidak langsung menjawabnya, wanita itu sibuk mengusap air matanya yang terus melinang.

“Sepertinya aku suka padamu.”

Liam langsung terdiam. Dia terlalu terkejut untuk menanggapi perasaan yang tiba-tiba Rena lontarkan.

“Padahal aku suka memberikan sinyal padamu tapi kenapa kamu tidak menyadari perasaanku.”

Tidak menanggapi ucapannya, Rena langsung memeluk erat Liam yang sedari tadi mematung.

...…...

Gadis itu berjalan tanpa sebuah keraguan. Dia sudah memikirkan semuanya dengan matang-matang. Dia tidak bisa menahan dirinya lagi. Dia tahu semuanya salah dan dari awal memang sudah salah jadi dia ingin segera mengakhirinya. Membuat dia mengambil langkah tersebut dan akan meneria konsekuensinya apa pun yang ada.

“Pagi sekretaris Arin,” ucap Bagaskara.

“Selamat pagi, pak Bagaskara. Apa direktur sudah datang?”

“Hari ini beliau ada di ruang kerjanya. Beliau berangkat lebih pagi. Ketuk saja pintunya dan masuk.”

“Ah iya.”

Arin menatap pintu yang ada di depannya. Arin mengangkat tangannya. Mengetuk pintu dengan banyak pikiran di kepalanya. Juga tentang apa yang akan dia lakukan. Dia hanya bergerak mengikuti hatinya yang terus menjerit.

Tidak ada jawaban. Dia kembali mengetuk namun hasilnya tetap sama. Hantinya tetap dengan pendiriannya. Tangannya membuka pintu di depannya. Dia menatap pria yang sibuk dengan layar komputernya.

“Selamat pagi, direktur.”

“Pagi.”

“Aku kemari tidak lain karena aku mempunyai pertanyaan. Saat aku mengantuk di kantor kemarin, kamu berada di depanku.”

“Kamu tidak mengantuk tapi tertidur.”

“Iya saat aku tertidur apa kamu menyentuh ponselku waktu itu?”

Mavendra langsung menghentikan pekerjaanya dan menatap Arin dengan lamat.

“Tidak. Apa ada masalah?”

“Ah tidak afa. Aku hanya bertanya untuk memastikan saja.”

“Apa ada lagi yang kamu katakan?”

Arin langsung membuka tasnya dan mengambil sebuah amplop. Gadis itu tanpa ragu-ragu meletakkannya ke meja Mavendra. Mavendra melirik amplop putih itu. Di sana tertulis surat pengunduran diri.

“Terima kasih untuk semuanya direktur tapi mohon maaf sepertinya saya harus berhenti sampai di sini.”

Mavendra menatap Arin. Dia merasakan amarah di sepanjang kulitnya. Api seakan keluar dari balik punggungnya. Asap hitam mengelilingi ruangan tersebut. Seakan menciptakan aura mencekam.

“Kamu tidak bisa mengundurkan diri. Kamu sudah terikat kontrak. Apa kamu lupa? Apa kamu bisa membayar dendanya, Arin?”

“Itu…”

“Pikirkan baik-baik sebelum berbuat sesuatu,” ucap Mavendra. Pria itu langsung mengambil amlop tersebut dan merobeknya.

Arin menatapnya dengan terkejut dengan tindakan Mavendra.

“Katakan kamu tidak akan melakukannya lagi! Katakan kamu tidak akan mengundurkan diri,” pinta Mavendra.

“Mavendra…”

“Katakan!” Seru pria itu. Matanya menatap dengan amaah yang siap meledak.

“Aku tidak akan melakukannya lagi. Aku tidak akan mengundurkan diri!”

Arin kepayang kesa. Gadis itu berbalik untuk pergi. Sekarang pria itu membuatnya takut. Dia takut Mavendra akan berbuat nekat padanya. Arin sudah melangka akan pergi. Tapi Mavendra meraih lengannya dengan kasar dan memutar tubuhnya. Membuat mereka berhadapan dan deru napas Mavendra kencang menerpa wajah canrik di depannya.

“Kamu. Tidak akan pernah kemana-mana. Kamu harus bersamaku. Aku tidak akan pernah mengizinkanmu bertemu dengan pria itu lagi. Kamu milikku.”

Arin berusaha menarik lengannya namun itu hanya berakhir dengan melukai dirinya sendiri. Membuat dia tahu kalau pria itu memberikan perintah mutlak.

“Mavendra, kamu menyakitiku.”

Mavendra memejamkan matanya. Dia menghela napasnya dan pada akhirnya dia melepaskan Arin.

“Maafkan aku.”

Arin mendengar itu dengan rasa syukur yang luar biasa.

“Aku tidak bisa berpikir jernih.”

Mavendra terdengar begitu menyesal atas apa yang dilakukannya. Seluruh akal sehatnya memang dikuasai oleh gadis tersebut. Mavendra tidak bisa lagi menganggap enteng perasaannya pada Arin. Segalanya bukan lagi sekedar keinginan untuk memiliki. Segalanya lebih dari itu.

Tangan Arin yang sudah bebas dari cengkeraman pria itu segera membuka pintu dan segera kelua dari ruangan. Sementara itu, Mavendra menatap pintu dengan lamat dan setelahnya langsung kembali ke meja dan mengambil telepon dan menelepon seseorang.

“Bagaskara, segera suruh Liam dan Rena untuk melakukan dinas ke Singapura akhir pekan ini. Perjalanan dinasnya selama dua hari satu malam.”

Mavendra langsung menutup panggilannya dan tersenyum menyeringai.

“Sekarang saatnya memberikan tugas untuk sekretaris yang berani mengundurkan diri.”

Terpopuler

Comments

Dewi Payang

Dewi Payang

10 iklan buat kak Author

2024-09-20

0

Dewi Payang

Dewi Payang

Aku kok berkhayal Mavendra cosplay jadi naga🤭🤭🤭

2024-09-20

0

Dewi Payang

Dewi Payang

Wah bahaya ini

2024-09-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!