Bab 5

Mavendra mengepalkan tangannya dengan kuat. Dia melihatnya tapi tidak untuk menyentuhnya. Dia bisa melihatnya tapi tidak bisa mendekatinya. Dia bisa melihatnya tapi tidak untuk dicintainya. Mavendra terlambat untuk sadar kalau gadis itu mampu menguasai akal sehat dalam dirinya. Menghilangkan kewarasannya dan hanya menyisakan sebuah kgilaan untuk segera memilikinya.

“Pak direktur, mencari saya?” Sebuah suara datang mendekat kepadanya. Orang kepercayaan Mavendra.

“Siapkan satu meja di sini,” tunjuk Mavendra pada satu tempat yang bisa dijangkaunya. “Sampaikan pada HR kalau sekretaris baru akan segera direkrut dan sekretaris itu adalah Arin Louery. Siapkan semuanya paling lambat hari senin pagi,” tambahnya dengan nada dingin.

“Saya mengerti.”

Mavendra akhirnya melambaikan tangannya dan segera orang itu berlalu pergi. Mavendra menghela napasnya lelah. Dia menyugar rambutnya dengan lelahnya yang begitu kentara di wajahnya. Dia duduk di kursi kebesarannya dengan kaki disilangkan. Pikirannya berkelana untuk mencari cara bagaimana bisa mendapatkan Arin Louery.

Entah bagaimana dia menjelaskan tapi Arin memang sanggup melelehkan gunung es di hatinya yang telah lama membeku. Gadi itu sanggup membuat hatinya menghangat dan jelas itu tidak mudah tapi gadis itu bisa. Perasaan yang pernah hilang sebelumnya kini kembali hadis karena Arin Louery.

Dia bersiap berperang untuk mendapatkan gadisnya meskipun itu harus menyakiti saudaranya, lebih tepatnya adiknya. Mavendra dan Liam adalah saudara dengan ayah yang sama namun ibu yang berbeda. Sejak kecil mereka tidak pernah akur, hanya berlomba untuk terus menjadi yang terbaik. Hingga dewasa sudah ditentukan siapa yang paling unggul diantara mereka.

Sebagai putra sulung dan satu-satunya pewaris yang sah. Beban yang ditanggung Mavendra memang sangatlah berat. Satu-satunya pewaris sah Maxmilllian, dia dididik dengan keras. Tak heran dia tumbuh menjadi orang yang tidak bisa membuka hati dan menunjukkan perasaannya pada orang lain. Apalagi sejak kecil dia sudah ditinggal selamanya oleh ibunya. Dia hanya bisa merasakan kasih sayang yang murni hanya pada dia berusia lima tahun.

Dia menjadi orang yang otoriter, berpendirian teguh dan disiplin. Sikapnya yang angkuh adalah didikan dari ayah dan kakeknya.

...…...

Arin menatap dengan terpana kehadiran Liam di depannya. Pria itu pagi-pagi sudah datang ke apartemennya dengan pakaian santainya namun tetap mengeluarkan aura tampannya.

“Apa yang kamu lakukan di sini, Liam? Ini masih pagi.”

Liam meraih tangan Arin dan mengenggamnya.

“Aku sudah tahu jadwalmu. Kamu akan belanja kan? Aku akan menemanimu. Hari ini, aku menjadi pelayanmu, Arin.”

Arin menarik tangannya dengan cepat dan langsung meloncat ke arah Liam dan langsung mengalungkan kedua tangannya ke leher Liam.

“Jangan sampai kamu menyesal.”

“Demi dirimu, aku tidak pernah menyesal.”

Mereka tertawa bersama dan untuk sejenak Arin lupa dengan segala masalah yang menyangkut Mavendra. Hari minggu ini dia ingin menghabiskan waktunya bersama Liam. Mereka akhirnya berjalan dengan langkah yang sama menuju ke supermarket dengan perasaan yang sama.

Mereka mengintari setiap rak yang ada di sana. Mulai dari sayuran, buah-buahan, perlengkapan bumbu, sampai rak susu.

Liam menarik tangan Arin dan mengenggam tangan gadis itu. Tangan yang satunya untuk mendorong troly belanjaan.

“Kita seperti pasangan yang sudah menikah.”

Arin langsung membatu.

“Kamu harus resmi menjadi milik aku.”

Arin langsung menatap Liam yang sejak tadi hanya memperhatikannya. Ketakjuban pandangan pria itu membuat wajah Arin memerah karena malu. Dia langsung meninggalkan Liam dengan trolynya. Liam yang melihat tingkah Arin yang tersipu malu langsung mengejarnya.

Jam menunjukkan siang hari dan di sinilah mereka. Arin dan Liam sudah berada di apartemen Arin tetelah mereka selesai dengan grocery date. Arin saat ini sedang mempersiapkan bahan-bahannya untuk makan siang mereka. Sementara Liam hanya mengekor pada Arin layaknya anak anjing. Jika Arin sedang mengerjakan sesuatu maka Liam yang akan bertugas menjaganya.

“Sampai kapan kamu akan menatapku seperti itu?” Tanya Arin yang sibuk memotong wortel.

“Selama yang aku inginkan.”

Arin mencebik. “Cuci ayam itu, jika kamu hanya berdiam diri.”

“Siap laksanakan, Queen.”

Liam langsung melakukan perintah dari Arin dengan semangat. Di tengah-tengah dia mencuci ayam, dia kembali menatap Arin dengan rasa rindu yang mulai menghantam telak dirinya. Belum apa-apa, dia sudah merindukannya.

Setelah mencuci ayam dengan bersih dan mencuci tangannya. Liam langsung memeluk Arin dari belakang. Arin yang tadinya fokus pada masakannya, terjingkat kaget.

“Liam.”

“Aku ingin memelukmu.”

Arin bisa merasakan hembusan napas Liam tepat di lehernya membuatnya geli.

“Aku sedang memasak.”

“Aku tahu,”

“Coba ini,” ucap Arin sambil menyodorkan hasil masakannya agar Liam bisa mencicipinya.

Liam langsung melahapnya setelah Arin meniup pelan agar tidak terlalu panas.

“Enak,” ucap Liam. “Masakan kamu selalu enak,” imbuh Liam.

Saat mereka sudah selesai dengan acara masak romantis mereka. Liam menatap meja dengan takjub. Di depannya adalah hasil masakan dari Arin. Dia memimpikan keluarga sederhana seperti ini. Melihat Arin memasakannya setiap hari dan membayangkan mereka menjadi suami istri membuat jantung Liam berdegup tak karuan.

“Liam, apa yang kamu lakukan di sana? Duduklah.”

Liam mengangguk dengan bahagia dan menikmati makan siang. Mereka saling melempar lelucon. Gadis itu dengan tawanya selalu membangkitkan rasa cinta yang mendamba.

“Queen memilki mata yang indah, apa kamu tahu?”

“Apa kamu selalu memuji setiap wanita seperti ini? Dan berhenti memanggilku Queen!”

“Aku hanya memujimu dan Queen itu panggilan sayang tahu.”

Matahari kini sudah tenggelam, namun Liam tetap setia berada di apartemen Arin.

“Kamu tidak ingin pulang?”

“Kamu ingin aku tinggal?”

“Jika kamu ingin.”

Dan tertawalah Liam dengan kalimat Arin yang tidak serius itu. Mereka sudah berada di ambang pintu. Liam sudah melepaskan tangannya dari tubuh Arin. Siap melakukan perpisahan. Arin melampaikan tangan pada Liam.

“Aku mencintaimu.”

“Aku tahu.”

Liam memutar tubuhnya setelah mencium kening Arin. Berjalan dengan perlahan ketika pintu itu sudah ditutup.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” Tanya Liam yang menemukan Mavendra kelua dari salah satu pintu apartemen.

“Bukan urusanmu.”

“Menjadi urusanku jika kamu tinggal di sini. Sejak kapan kamu tinggal di sini?”

“Dua hari yang lalu.”

“Apa rumahmu kurang besar sehingga harus tinggal di sini?” Liam berkata sarkas.

Mavendra berdecak dengan tidak habis pikir. “Sejak kapan kamu perlu mengatur hidupku?”

Liam menghela napasnya. Dia rasanya ingin menjambak rambutnya sekarang. Mavendra jelas memiliki alasan yang masuk akal kenapa dia bisa berada di unit apartement ini namun dia tidak tahu alasannya itu. Tidak banyak yang bisa menjadi alasan pria itu bahkan mungkin tidak ada. Pada akhirnya Liam malas untuk berdebat dengan kakaknya.

Dia memilih untuk pergi begitu saja. Sementara Mavendra menghadiahi punggung Liam dengan seringaian.

Terpopuler

Comments

Dewi Payang

Dewi Payang

Karena mau dekat pacarmu. Hati2 Liam....

2024-09-15

0

Dewi Payang

Dewi Payang

Ya ampun si mavèndra ini ada dimana-mana🤭🤭

2024-09-15

0

Dewi Payang

Dewi Payang

Liam sepertinya merasakaan ada bahaya....

2024-09-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!