Mavendra bergerak satu langkah dan Arin mundur dua langkah. Satu alis Mavendra terangkat, merasa tertarik karena melihat bagaimana gadis itu berusaha menjauh darinya.
“Apa kamu menyukaiku?”
“Apa? Begini direktur Mavendra saya tidak menyukaimu.”
“Lalu bagaimana kamu bisa berakhir di kamarku?”
“Arin!!!”
Seruan itu membuat gadis itu menolehkan kepalanya. Menemukan Liam di sana. Mavendra berdecak.
“Bisa kamu mengetuk pintu sebelum masuk ke ruangan orang lain, Liam?” Mavendra memutar tubuhnya menghadap adiknya. Tidak terima atas sikap yang dilakukan Liam.
“Aku mencari pacarku.”
Arin langsung bergegas pergi ke samping Liam membuat Mavendra merasa marah.
“Apa kamu dan wanita itu tinggal bersama di sini? Dia masuk ke dalam kamarku dengan percaya diri.”
“Kemarin malam dia salah kamar. Aku memintanya istirahat di salah satu kamar dan dia malah ke kamar ini. Aku minta maaf untuk itu, dia tidak bermaksud melakukannya. Jika ingin menyalahkan maka salahkan aku saja.” Liam terlihat merasa sedikit bersalah.
“Jadi begitu ceritanya.”
Mavendra melirik Arin dan Arin membuang wajahnya. Tampak tidak berani menatap Mavendra.
“Ah iya, Sayang. Kosmetik kamu sudah ketemu belum?” Tanya Liam.
“Su…sudah.”
“Kosmetik? Aku yakin yang hilang bukan kosmetik. Memangnya seberapa pentingnya itu sampai dia berani kembali masuk ke kamarku?” Mata Mavendra memindainya. Mengawasi dengan tertarik saat beberapa detik Arin terus memandang ke wajah Liam.
“Aku yang membelikan kosmetik itu jadi menurutnya barang itu berharga. Ini bukan tentang harganya tapi tentang siapa yang memberikannya.”
Mavendra mendengus kesal.
“Terserah kamu ingin berpikir seperti apa. Aku tidak peduli. Aku kemari hanya untuk membawa pacarku pergi. Apa kamu akan menahan kami?”
Mavendra mengangkat tangannya. Dia memberikan tanda sebuah penyerahan namun segalanya belum selesai. Ini hanya permulaaan. Itu yang dipancarkan mata Mavendra.
Arin dan Liam pun keluar dari ruangan itu, Mereka masih berpegangan tangan saat keluar dari kamar bahkan saat berjalan di lorong tapi begitu sampai di halaman depan. Arin menghentikan langkahnya membuat Liam juga menghentikan langkahnya.
“Arin, kamu baik-baik saja?”
Arin mengangkat kepalanya. Dia tampak berkaca-kaca dan segera memeluk Liam. Melingkarkan lengannya di leher pria itu dan mendekap sangat kuat.
Arin ingin mengatakan semuanya pada Liam. Sayangnya dia tidak mempunyai keberanian untuk memulai semuanya. Jika Liam bertanya, dia akan mengatakannya. Dia hanya butuh tanda tanya dari Liam.
“Aku tidak peduli apa yang membuatmu berakhir di sana, Arin. Aku lebih tahu dari siapapun mengenai dirimu.”
Dan runtuhlah, Arin mendengarnya, dia tidak mendapatkan apa yang dia harapkan. Dia tidak bisa mengatakannya pada Liam, jika pria itu memutuskannya seperti itu. Arin melepaskan pelukannya dan memandang pada Liam.
“Aku tahu kalau Mavendra itu brengsek.”
“Brengsek? ya itu kata yang cocok untuknya.”
...…....
Arin masuk ke kamar mandi. Segera berdiri di depan wastafel. Mengikat rambutnya dengan tinggi. Dia beberapa kali menghela napas panjang dan membasuh wajahnya. Dia melakukannya dua kali dan menatap pantulannya di cermin. Menghela napasnya lagi dan rasanya dia ingin memaki sosok di depannya.
Kenapa dia begitu bodoh saat dia merasa kemarin malam adalah hal yang menakjubkan. Apa yang sebenarnya yang tertanam di dirinya tadi malam hingga dia berakhir dengan begini buruknya?
Dia kembali mengambil air dan membasuh wajahnya sampai sebuah ketukan membuatnya keluar.
“Ayo makan tteobokki. Ini makannan kesukaanmu kan? Aku membeli makanan yang kamu suka, ada ayam goreng juga.”
“Tteobokki dan ayam goreng adalah makanan yang paling enak.”
“Tunggu sebentar, aku akan menata mejanya dulu.”
...…....
“Arin tolong fotokopi ini sepuluh lembar untuk rapat nanti. Langsung diantar ke ruang rapat ya!”
Arin hanya menganggukan kepalanya, dia segera memfotokopi sepuluh lembar untuk dua belas orang. Setelah selesai, Arin segera buru-buru menuju ke lift. Saat tiba di ruang rapat, ruangan itu masih sepi. Arin segera meletakkan pekerjaannya di meja.
Segera gadis itu hendak berlalu begitu saja. Namun tatapannya terpaku saat seseorang tangah berdiri di depannya. Pria itu di sana. Pria itu berdiri dengan otoriter dan penuh kuasa. Terlihat tenang dengan tangan bersedekap. Dia memandang Arin dengan santai. Memberikan pandangan yang membuat Arin gelisah.
“Ha…halo pak direktur. Saya perimisi.”
Arin hanya basa-basi untuk menyapanya sebagai wujud kesopanan sebagai bawahan dengan atasan. Segera Arin meraih gagang dan membukanya tanpa memikirkan hal lainnya. Yang mengejutkan adalah pintu itu terkunci. Arin mencoba membuka pintu itu sekali lagi namun berakhir dengan hal yang sama.
“Kamu sedang apa? Mencoba membuka pintu itu?”
Arin menghela napas dan memandang Mavendra. Saat ini dia sudah melupakan rasa sopan santun dan menyingkirkan bahwa mereka adalah atasan dan bawahan.
“Pak direktur bisa buka pintunya sekarang?”
“Tidak.”
“Apa mau pak direktur” tanya Arin dengan kesal.
“Kamu masih bertanya?”
“Pak direktur ini dikantor jadi tolong jaga profesinolitas kerja anda.”
Mavendra menyeringai dengan mata yang begitu membuat tubuh Arin terperngaruh.
“Aku bahkan tidur dengan karyawanku sendiri. Jadi tidak perlu mempertanyakan profesionalitas kerjaku. Ah benar, karyawanku itu juga punya pacar yang satu perusahaan denganku,”
Arin terkejut. Dia kehilangan caranya bernapas. Oksigen disekelilingnya tiba-tiba menipis.
“Pak direktur…”
“Aku tahu itu dirimu, Arin. Jangan menyangkal hal yang bisa aku buktikan.”
“Pak direktur salah orang.”
“Kamu ingin aku membuktikannya?”
“Tidak!” Pandangan Arin menegaskan keinginanya.
“Kenapa kamu menyangkalnya dengan sepenuh hati?”
“Karena memang itu bukan saya.”
“Baiklah, anggap saja aku percaya.”
“Huh?” Arin langsung linglung seketika. Arin menganggap pria itu mudah ditipu.
“Apa adikku memperlakukanmu dengan baik?”
“Iya,” jawab Arin dengan penuh percaya diri.
“Dia memperlakukanmu seperti apa memangnya?”
“Apa?”
“Karena aku sendiri tidak begitu paham.”
Arin menatap tidak mengerti. Namun segalanya segera berubah saat Mavendra mengambil langkah panjang demi mencapai dirinya. Pria itu mengambil alih dengan telak, membuatnya tersudut dan Mavendra menjadi yang berkuasa. Mavandra menahan dengan satu tangannya sementara tubuh mereka menempel tanpa cela.
“Apa yang anda lakukan?”
Mavendra hendak mencium bibir itu namun Arin dengan sigap mengalihkan wajahnya membuat Mavendra hanya bisa mendapatkan rahangnya. Namun tidak memudarkan keinginannya. Dia terus mencium dan menggoda rahang Arin.
“Hentikan ini di kantor. Bagaimana jika orang lain melihatnya.”
“Akui dan aku akan berhenti.”
Mavendra menjilat di kulit leher Arin membuat gadis itu bergidik ngeri.
“Akui apa?”
“Bahwa wanita kemarin malam adalah kamu. Katakan. Akui setelahnya aku berhenti.” Pinta Mavendra.
“Kamu tidak bisa melakukan semua ini?”
Arin mengernyit saat pria itu menggigit kulitnya kecil dan menghisapnya. Dia sadar pria itu akan membuat tanda baru. Segera Arin langsung menginjak kaki Mavendra dengan kua, membuat itu terkejut dan mundur.
Arin menatap marah pada pria itu.
“Buka pintunya! Aku ingin pergi!”
“Bukan kamu yang memutuskan, Arin. Akulah yang memutuskan segalanya sekarang atau kita bisa mengatakan kebenarannya pada semua orang,” tantang pria itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
💫0m@~ga0eL🔱
like + subscribe + ⭐⭐⭐⭐⭐
2024-11-01
0
💫0m@~ga0eL🔱
hmm,, direktur ngeyel
2024-11-01
0
Dewi Payang
5🌹buat kak Author🫰🫰
2024-08-01
0