Arin menutup mulutnya yang melebar karena mengantuk. Hari ini dia sepertinya harus lembur di hari pertamanya sebagai sekretaris. Mavendra masih berada di dalam ruangannya, entah apa yang dilakukan pria itu bersama asistennya. Dia sama sekali tidak pernah dilibatkan.
Arin meletakkan kepalanya karena tak sanggup menyangga kekantukkan yang benar-benar menderanya. Pada akhinya dia harus mengalah saat dia memejamkan matanya. Arin sudah tak bisa mendengarkan suara orang yang baru saja membuka pintu.
Mavendra yang baru saja keluar dari ruangannya langsung terkejut melihat betapa pulasnya gadisnya tertidur. Pria itu menggelengkan kepalanya lalu melipatkan kedua tangannya ke depan dada. Tubuhnya dia senderkan di tembok.
“Ternyata ada yang orang yang mendapatkan gaji lembur dengan bekerja seperti ini.”
Mavendra lantas mengambil kursi yang ada di depan bangku Arin dan memindahkannya ke samping Arin agar dia bisa duduk bersebelahan.
“Tidurnya lelap sekali.”
Mavendra menatap lamat gadis yang ada di depannya lalu fokusnya terpecah saat suara getar dari ponsel Arin yang tergeletak di meja berbunyi. Pria itu menatap notifikasi yang tampak di sana. Rupanya itu adalah pesan dari Liam.
Tangan Mavendra langsung terulur untuk menyentuh layar pipih tersebut namun saat dia ingin membuka layar itu. Ponsel Arin terkunci dengan sandi pola.
“Pola untuk buka kunci ya..hmm.”
Mavendra berpikir untuk mencobanya dan hanya sekali coba pola tersebut terbuka. Seakan diberi izin untuk melihat sepuasnya.
“Huh? Bagaimana dia bisa berpikir untuk membuat pola semudah itu. Bagaimana bisa ada orang yang ceroboh sepertinya.”
Mavendra langsung menghapus pesan dari Liam dan memblokir nomor itu. Dia juga membubuhkan nomor pribadinya dan menjadi panggilan nomor satu jika ada masalah darurat. Setelah itu dengan hati-hati, Mavendra kembali meletakkan ponsel Arin ke tempat semula.
“Ini semua salahmu.”
Mavendra kembali menatap wajah Arin yang menempel pada meja, gadis itu juga mengigau membuatnya tampak lucu. Mavendra ingin membawa Arin dengan cara menggendongnya namun dia urungkan menikmati waktu dengan gadis itu di malam ini tidak begitu buruk.
Entah berapa lama gadis itu tertidur namun tiba-tiba dia tersadar saat mendengar suara berisik dari sampingnya.
“Ya ampun, aku tertidur. Padahal aku hanya ingin memejamkan mata sebentar.” Dengan cepat Arin merapikan barang-barangnya dilihat jam kini sudah mulai jam sebelas lewat. Lalu saat ada suara-suara yang begitu berisik di sampingnya, gadis itu baru menyadari ada sosok lain selain dirinya.
“Hah….haaaahhhh???”
Arin melihat Mavendra yang duduk di sampingnya sambil memainkan game yanga ada di ponselnya.
“Aku menunggumu dan sekarang sudah lewat dari pukul sebelas malam.”
“Bukannya direktur juga sudah membuatku menunggu?”
“Jadi kamu menungguku karena merindukanku?” Tanya Mavendra. Pria itu sudah menyudahi gamenya dan mengantongi ponselnya. Saat ini satu tangannya memangku wajahnya dengan kaki yang dia silang santai.
Arin meliriknya dengan sebal. “Jangan besar kepala.”
Mavendra mendengus. “Jawablah dengan benar Arin.”
“Mavendra!!”
“Apa, sayang? Aku di sini. Kamu tidak perlu berteriak segala. Aku mendengarmu dengan sangat baik.”
“Aku mulai mual mendengarnya.”
Arin bangun dari duduknya. Dia beranjak menjauh untuk menyelamatkan dirinya dari kegilaan bosnya.
“Kamu sungguh mual kita bahkan hanya melakukan satu kali.”
Arin langsung terpaku di tempatnya sementara pria itu segera maju. Memegang gadis itu setelah berjalan mendekat padanya. Menempelkan tangan Arin di dadanya untuk gadis itu mendengar degup jantungnya. Arin berusaha melepaskan tangannya tapi Mavendra memegang dengan sangat kuat. Tidak membiarkan Arin lepas dari cengkeramnya.
Pria itu meraih lehernya dan menariknya mendekat. Membuat wajah mereka sangat dekat hingga hanya ada seutas jarak di sana. Aroma napas mereka saling beradu. Tatapan Mavendra seolah akan memakan habis gadis di depannya.
“Aku akan mengantarkanmu pulang.”
“Tidak perlu, aku akan naik taksi.”
“Kalau aku menawarkan untuk mengantarmu pulang, kamu harus menerimanya atau kamu akan mendapatkan konsekuensinya.”
Arin menelan ludahnya. Dia tidak akan berani melawannya.
“Bagus,” puji Mavendra melihat Arin bungkam. Dia melepaskan gadis itu dan berjalan lebih dulu.
Arin menghela napasnya beberapa kali, jelas dia tidak akan bertahan lama bersama pria itu. Dia benci merasa terintimidasi namun setiap berdekatan dengan pria itu menciptakan intimidasi yang begitu kuat.
...…...
Saat melewati lorong menuju arah parkir, Arin hanya bisa menatap punggung Mavendra yang terlihat tegap itu. Arin tidak bisa menari kesimpulan diantara Liam dan Mavendra. Kenapa kedua pria itu saling bersaing satu sama lain.
“Apa kamu sudah makan malam?” Tanya Mavendra.
“Sudah.”
Kini mereka berjalan beriringain.
“Padahal aku belum sempat makan.”
“Lalu aku harus bagaimana?” Tanya Arin yang melirik Mavendra. Dia teringat bahwa dia membeli sandwich dua bungkus dan masih ada sisa satu.
“Apa itu?” Tanya Mavendra saat melihat Arin sedang mencari sesuatu di dalam tasnya.
“Bukan apa-apa.”
“Sandwich? Apa kamu ingin memberikannya padaku?”
“Tidak!”
Mavendra langsung mengambil sandwich itu dari tas Arin.
“Aku akan menerimanya dengan senang hati.”
Mereka saat ini sedang membelah jalanan kota malam. Mavendra sedari tadi hanya fokus pada jalan yang ada di depannya sementara Arin sedang menata hati dan isi pikirannya. Lalu sebuah panggilan datang dari nomor asing. Arin dengan ragu menatap layar ponselnya.
“Abaikan nomor itu.” Perintah Mavendra.
“Kenapa? Siapa tahu ini dari orang penting.”
“Jika itu dari pinjol bagaimana?”
“Aku akan memblokirnya.”
Saat Arin akan mengangkat panggilan tersebut panggilan tersebut sudah mati. Arin langsung menatap Mavendra seolah menyalahkan orang itu.
“Apa Liam tidak memberimu kabar?”
“Kenapa kamu ingin tahu?”
“Ya karena tadi dia marah-marah denganku. Aku pikir dia juga akan marah denganmu. Ah bukan, mengkhawatirkan dirimu mungkin. Jadi dia belum menemuimu atau sekedar bertanya kabarmu?”
“Dia mungkin sibuk.”
“Padahal kamu dan dia sekantor. Sesibuk apa sih? Jika begini, putuskan saja dia.”
“Apa?”
“Tinggalkan Liam dan datang padaku.”
Arin melongo dibuat.
“Aku lebih hebat darinya. Aku akan menjamin kehidupanmu kedepannya. Daripada Liam, latar belakangku jauh lebih jelas dan diakui.”
“Hubungan percintaam itu bukan tentang menjalin hubungan dengan orang yang hebat tapi menjalin hubungan yang cocok denganku.”
“Menuruku kalian tidak terlihat cocok.”
“Itu karena matamu rabun. Kami cocok kok.” Arin berteriak karena jengkel.
Mavendra langsung tersenyum. “Arin, aku benar-benar menyukaimu.”
Pria itu langsung mendekat ke arah Arin. Tangannya terulur dan menyisipkan anak rambutnya di telinga. Arin tidak bisa menduka apa yang akan dilakukan Mavendra tapi saat pria itu memasangkan anting untuknya, jantungnya tiba-tiba berdebar.
“Lain kali aku akan membelikanmu satu set perhiasan yang akan lebih indah dari ini,” janji Mavendra pada Arin.
Arin tidak bisa berkata dan hanya bisa diam membisu. Pria itu menatapnya dengan lembut. Seakan terhipnotis, Arin memejamkan matanya saat pria itu mendekat ke arah bibirnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Dewi Payang
5🌹buat kak author🫰
2024-09-19
0
Dewi Payang
Heum.... ngomporinnnnnnn....
2024-09-19
0
Quenby Unna
please ini lucu bangetzz....feelnya dapat
2024-08-03
0