Samuel kembali memesan kop lagi. Tapi kali ini secangki kopi panas dengan aroma yang kuat, harum dan manis pahit di akhir. Dia menghela napas sebelum menyeruput kopinya dan bersiap memasang telinganya. Namun satu kata yang keluar dari mulut Liam mampu membuat Samule tersedak. Pria itu sampai terbatuk-batuk dan butuh beberapa menit untuk mengatasinya.
“Jadi kamu dan Arin? Kalian sudah berpacaran. Kenapa kalian tidak memberitahu kami?”
“Karena aku tidak perlu memberitahu orang kantor. Akan merepotkan jika mereka tahu.”
“Ya, kamu akan terbebani jika orang kantor tahu tapi karena kamu tidak pernah bilang kalau kamu tidak punya pacar, kamu juga cukup berani,” ucap Samuel.
“Kamu ini bicara apa sih?”
“Pokoknya, intinya adalah sudah tiba saatnya bagimu untuk memikirkannya. Bahkan kamu bilang hai ini tanpa sadar kamu sampai membandingkan mereka, kan. Bukankah itu berarti kamu juga sebenarnya merasa muak dengan Arin?”
Liam melayangkan sebuah protes. “Aku tidak pernah merasa muak dengan Arin. Sebaliknya, semakin aku mengenalnya, semakin banyak yang tidak kutahu sampai-sampai aku merasa takjub.”
Samuel melihat ke arah atap, seakan sedang berpikir. “Bagaimana, ya? Mungkin kamu bisa saja merasa lelah akan hal seperti itu yang pada diri Arin kan? Karena bahkan setelah kamu pacaran pasti selalu ada tembok diantara kalian berdua.”
Selama perjalanan pulang, Liam terus memikirkan perkataan Samuel. Dia ingin sekali tidak memikirkannya dan menganggap seperti angin lalu. Namun kenyataannya tidak semudah itu. Semakin dia berusaha untuk tidak memikirkannya semakin dia kepikiran terus.
Jadi hal pertama yang Liam lakukan adalah menemui Arin. Liam sudah mencoba untuk menemui Arin sebelum pulang namun rupanya gadis itu sudah pulang terlebih dulu. Mereka satu kantor tapi mereka tidak bisa berangkat dan pulang bersama.
Liam langsung mengetuk pintu apartemen Arin. Tak begitu lama pintu itu dibuka. Tanpa kata Liam langsung masuk, melepaskan kedua sepatunya, merenggangkan dasinya yang terasa mencekik sebelum dia duduk di sofa sambil menunduk.
“Liam, kamu tampak tak begitu baik? Ada apa? Apa ada masalah?”
Arin penasaran dengan sikap Liam yang tak biasa. Dia menghampiri Liam dan berdiri di samping Liam sambil memperhatikan wajah Liam yang ditekuk. Gadis itu membungkukkan badannya sehingga bisa leluasa memperhatikan Liam.
“Sepertinya suasana hatimu sedang kacau. Apa ada masalah?”
“Duduklah di pangkuanku.”
“Apa?”
“Kamu tidak mau?” Tanya Liam sambil menatap wajah Arin.
Tanpa pikir panjang, Arin langsung duduk di pangkuannya. Liam terdiam, merutuki apa yang telah dia katakan. Jantungnya berdebar.
“Aku akan membuatkanmu teh. Itu bisa menjernihkan pikiran.”
Baru saja Arin berdiri, kedua tangan Liam sudah berada di pinggang Arin. Menarik tubuh Arin hingga jatuh ke pangkuan Liam lagi. Dipeluknya Arin dengan begitu erat, Liam menyandarkan kepalanya ke bahu Arin.
“Apa kamu menganggap aku istimewa?”
“Kamu sakit?” Arin meletakkan tangan mungilnya ke pipi Liam. “Tentu saja aku menganggampu sangat istimewa.” Arin kembali menjawab.
“Tapi kenapa aku merasa kamu tidak menganggapku seolah aku bukan siapa-siapa.”
“Liam…”
“Aku merasa kamu tidak menyerahkan hatimu sepenuhnya. Seolah kamu akan bersiap untuk pergi jika kamu mau. Aku yang sudah berada di sisimu seperti orang yang tidak penting.”
“Liam, kamu…”
“Tapi aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Arin, seberapa besar kita akan menikah?”
Mata Arin langsung melebar menatap pria di depannya. Tampak sedikit bagaimana harus menjawabnya. “Liam…”
“Kamu tidak usah menjawabnya. Kita seperti ini, aku sudah bersyukur.”
Arin menarik napas kage ketika bibir Liam sedang menakan bibir Arin. Dengan cepat dan lihai, Liam menggoda. Ketika terperangkap di dalam kehangatan Liam, pria itu mengisapnya keras.
06.15 pagi
Arin terbangun karena perutnya terasa sakit. Rasanya perut Arin seperti ditusuk-tusuk. Ini adalah masa datang bulannya. Arin membuka laci yang ada di nakas tapi ternyata obatnya habis.
“Liam sudah pergi subuh-subuh dengan terburu-buru. Kalau tahu seperti ini seharusnya aku menahannya pergi.”
Bulir-bulir keringat membasahi wajah Arin. Wajah Arin semakin pucat, tubuhnya kini basah dengan keringat dingin. Arin hanya bisa meringkih kesakitan. Ketika Arin ingin menelepon Naura, satu panggilan video dari nomor Mavendra masuk. Dia menggeser tombol hijau begitu saja.
“Arin, kita berang….kamu kenapa?”
Belum sempat Arin menjawab pertanyaan Mavendra. Ponsel Arin sudah jatuh ke lantai. Arin menaruh tangannya di perut. Perut Arin benar-benar sakit dan tidak bisa menahannya lagi.
Mavendra yang melihat layarnya berubah menjadi hitam langsung segera bergegas ke apartemen Arin untuk memeriksa keadaan gadis itu. Mavendra yang sudah tahu kode sandi apartemen Arin langsung saja masuk ke dalam.
Pria itu masuk tampak cemas dan khawatir apalagi saat mendengar suara rintihan dari dalam kamar yang membuatnya langsung masuk begitu saja. Mavendra terkejut ketika melihat Arin meringkih menggulung badannya sambil memegangi perutnya. Mavendra langsung belari mendekati Arin. Dipengangnya pipi Arin yang begitu dingin.
“Ayo ke rumah sakit.”
Mavendra ingin bangkit dari ranjang tapi tangan Arin menarik ujung kemejanya.
“Tidak mau!”
“Kamu…” perkataan Mavendra terhenti ketika tangan Arin yang memegangi kemejanya terhampas ke bawah. Arin pingsan. Mavendra yang panik terus mengguncang-guncang badan Arin sambil memanggil-manggil namanya.
Mavendra langsung menggendong Arin lalu segera turun ke bawah menuju mobil. Keramaian menyambut mereka saat sudah berada di igd rumah sakit. Mavendra langsung membaringkan Arin di brangkat. Arin langsung mendapatkan penanganan pertama dari dokter dan juga perawat.
Arin langsung dipasang dan juga diberikan obat dan saat ini sedang istirahat sementara Mavendra masih terjaga untuk menjaga Arin. Pria itu menopang dagunya dengan kepalanya. Pria itu langsung tersentak saat tangannya tiba-tiba digenggam oleh Arin.
“Arin, kamu sudah bangun? Sudah baikkan?”
“Aku ingin pulang.”
“Baiklah sampai infusmu habis.”
“Aku ingin pulang sekarang, Mavendra.”
“Tapi…”
“Aku sudah tidak apa-apa. Obat nyerinya sudah bekerja dan aku sudah baikkan.”
“Kenapa kamu keras kepala sekali? Baiklah tapi sebelumnya kita harus lepaskan infus di tanganmu.”
Sebelum pulang, perawat memberikan obat pulang berupa anti nyeri.
“Pastikan istrimu untuk meminumnya,” ucap perawat.
“Akan kupastikan dia meminum obatnya,” ucap Mavendra.
Selama perjalanan pulang hanya ada kesunyian. Arin sudah pulas tertidur. Napas Arin sudah tidak tersengal-sengal. Kini napasnya sudah teratur. Mereka sudah berada di gedung apartemen. Mavendra tidak tega membangunkan Arin. Pria itu turun dan memutari mobilnya hendak membukakan pintu untuk Arin.
Mavendra menggendongnya sampai ke kamarnya. Dibaringkan Arin di atas ranjang. Mavendra memilih duduk di tepi ranjang memandang raut wajah Arin yang kini tak sepucat tadi.
“Liam…”
“Kamu memikirkan orang lain saat aku ada di sini,” ucap Mavendra dengan kesal dan juga cemburu.
Mavendra tidak senang sekarang. Mendadak hati Mavendra merasa panas. Diangkatnya kepala Arin, dibuangnya bantal yang mengganjal kepala Arin dan digantikan bantal itu dengan lengannya. Dimiringkannya badan Arin. Tangan Mavendra yang satunya kini sudah melingkari pinggang Arin. Mavendra menatap wajah Arin begitu dalam dan mmebuat Mavendra semakin menjadi gila.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Dewi Payang
Mavendra mempersulit diri sendiri😁
2024-10-24
0
Quenby Unna
2 iklan untuk kak author
2024-08-28
0
Quenby Unna
aura redflag yang kentara tapi nggak bisa dibenci
2024-08-28
0