“Bibi kita pesan seperti biasa.”
Setelah makanan datang, Arin dan Naura mulai menyantap makanan mereka. Melihat Arin yang sepertinya tidak pandai memanggang daging, Naura langsung mengambil alih. Naura memanggang daging di hadapannya lalu diberikannya pada Arin.
“Terima kasih.”
“Jadi itu sebabnya kamu sekarang berurusan dengannya. Kamu seharusnya menghabiskan malam dengan Liam, bagaimana bisa berakhir dengan kakaknya.”
Arin langsung cemberut. “Jangan membahas itu lagi. Aku merasa menjadi wanita yang menjijikkan. Ah, kenapa juga aku terlibat dengannya? Aku tidak yakin aku bisa bertahan.”
“Sepertinya kalau aku menarik garis besar dari ceritamu. Dia jatuh hati padamu.”
Arin langsung membelalakan matanya karena terkejut. “Apa maksudmu?”
“Maksudku kalau melihat perilakunya yang tida biasa, dia jatuh hati padamu. Jika itu murni hanya cinta satu malam. Dia akan melupakannya dan bertindak seperti tidak terjadi apa-apa tapi dia justru bertindak sebaliknya.”
“Bagaimana bisa kamu berpikiran seperti itu?”
“Aku memang tidak terlalu suka tatapan matanya tapi dia juga tampan. Dia pria dengan tatapan dingin dan agak seksi. Pria cuek dengan citra tegas dan dingin, bukankah dia lebih menggoda?”
“Kamu ini bicara apa? Jelas yang lebih menarik adalah pria yang lembut, baik dan seperti anak anjing yang penurut.”
“Ya kamu suka pria yang menerima apa yang diberikan, pergi ke tempat yang diperintahkan dan merengek minta dipeluk setiap kali ada kesempatan. Ya, memang pacar sendiri tetap yang terbaik.”
Arin tersenyum dan bertepuk tangan dengan gembira.
“Ah benar juga. Kafe yang kita lewati waktu itu sudah buka.”
“Benarkah? Bagaimana kalau kita pergi ke sana besok.”
Setelah menghabiskan waktu sorenya dengan Naura. Arin tidak lantas pulang. Gadis itu memilih untuk berdiam diri di taman. Dia menghirup udara malam yang dingin, matanya tertutup menikmati setiap belaian angin yang menerpa kulitnya. Dia akan menikmati waktunya sebelum kembali bekerja di bawah tekanan teror Mavendra Maxmillian.
...…...
“Jam tiga ke ruangan saya,” ucap Mavendra meminta Arin datang padanya.
Arin mengangguk tak berani menolak perintah atasannya itu. Dirinya mengangguk pasrah dan memilih untuk kembali fokus pada pekerjaannya. Banyak pasang mata yang memperhatikan mereka, bahkan beberapa hari yang lalu setelah pesta perusahaan selesai. Gosip mulai bermunculan, menggosipkan tentang Arin yang menjual diri pada bos.
Seperti biasanya, Arin tidak peduli dengan itu, dirinya melihat ke arah komputer.
Melihat jam menunjukkan pukul tiga lewat sepuluh menit, dirinya segera pergi ke ruangan Mavendra. Dirinya langsung menuju ke lift. Lama menunggu lift terbuka, akhirnya dirinya memakai tangga darura sampai ke lantai paling
Sesampainya di depan ruangan, Arin mengetuk pintu dan masuk setelah mendapatkan izin dari Mavendra yang berada di dalam ruangan.
“Kenapa telat?” Tanya Mavendra yang duduk di kursi kebesarannya.
“Maaf.”
Mavendra menelisik penampilan Arin. Pria itu menatapnya dengan tajam. Pria itu kemudian tanpa aba-aba langsung berdiri dan melangkah mantap dan berdiri tepat di depan Arin.
“Apa kamu ingin menggodaku, Arin?” Ucap Mavendra sambil tersenyum miring.
Arin melihat ke bawah pakaiannya dan dua kancing baju teratasnya terbuka lebar, ini pasti karena dia tidak sadar membukanya saat merasa kegerahan. Arin langsung membalikkan tubuhnya dan membentulkan kancing bajunya.
“Aku suka, terlihat sangat bagus. Kenapa harus dikancingkan lagi?” Bisik Mavendra tepat di samping telinga Arin.
Arin langsung membalikkan tubuhnya dengan kesal.
“Apa kamu sedang sakit? Wajahmu terlihat tidak terlalu baik.”
“Bukan wajah, tapi raut wajah.”
Mavendra langsung meletakkan tangannya ke wajah Arin.
“Wajahmu merah. Apa kamu sedang demam?”
Arin mendengus dan melepaskan tangan yang menyentuh wajahnya.
“Pak direktur, katakan apa yang anda inginkan sehingga anda memanggil saya ke sini?”
“Entahlah, tapi sepertinya aku menginginkan kamu menghangatkan ranjangku kembali.”
Dan begitu saja tangan Arin melayang ke wajah Mavendra. Memberikan tamparan yang keras padanya. Tubuh gadis itu bahkan gemetar karenanya. Amarah yang begitu besar meluap di ruangan itu.
Mavendra memegang pipinya dengan seringaian. “Kamu baru saja menamparku?”
“Pak direktur pantas mendapatkannya!!”
“Berarti kamu juga pantas mendapatkan ini.”
Mavendra segera membungkam bibir Arin dengan kasar dan tanpa menahan dirinya. Pria itu memberikan tekanan setiap sentuhannya hingga tidak ada jalan untuk Arin melawannya.
Saat kemarahan itu meredup. Dia mulai menghentikannya. Melihat gadis itu tidak menatapnya dan memilih pergi. Mavendra menghela napas dan meremas rambutnya dengan frustrasi. Telinga pria itu tampak memerah.
Di luar ruangan Mavendra, rupanya Liam melihat Arin yang baru saja keluar dari kantor kakaknya dengan raut wajah kacau. Liam ingin mengejar wanitanya namun dia menahan langkahnya. Liam memilih untuk bertanya pada kakaknya.
Liam langsung masuk ke ruangan Mavendra tanpa mengetuk pintu sementara Mavendra sedang sibuk membuka dasinya dengan tampilan yang lebih kacau.
“Apa yang ada ingin kamu katakan?” Tanya Mavendra dengan tatapan yang tidak berminat sama sekali menatap Liam.
“Aku melihat Arin baru saja keluar dari ini. Apa yang kalian bicarakan?”
“Hanya membahas kerjaan, apalagi? “
“Hanya itu?”
“Aku sedang tidak ingin berdebat sekarang. Kita lakukan lain kali.”
Liam diam. Dia menccoba membaca pikiran kakaknya tapi dia tidak menemukan apa pun di sana. Dia tidak paham memang dengan Mavendra tapi biasanya pria itu akan terbaca dengan mudah atas apa yang terjadi padanya.
Mavendra sudah memberikan peringatan tapi Liam tidak mengindahkan dan kini dia tidak bisa bertahan lebih lama.
“Jika tidak ada urusan lagi. Pergi dari sini, apa kamu tidak punya pekerjaan untuk diselesaikan!!”
...…...
Arin memilih untuk menyembunyikan dirinya di taman yang ada di kantornya. Dia membuat kepalanya tertunduk lesu. Mencoba mengendalikan akal sehatnya. Dia tidak akan pernah bisa menahan hal seperti ini. Sebuah tekanan yang akan membuatnya menjadi setengah seperti ini.
“Huh… bisa-bisanya…Arin Louery, kamu sudah gila ya!!!”
“Arin…kamu sibuk?”
Suara itu membuat Arin terjingkat dan langsung terbangun.
“Liam…aku tidak sibuk kok!”
“Ini matcha cheez kesukaanmu.” Liam meletakkan segelas minuman matcha.
“Terima kasih,” ucap Arin.
“Apakah kamu baik-baik saja? Apa ada yang menganggumu hari ini?” Tanya Liam dengan raut wajah khawatir. Dia tidak bisa menolerir siapa saja yang menyakiti kekasihnya.
Arin menggeleng.”Tidak terjadi apa-apa. Sepertinya aku hanya kelelahan.”
Liam menghela napasnya. “Kalau begitu aku bisa tenang. Kamu membuatku ketakutan.”
Arin memegang lengan pria itu sebagai isyarat bahwa dia butuh pelukan. Liam pun memeluknya dengan erat sementara Arin menyandarkan seluruh kekhawatirannya pada pria itu. Membuat kepalanya merasakan usapan lembut tangan besar Liam.
“Kenapa kamu masih sekecil ini. Bagaimana wanita sekecil dan selemah ini bisa terlihat kuat selama ini. Aku merasa harus melindungimu,” ucap Liam lalu mencium puncak kepala Aeri.
“Kamu sudah melindungiku dan lagi aku bukan wanita kecil dan lemah.”
“Tapi kamu sekecil ini.” Liam menunjukkan dengan seujung jari kelingkingannya sebagai perumpamaan Arin.
“Aku tidak sekecil itu!” Protes Arin.
“Kamu memang sekecil ujung jariku.” Liam mencubit hidung gadis itu.
“Yak berhenti menarik hidung mungil berhargaku,” ucap Arin yang dibalas oleh tawa jenaka dari keduanya.
Liam menatap Arin yang tertawa membuat kadar kecantikannya terpancar. Saat melihat ekspresi muram dan kesal Arin saat baru saja keluar dari ruangan Mavendra membuat Liam merasakan situasi yang aneh. Yang disadari pria itu adalah pastinya ada yang terjadi dianatar Mavendra dan Arin. Tapi dia tidak akan mendapatan jawaban dari keduanya.
Liam tidak bisa memaksa Arin untuk menceritakannya tapi dia juga tidak bisa meminta Mavendra untuk mengatakannya.
“Tidak apa-apa kalau Arin tidak ingin mengatakannya. Aku akan menghargainya kalau dia berbohong demi diriku bahkan aku malah menyukainya.”
“Arin, sebisa mungkin tolong jangan berpenampilan mencolok di depan Mavendra?”
“Kenapa?”
“Pria itu seperti boneka hidup yang terkutuk. Lebih baik untuk tidak berhubungan dengannya sama sekali. Tapi kamu walau hanya diam saja pun sudah terlihat menarik.”
Arin hanya menanggapi dengan tertawa kecil.
“Aku serius! Pokoknya jangan sampai terlihat cantik seperti ini di depan orang itu!!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Dewi Payang
5🌹buat kak author
2024-08-28
0
Dewi Payang
Gimana ya perasaan Liam bila tahu apa yang telah terjadi dg pacarnya.
2024-08-28
0
Dewi Payang
Klo jd Arin aku juga ngelakuin hal yg sama
2024-08-28
0