Nathan memandang Vivian yang sejak tadi berdiri termenung di depan jendela kamar mereka. Cahaya senja yang redup membingkai siluetnya, menciptakan bayangan kesedihan di sepasang bola mata hazel yang penuh luka.
Dia bisa merasakan kesedihan dan rasa pedih kehilangan yang dirasakan Vivian, sebuah emosi yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Meskipun Vivian berusaha terlihat tegar di depan Sammy, Nathan tahu betapa rapuh dirinya saat ini. Setiap tarikan napasnya seperti membawa beban yang begitu berat.
Dengan langkah berat, Nathan menghampiri Vivian lalu membawanya ke dalam pelukannya. "Jika kau ingin menangis, menangislah dan jangan ditahan lagi."
Vivian tidak menjawab, perlahan air mata mengalir dari pelupuk matanya, membasahi wajah cantiknya. Pertahanannya akhirnya runtuh, di dalam pelukan Nathan, tangis Vivian pun tumpah.
"Kenapa? Kenapa Papa harus meninggalkanku secepat ini? Padahal dia sudah berjanji akan selalu menemani kami berdua. Tapi kenapa dia pergi dengan cepat? Kenapa?" ucap Vivian dengan suara yang pecah oleh tangis.
Nathan menutup mata kirinya yang memanas, mendongakkan wajahnya, mencoba menghalau air mata yang nyaris menetes.
"Aku tahu ini berat, tapi kau harus kuat. Sammy butuh kau, Vivian. Kau tidak sendirian."
Vivian semakin terisak dalam pelukan Nathan. "Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi semua ini tanpa, Papa. Rasanya aku seperti kehilangan segalanya."
Nathan mempererat pelukannya. "Semua akan baik-baik saja. Aku di sini untukmu dan Sammy. Kau masih memiliki diriku,"
Vivian menggenggam erat kemeja Nathan, mencari kekuatan dalam kata-katanya. "Nathan, aku takut. Takut tidak bisa menjadi cukup kuat."
Nathan menatap langsung ke mata Vivian yang basah oleh air mata. "Kau lebih kuat dari yang kau kira. Dan aku akan selalu ada di sampingmu, Vivian."
Nathan menatap Vivian dengan tatapan yang dalam, lalu perlahan mendekatkan wajahnya. Dengan lembut, dia mencium singkat bibirnya, sebelum kembali membawa gadis itu ke dalam pelukannya. Vivian terkejut, namun tak menolak, hanya membiarkan dirinya tenggelam dalam kenyamanan yang diberikan oleh Nathan.
Nathan berbisik lirih di telinga Vivian, suaranya penuh keyakinan. "Akan muncul cahaya setelah badai berlalu."
Vivian menggenggam erat pakaian Nathan, air matanya masih mengalir. "Bagaimana kau bisa begitu yakin?" tanya Vivian dengan suara parau, mencoba mencari kepastian di tengah kegelisahannya.
Nathan mengeratkan pelukannya, menatap lurus ke depan seolah bisa melihat masa depan yang lebih cerah. "Karena aku pernah berada di tempatmu, merasa hilang arah dan tak berdaya. Tapi aku belajar bahwa hidup selalu memberikan kesempatan baru, asal kita mau bertahan."
Vivian terdiam, mencerna kata-kata Nathan. Di dalam pelukannya, ia merasa seolah bisa menghadapi apa pun yang datang. "Terima kasih... untuk semuanya," ujarnya dengan suara pelan.
Nathan mengangguk sedikit, lalu mengusap punggung Vivian dengan lembut. "Kau tidak sendiri. Ingat itu." Dalam keheningan yang penuh makna, mereka berdua berdiri di sana, merasakan kehangatan yang perlahan-lahan menggantikan dinginnya duka.
Namun, hal tak terduga tiba-tiba terjadi. Penyakit aneh yang diidap oleh Nathan mendadak kambuh. Dia merasakan sekujur tubuhnya melemah, keringat dingin bercucuran, dan napasnya tersengal-sengal tak beraturan. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. ASI, dia membutuhkan itu sekarang. Kondisi ini membuat Vivian terkejut dan panik.
"Nathan!!" serunya sambil menahan tubuh Nathan yang hampir roboh.
Nathan berusaha tetap berdiri, tetapi tubuhnya tidak mampu lagi. "Sial, kenapa harus kambuh di saat seperti ini," umpat Nathan dalam hati.
Dia tidak mungkin langsung menyergap Vivian untuk mendapatkan ASII-nya. Vivian sedang dilanda duka, jadi tidak mungkin Nathan melakukannya. Dia mencoba melawan penyakitnya, berusaha membuat dirinya lebih baik. Namun, tanpa ASII, dia benar-benar tidak berdaya.
Vivian memandang Nathan dengan cemas. "Nathan, apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?" tanyanya panik.
Nathan tidak bisa menjawab, hanya suara napas berat yang terdengar dari bibirnya. Tubuhnya semakin lemas, dan ia tahu waktunya semakin sempit.
Diluar dugaan, tiba-tiba Vivian memegang wajah Nathan lalu mencium bibirnya. Jarak di antara mereka terkikis sempurna. Entah setan apa yang merasuki Vivian saat ini, sampai-sampai dia berinisiatif sendiri untuk melakukannya. Biasanya dia sangat ketakutan ketika Nathan tiba-tiba menyerangnya.
Nathan terkejut sejenak, tetapi kemudian merasakan sesuatu yang aneh mengalir dalam tubuhnya. Sentuhan bibir Vivian membawa kehangatan yang sangat ia butuhkan. Perlahan, dia merasakan sedikit tenaganya kembali, cukup untuk bertahan.
Vivian melepaskan ciumannya, matanya penuh kebingungan dan kecemasan. "Nathan, apakah itu membantu?" tanyanya dengan suara yang hampir putus asa.
Nathan menarik napas panjang, merasa sedikit lebih baik. "Ya, itu membantu. Kau... tidak perlu khawatir," katanya, meskipun suaranya masih lemah. "Tapi aku butuh lebih dari ini."
Vivian menatap Nathan dalam-dalam, dia memahami makna di balik kata-kata itu. "Kau membutuhkannya?"
Nathan menggenggam tangan Vivian, dan mengangguk pelan. "Ya. Aku butuh ASI-mu. Karena hanya itu yang bisa membuatku benar-benar pulih," ucapnya dengan nada yang serius namun lembut.
Vivian terdiam sejenak, terkejut mendengar permintaan itu. Namun, melihat keadaan Nathan yang begitu lemah, ia tahu tidak ada pilihan lain. Selain itu, Nathan juga sudah melakukan banyak hal untuknya.
"Kalau begitu, lakukan. Kau bisa mengambilnya sebanyak yang kau butuhkan. Aku... akan memberikannya dengan sukarela," jawabnya akhirnya, meskipun hatinya masih diliputi keraguan.
Nathan terkejut mendengar ucapan Vivian. Mata kirinya sedikit membulat. Tanpa ragu, Nathan segera membuka blus berenda yang dipakai oleh Vivian dan mulai mengambil apa yang dia butuhkan.
Tangan Vivian terkepal kuat, dia mulai merasakan perasaan yang tidak biasa. Dessahan lembut keluar dari bibirnya. Tanpa diduga, sesuatu yang hangat mengalir dari Miss-nya. Mungkinkah dia terangssang oleh apa yang Nathan lakukan?
Vivian menggigit bibirnya, mencoba menahan diri agar tidak terlalu keras mengeluarkan suara. "Nathan... cepatlah," bisiknya, merasa malu dan terkejut oleh reaksi tubuhnya.
Nathan tidak menjawab, fokus pada apa yang ia lakukan. Dia tahu betapa pentingnya ini untuk dirinya, tetapi juga menyadari bahwa dia harus melakukannya dengan cepat dan efisien. Tangan Vivian bergetar saat dia merasakan Nathan mengambil ASII darinya. Perasaan campur aduk antara malu, takut, dan... entah apa lagi yang merasuki pikirannya.
"Vivian, aku hampir selesai. Bertahanlah sedikit lagi," ucap Nathan dengan suara yang lebih stabil, meskipun napasnya masih berat.
Vivian hanya mengangguk, matanya terpejam rapat. Dia mencoba mengalihkan pikirannya dari sensasi yang dirasakannya. "Nathan, aku harap ini bisa membuatmu lebih baik," katanya dengan suara gemetar.
Setelah beberapa menit, Nathan merasa kestabilan tubuhnya mulai kembali. Dia berhenti dan melepaskan diri dari Vivian, menatapnya dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Nathan mendekap wajah Vivian lalu mencium bibirnya dengan lembut, dengan lirih dia berbisik, "Terimakasih..."
***
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Elly Rasmanawati
wkwkwk...mantap sambil menyelam mimi cucu...
2024-11-25
0
Ruk Mini
kocak thorr ko ad ye sakit ky gitu..nano2 rasay😇😇😇
2024-09-19
1