Ruangan rumah sakit yang semula tenang tiba-tiba berubah menjadi kacau. Suara alarm darurat berbunyi nyaring dari kamar ayah Vivian. Para dokter dan perawat bergegas berlarian menuju ruangan itu, wajah mereka dipenuhi kepanikan dan keseriusan.
Vivian yang sedang duduk dengan Nathan di ruang tunggu merasakan firasat buruk. "Nathan, ada apa ini?" tanyanya dengan suara gemetar.
Nathan segera berdiri. "Tetap di sini, aku akan melihat apa yang terjadi," katanya singkat sebelum bergegas menuju kamar Tuan Arya.
Vivian tidak bisa menahan diri, dia mengikuti di belakang Nathan. Begitu sampai di depan kamar ayahnya, dia melihat para dokter dan perawat sibuk berusaha menyelamatkan Tuan Arya yang tiba-tiba mengalami henti jantung. Suara monitor jantung yang monoton membuat suasana semakin mencekam.
"Dokter, bagaimana kondisinya?" tanya Nathan dengan nada dingin namun tegas.
Dokter itu menoleh, wajahnya muram. Dengan lemah dia menggelengkan kepala. "Kami sedang berusaha, tapi kondisinya sangat kritis," jawabnya sambil terus melakukan resusitasi.
Vivian menggeleng kuat, air mata mulai mengalir di pipinya. "Tolong, selamatkan ayahku," ucapnya terisak.
Nathan menatapnya dengan iba, tidak berkata apa-apa, hanya menggenggam tangan Vivian lebih erat, mencoba memberikan kekuatan tanpa kata-kata. Mereka hanya bisa menyaksikan dengan cemas.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, suara monitor jantung tiba-tiba berubah menjadi garis lurus. Para dokter dan perawat menghentikan upaya mereka, wajah mereka penuh kesedihan dan kelelahan.
Dokter Wang menatap Nathan dan Vivian bergantian, dengan berat hati dia kemudian berkata. "Maaf, kami sudah berusaha sebaik mungkin. Tapi Tuan Arya tidak bisa diselamatkan."
Vivian merasa dunianya runtuh. Tubuhnya bergetar hebat, dan sebelum dia bisa berkata apa-apa, pandangannya menjadi gelap. Dia jatuh pingsan tepat di pelukan Nathan, yang dengan sigap menangkapnya sebelum dia menyentuh lantai.
Nathan memeluk Vivian erat, wajahnya tetap dingin namun matanya menunjukkan kepedihan yang mendalam. "Bawa dia ke ruang perawatan," perintahnya tegas. "Aku akan mengurus semuanya di sini."
Para perawat segera membantu membawa Vivian yang pingsan ke ruang inap. Nathan tetap di sana, menatap tubuh Tuan Arya yang kini terbaring tanpa nyawa. Dalam keheningan itu, Nathan merasakan beban tanggung jawab yang lebih besar untuk menjaga Vivian dan Sammy.
***
Langit mendung di senja yang kelabu menambah kesedihan suasana di pemakaman Tuan Arya. Air mata langit turun perlahan, seakan ikut berduka atas kepergian sosok yang dicintai oleh keluarganya.
Vivian, dengan mata bengkak dan wajah yang dipenuhi air mata, tidak bisa melepaskan pelukan dari nisan ayahnya. Isak tangisnya yang tak henti-hentinya memecah keheningan di antara tetesan hujan.
Nathan berdiri di belakang Vivian, memegang sebuah payung hitam besar yang melindungi mereka dari hujan. Wajahnya tetap dingin, namun ada kilatan kepedihan yang tak bisa disembunyikan di balik mata kirinya. Payung hitam itu seakan menjadi penanda duka yang mendalam, membayangi mereka dengan kepedihan.
"Papa, kenapa harus pergi secepat ini?" isak Vivian, suaranya bergetar di tengah hujan yang terus mengguyur dengan lebatnya. "Aku belum siap... kami belum siap..."
Nathan mendekatkan diri, mencoba memberikan ketenangan dengan kehadirannya. "Vivian, kau harus kuat. Ini adalah kenyataan yang harus kita terima," katanya dengan suara datar, meskipun hatinya ikut merasakan kesedihan yang dalam.
Di sisi lain, Sammy berada dalam dekapan Max, dia mencoba menenangkan pemuda itu yang tampak hancur. "Sammy, semua akan baik-baik saja," bisik Max lembut, mengusap punggung Sammy yang terisak. "Kita harus percaya bahwa Papamu sekarang sudah bahagia di sana, bersama Mamamu."
Sammy mengangguk pelan, air mata masih mengalir di pipinya. "Aku hanya takut, Ge... takut kalau kami akan sendirian sekarang," ujarnya dengan suara kecil.
Max mempererat pelukannya. "Kau tidak sendirian, Sammy. Kau masih punya Vivian, dan kami semua di sini untukmu," ucap Max penuh kehangatan, berusaha memberikan sedikit ketenangan di tengah duka yang mendalam.
Suara hujan yang terus turun, bersama dengan tangisan dan pelukan, menjadi saksi bisu dari perpisahan yang begitu menyakitkan. Nisan Tuan Arya berdiri tegak, menjadi penanda kepergian yang tidak akan pernah kembali.
***
Mereka tiba di kediaman Xi, sebuah rumah besar dengan arsitektur modern yang megah. Max membuka pintu mobil dan membantu Sammy keluar. Wajah Sammy masih diliputi duka, matanya sembab dan penuh kesedihan, tidak terpengaruh sedikit pun dengan kemewahan yang ada di sekelilingnya.
Nathan menatap Sammy dengan tatapan datarnya yang khas. "Mulai sekarang, kau akan tinggal disini bersamaku dan Vivian," ujarnya datar, tanpa basa-basi.
Sammy hanya mengangguk pelan, masih tenggelam dalam kesedihan. Langkahnya berat saat memasuki rumah besar itu, tidak mempedulikan lantai marmer yang berkilau atau chandelier yang mewah di langit-langit. Kesedihan mendalam membuat semua kemewahan terasa hampa.
Vivian menghampiri Sammy, matanya juga masih merah dan bengkak. Dia mendekati adiknya, mencoba tersenyum meskipun hatinya masih hancur. "Sammy tidak ada gunanya kau menangisi sepertiga, Papa, karena dia tidak akan kembali. Kita harus merelakannya pergi," katanya lembut sambil memeluk adiknya dengan erat.
Sammy menatap Vivian, mencoba menemukan sedikit ketenangan dalam pelukan kakaknya. "Aku hanya... aku hanya ingin semuanya seperti dulu, aku ingin Papa kembali pada kita, Jie," bisiknya lirih, air mata kembali mengalir di pipinya.
Nathan mendekat, memandang keduanya dengan tatapan yang sulit ditebak. "Kita tidak bisa mengubah masa lalu, Sammy. Tapi kita bisa melewati ini bersama," katanya dengan nada dingin namun tegas. "Kau aman di sini. Aku akan memastikan itu."
Vivian mengangguk, mencoba menenangkan adiknya. "Kita harus tetap kuat, Sammy. Papa ingin kita bahagia dan dia pasti sedih jika melihat kita seperti ini. Papa, tidak ingin kepergiannya kita tangisi seperti ini. Kita harus melanjutkan hidup kita," ujarnya, meskipun kata-katanya terasa berat diucapkan.
Sammy mengusap air matanya, mencoba menguatkan diri. "Baik, Jie. Aku akan mencoba," katanya pelan.
"Nah, begini hari benar. Kau terlihat sangat jelek jika menangis. Untuk itu tersenyumlah dan anggap saja tidak terjadi apa-apa, dan Papa sedang pergi ke luar negeri untuk berlibur. Dengan begitu kau akan merasa lebih baik," Ujar Vivian panjang lebar.
Nathan mengangguk singkat, dia merasa sedikit lega melihat Sammy dan Vivian berusaha bangkit. "Yang Vivian katakan benar. Sebaiknya sekarang kau istirahatlah dulu. Kau butuh banyak waktu untuk pulih. Kau juga, Vi, sebaiknya pergi ke kamar dan istirahat," ujarnya, kemudian berjalan menuju ruang kerja, meninggalkan mereka dengan perasaan campur aduk.
Di dalam rumah yang megah itu, mereka berusaha menemukan kekuatan untuk melanjutkan hidup. Meski rasa kehilangan begitu mendalam, mereka tahu bahwa bersama-sama, mereka bisa menghadapi apa pun yang datang di hadapan mereka.
***
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Musringah
lanjut thor
2024-06-27
2
sella surya amanda
lanjut
2024-06-27
1