ASI, Untuk Majikanku
Nathan merasakan lemas di sekujur tubuhnya secara tiba-tiba. "Sial!! Kenapa penyakit aneh ini harus muncul lagi," desisnya tajam sambil menggigit bibirnya menahan sakit. Tubuhnya mulai berkeringat dingin, jantungnya berdebar kencang seolah ingin meledak, dan otot-ototnya terasa seperti kehilangan kekuatan.
Penyakit yang dideritanya memang sangat langka, bahkan mungkin dia satu-satunya di dunia yang mengalaminya. Penyakit itu membuatnya bergantung pada ASI untuk menjaga kestabilan tubuhnya. Tanpa ASI, tubuhnya mulai melemah, dan setiap kali penyakitnya kambuh, Nathan merasakan penderitaan yang luar biasa.
Dia meraba-raba mencari sesuatu untuk bersandar, berusaha menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi rasa pusing yang mulai menguasai kepalanya. Keringat dingin mengalir di dahinya, menambah perasaan tak berdaya yang merayapi dirinya. Nathan tahu, dia harus segera mendapatkan ASI atau keadaannya akan semakin memburuk.
Nathan benar-benar tersiksa. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan yang tak berujung. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, dia mencoba bergerak, berharap ada seseorang yang bisa membantunya atau memberinya ASI yang sangat dia butuhkan.
"Sial," bisiknya lemah, dia benar-benar mengutuk penyakit anehnya.
Nathan duduk di ujung tempat tidurnya, wajah tampannya terlihat pucat dan keringat dingin mengucur di pelipisnya. Setiap detik terasa seperti ancaman yang menghampiri, mengingatkan akan penyakit langka yang mempengaruhi kehidupannya. Dengan napas tersengal-sengal, ia mencoba mengumpulkan kekuatannya untuk memanggil Max, asisten pribadinya yang setia.
"Max," desis Nathan dengan suara rendah dan rapuh, "cepat siapkan ASI untukku. Aku sudah tidak kuat lagi."
"Maaf, Tuan Muda," jawab Max dengan nada penuh sesal, "stok ASI yang Anda butuhkan sudah habis. Kami telah berusaha mencarinya, tapi tidak ada yang dapat ditemukan dengan kualitas premium seperti yang Anda butuhkan."
Nathan menatap Max dengan tatapan tajam dan penuh kemarahan yang tak terbendung. Dia merasakan dunia kecilnya runtuh di hadapannya, diperparah oleh ketidaksanggupan tubuhnya untuk bertahan tanpa perawatan khusus ini.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Max?" bentaknya emosi, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. "Kau tahu betapa pentingnya ASI itu bagiku. Ini bukan hal yang bisa ditunda!"
Max menarik napas dalam-dalam, mencoba menjelaskan dengan penuh rasa hormat namun tetap jujur. "Tuan Muda, saya benar-benar memahami betapa pentingnya ASI bagi Anda. Namun, ini di luar kendali kami. Pemasok utama kita mengalami masalah produksi dan pasokan."
Nathan merasa putus asa. Dia meraih ponselnya, jari-jarinya gemetar saat mencoba mencari solusi lain. "Tidak ada pilihan lain?" tanyanya dengan suara parau.
Max menggeleng lembut. "Saya takut tidak, Tuan."
Dalam keheningan yang hampa, Nathan merasa tubuhnya semakin melemah. Setiap denyut jantungnya terasa seperti belitan waktu yang semakin sempit. Dia tahu betul bahwa tanpa ASI, kemungkinan untuk bertahan hidup terasa semakin tipis.
"Coba kontak mereka lagi," ucap Nathan, suaranya begitu rendah.
Max menatap Nathan dengan penuh keprihatinan. "Saya akan mencobanya, Tuan Muda," ujarnya dengan suara yang penuh komitmen.
Setelah Max pergi, pintu kamar Nathan diketuk tiga kali sebelum terbuka. Seorang wanita cantik yang belum pernah dia lihat sebelumnya masuk ke kamar mewah itu.
"Permisi, Tuan Muda, saya mengantarkan buah dan jus untuk Anda," ucap gadis itu, Vivian, pelayan baru di kediaman Nathan. Ini adalah hari pertama Vivian bekerja di rumahnya.
Nathan yang terjebak dalam keputusasaan tiba-tiba merasakan dorongan yang tak terkendali. Matanya tertuju pada Vivian, seolah melihat harapan terakhirnya. Tanpa berpikir panjang, ia mendekati Vivian dengan cepat.
Vivian terkejut saat Nathan tiba-tiba meraih bahunya dan mendorongnya hingga dia jatuh ke atas tempat tidurr Nathan. "Tuan, apa yang Anda lakukan?" tanyanya panik.
Namun, Nathan tidak menjawab. Dia membuka pakaiian bagian atass Vivian dengan gerakan cepat. Vivian menggeleng,
"Tu...Tuan, jangan..." Vivian menangis ketakutan, merasa tak berdaya. Mata Nathan membulat sempurna, saat dia menyentuh kulitnya, sebuah keajaiban terjadi. ASII keluar dari biji anggur Vivian, meski ia masih perawann dan itu sungguh tidak biasa.
Nathan menutup matanya dan terus menghiisapnya dengan rasa bersalah yang mendalam namun kebutuhan yang tak terbantahkan. Air mata Vivian mengalir semakin deras, dan setelah beberapa saat, Nathan berhenti, melepaskan Vivian yang terisak.
"Keluar dari sini sekarang," pinta Nathan dengan memalingkan muka. Dia tidak mau menatap Vivian, gadis itu terus terisak.
Nathan duduk kembali di tepi ranjang, memegang kepalanya dengan kedua tangan. Perasaan bersalah menghantuinya. Ia menyesali tindakannya yang tidak pantas terhadap Vivian. "Sial!! Apa yang telah kulakukan..." Nathan bergumam pada dirinya sendiri. Yang dia lakukan benar-benar di luar dugaan.
Sementara itu, Vivian meninggalkan kamar Nathan dengan perasaan campur aduk. Ini hari pertamanya bekerja, tapi dia sudah mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari majikannya. Air mata masih mengalir di pipinya saat dia berjalan menyusuri koridor, mencoba menenangkan dirinya.
Vivian merasa bingung dan ketakutan. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa pekerjaan ini akan membawanya pada situasi seperti itu. Di satu sisi, dia merasakan simpati terhadap Nathan yang jelas-jelas menderita. Namun di sisi lain, dia tidak bisa mengabaikan rasa takut dan ketidaknyamanan yang dia rasakan setelah insiden tadi.
Sesampainya di kamarnya, Vivian mengunci pintu dan duduk di tepi tempat tidur. "Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya pelan. Dia tahu bahwa dia butuh pekerjaan ini, tapi dia juga sadar bahwa dia tidak bisa terus bekerja di bawah ancaman perlakuan yang tidak pantas.
Vivian memutuskan untuk memberi dirinya waktu untuk berpikir jernih sebelum mengambil keputusan. Dengan napas yang masih tersengal, dia berbaring, berharap bahwa jawaban atas kebimbangannya akan datang seiring berjalannya waktu. Satu hal yang pasti, dia tidak akan membiarkan kejadian ini mendefinisikan dirinya atau melemahkan keinginannya untuk bertahan karena Vivian sangat membutuhkan pekerjaan ini.
***
Nathan menatap senja. Pikirannya terus berputar pada kejadian beberapa jam yang lalu. Wajah Vivian yang berlinang air mata terus membayangi dirinya, menimbulkan rasa bersalah yang semakin menghimpit hatinya. Cahaya matahari yang perlahan menghilang di cakrawala seakan mencerminkan perasaan suram di dalam dirinya.
Nathan menghela napas berat, mencoba meredakan gejolak emosinya. "Apa yang telah kulakukan..." gumamnya, suara penuh penyesalan. Dia merasa dirinya telah melewati batas yang tidak seharusnya dilalui, merusak kepercayaan dan kenyamanan seseorang yang tak bersalah.
Tatapan Nathan tak lepas dari warna jingga di langit, berharap bahwa malam yang akan datang bisa membawa ketenangan dan, mungkin, sebuah solusi. Dia tahu bahwa dia harus mencari cara untuk meminta maaf kepada Vivian dan memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya.
Senja semakin gelap, membawa harapan akan fajar yang baru. Nathan berharap suatu saat nanti akan ada keajaiban, dia terbebas dari penyakit aneh dan langkah yang selama ini membelenggunya.
***
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
mampir thor..
2024-10-27
0
muna aprilia
lnjut
2024-07-09
1
sella surya amanda
lanjut
2024-06-23
3