*Ratu Abadi (Raab)*
“Kaaak!”
Prabu Dira Pratakarsa Diwana berkoak sangat kencang di atas tangga Istana. Suara koakannya membuat para prajurit di sekitar mengerenyit karena merasakan sakit pada gendang telinganya.
Warga Ibu Kota juga dibuat terkejut meski yang mereka dengar tidak sekencang jika berada di lingkungan Istana. Warga laksana ayam yang terdiam karena sedang mendengar siksa kubur.
Prabu Dira Pratakarsa Diwana adalah sosok Joko Tenang yang memiliki bibir merah terang alami.
Tidak seperti yang pernah muncul di dalam kenangan Aninda Serunai, Joko Tenang yang ini memiliki wajah yang tampannya lebih dewasa. Penampilannya lebih megah dengan pakaian merah. Prabu Dira memiliki kulit terang yang putih bersih. Wajahnya yang berbibir merah memiliki kulit sehalus wanita, sangat minim kerutan, seolah-olah dia ber-make up. Rambut sepunggungnya tergerai lurus. Jika dilihat dari belakang, pasti orang akan menyangkanya dia seorang wanita. Karismanya terlihat kuat dengan atribut keprabuannya.
Memang, Prabu Dira memiliki nama pendekar Joko Tenang.
Saat itu Prabu Dira membawa sebuah pedang bagus berwarna ungu. Itu adalah senjata yang bernama Pedang Malam Ungu.
Lebih ke belakang, ada sekelompok pejabat Kerajaan Pasir Langit yang semuanya mengenakan pakaian seragam warna putih-putih. Itu bukan seragam dari jabatan mereka, tetapi itu pakaian duka.
Kerajaan Pasir Langit baru saja dirundung duka besar karena Ratu Ani Saraswani mati dibunuh oleh orang yang masih misterius.
Perlu diketahui, meski Prabu Dira adalah suami dari Ratu Ani Saraswani, tetapi dia bukanlah penguasa tertinggi Kerajaan Pasir Langit, tetapi Ratu Ani yang merupakan istri keduabelasnya.
Namun, Prabu Dira memiliki kuota yang sangat besar untuk membuat kebijakan karena dialah penakluk raja dan kerajaan tersebut.
Prabu Dira adalah orang yang paling berduka atas kematian istri mudanya yang pernikahan mereka baru beberapa hari yang lalu. Namun, dia tidak berpakaian duka karena dia akan pergi pulang ke Kerajaan Sanggana Kecil, kerajaan besar yang dipimpinnya.
Seperginya Prabu Dira, kepemimpinan Kerajaan Pasir Langit untuk sementara diserahkan kepada Mahapatih Badaragi. Orang yang menjadi kepercayaan Prabu Dira itu ada berdiri di tengah-tengah pejabat lainnya.
Kaaak!
Tiba-tiba terdengar koakan keras seekor burung di angkasa, di langit atas kerajaan. Semua orang yang ada di lingkungan Istana dan ibu kota Digdaya segera melihat ke langit. Mereka yang ada di dalam ruangan segera keluar. Suami yang sedang menggarap istrinya di kala siang pun buru-buru “keluar” dan sambar sarung untuk keluar rumah.
Mereka semua melihat seekor burung raksasa berwarna emas sedang terbang dari kejauhan menuju ke langit dekat. Sangat besar. Semua lelaki tidak ada yang memiliki burung sebesar itu.
Kaaak!
Koakan burung dari alam lain itu terdengar sangat keras saat dia sudah terbang berputar dekat di atas wilayah Istana dan pemukiman. Warna emasnya yang terkesan bercahaya adalah biasan sinar matahari dari bulu-bulunya yang berwarna cokelat dan kuning kekuning-kuningan.
Burung raksasa yang lebih besar dari ukuran dua rumah itu lalu terbang rendah dan turun lembut di pelataran Istana. Debu dan barang ringan seketika beterbangan oleh angin dari gerakang sayap si burung yang bernama Gimba, salah satu hewan dari tempat yang bernama Alam Kahyangan.
Debu pelataran tidak menerpa Prabu Dira karena ada dinding energi tenaga dalam yang menahannya. Berbeda bagi para pejabat dan prajurit. Mungkin karena itulah Prabu Dira termasuk orang yang bebas dari radikal bebas sehingga aman dari jerawat, tidak perlu skincare.
Gimba telah turun merapatkan perutnya di lantai pelataran.
Prabu Dira yang tidak bermahkota itu segera turun ke pelataran dan menghampiri Gimba yang menyambut dengan tundukan kepala. Prabu Dira lalu memeluk leher burung tunggangannya itu dan mengecup pipi si burung. Tidak ada senyum di wajah lelaki tampan itu, tidak seperti biasanya. Biasanya dia selalu tertawa saat menyambut kedatangan Gimba. Ekspresi dingin itupun tidak membuat Gimba tersenyum.
“Ratu Ani sudah mati, Gimba,” ucap Prabu Dira lirih kepada Gimba, menunjukkan bahwa dia masih bersedih.
“Eee!” Gimba pun bersuara lirih, seolah menyampaikan rasa empatinya kepada sang sahabat.
Prabu Dira lalu menepak pelan leher Gimba dua kali. Setelah itu, dia melompat naik ke pangkal leher Gimba.
“Kita pulang ke Sanggana Kecil, Gimba!” seru Prabu Dira.
Kaaak!
Gimba memekik pelan sebagai jawaban patuhnya. Dia pun menolakkan kedua cekernya. Binatang Alam Kahyangan itu seketika melesat naik mengudara.
Kaaak!
Di atas dia kembali berkoak kencang, memancing perhatian warga Ibu Kota yang bisa melihatnya lagi. Warga hanya terpana takjub.
“Itu pasti burungnya Prabu Dira. Sejak Prabu Dira menikahi Gusti Ratu Ani, burung itu sering datang dan pergi,” kata seorang warga ibu kota Digdaya yang sedang berduaan dengan teman prianya.
“Burung Prabu Dira memang sangat besar,” kata rekannya.
“Pantas banyak istrinya.”
“Apa hubungannya dengan banyak istri?”
“Coba saja kau pelihara baik-baik burungmu. Setelah besar, kau pamerkan keliling Ibu Kota, aku yakin akan banyak wanita yang tergila-gila kepadamu.”
“Bagus untuk aku coba. Tapi kalau kau dusta, hubungan persahabatan kita akan tinggal kenangan.”
“Loh, jangan seperti itu, Doyok. Jika kita putus, lalu aku akan tidur dengan siapa?”
“Ya dengan istrimu, Parto. Memang aku istrimu?” sentak Doyok.
“Maksudku tidur di saat tugas jaga kolam Ikan Perut Emas mendiang Gusti Ratu Ani,” ralat Parto.
“Ajak saja istrimu jaga, jadi aku juga bisa ikut tidur bersama,” kata Doyok.
“Kau diam-diam suka dengan istriku rupanya!” tukas Parto.
“Jangan menuduh sembarangan!” bentak Doyok jadi marah.
“Kurang ajar! Tidak aku sangka kau sahabat sambal yang makan gigi!” maki Parto lalu bergerak hendak memukul Doyok menggunakan kayu yang dipungutnya.
“Apa yang kau lakukan, Parto?” teriak Doyok sambil buru-buru lari menyelamatkan diri.
Sementara itu, Prabu Dira memerintahkan Gimba terbang dengan kecepatan maksimal menuju Kerajaan Sanggana Kecil. Tidak memakan waktu satu hari untuk sampai, hanya memakan waktu tujuh kali durasi gadis mandi di sungai.
Kaaak!
Ketika Gimba sudah berada di langit Kerajaan Sanggana Kecil dan ibu kotanya, burung itu berkoak kencang. Suara koakannya terdengar oleh seluruh penghuni Istana.
Di Istana Sanggana Kecil ada satu ratu dan enam permaisuri. Jangan ditanya kenapa komposisinya bisa seperti itu! Bahkan ada satu calon selir.
Kesembilan wanita yang semua cantik jelita itu seketika berwajah gembira, kecuali dua yang berwajah dingin.
Ratu Tirana yang memiliki kecantikan nan menyejukkan mata bergegas meninggalkan istananya. Saat itu dia mengenakan pakaian indah nan mewah berwarna merah hati, salah satu warna kesukaannya. Permaisuri yang tahun ini menjadi ratu untuk setahun itu diiringi oleh sepuluh dayang. Semua dayang berseragam serba putih.
Mereka keluar menuju ke pelataran Istana. Setiap prajurit jaga yang mereka lalu segera turun berlutut seraya menjura hormat.
Di dalam perjalanan menuju pelataran, Ratu Tirana bertemu dengan Permaisuri Yuo Kai, istri Prabu Dira yang berasal dari Negeri Jang, negeri yang jauh di seberang samudera.
Permaisuri Yuo Kai yang berkulit putih terang dan bermata sipit, mengenakan pakaian hijau tua dengan model yang berbeda dari pakaian wanita di negeri itu. Model sanggulan rambutnya pun sangat berbeda dengan banyak hiasan emas permatanya. Namun, permaisuri itu sangat cantik. Dia lebih tua dari Ratu Tirana.
Permaisuri Yuo Kai dikawal oleh seoarang wanita yang penampilannya seperti lelaki. Meski demikian, dia tetap punya dua tonjolan kewanitaan. Dia berpakaian warna biru gelap dan membawa pedang di tangan kirinya. Dia adalah pengawal pribadi sang permaisuri yang dibawa khusus dari Negeri Jang. Namanya Bo Fei. Kesetiaannya sebagai pengawal membuatnya masih memilih tidak memiliki kekasih apalagi seorang suami.
Permaisuri diiringi pula oleh sepuluh dayang berseragam putih. Dua di antaranya memiliki model wajah yang seetnis dengan sang putri dan Bo Fei.
“Hormatku, Gusti Ratu,” ucap Permaisuri Yuo Kai seraya sedikit merendahkan tubuhnya tanda menghormat.
Sementara Bo Fei dan kesepuluh dayang turun berlutut menghormat kepada sang ratu.
“Bangunlah, Kakak Permaisuri Negeri Jang!” perintah Ratu Tirana dengan menyebut gelar Permaisuri Yuo Kai.
Ratu Tirana sendiri memiliki gelar Permaisuri Penjaga. Jangan ditanya kenapa gelarnya bisa itu! Panjang sekali cerita asal usul gelar itu. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
ˢ⍣⃟ₛ 𝙺͢𝚊𝚗𝚊𝚢𝚊͎͛ʸʳ♑︎
serem2 piee ya
2024-11-07
1
🔵𒈒⃟ʟʙᴄ𝐙⃝🦜🅼ιяα🅷㊍㊍🔰π
Jangan bilang kamu naksir Nin, Joko Tenang beda sama yang diliat di mimpimi
2024-10-27
1
ˢ⍣⃟ₛ 𝙺͢𝚊𝚗𝚊𝚢𝚊͎͛ʸʳ♑︎
langsunjj knp langsung oppa le min hoo yg dipala🙈
2024-10-22
1